Sejak direkamnya keberadaan suku Mante, seorang wartawan ibukota keturunan Aceh berambisi bertemu Mante. Wartawan bernama Rafly ini punya satu tujuan, ingin menguak sejarah akar diri Aceh.
Ia sampaikan niatnya itu pada teman sekantor, sewartawannya.
“Buat apa? Buat apa kamu ingin memastikan Mante adalah leluhurmu apa bukan?” tanya Irwan, temannya.
“Jika benar ia leluhur kami, maka keturunannya kini, Mante-mante modern, bertanggung jawab ‘menafkahinya’. Dalam artian, Mante di pedalaman Aceh ini perlu dilindungi, dijaga, diberi kenyamanan. Itu cara Aceh menghormati leluhurnya.
“Jika bukan leluhurnya, dan Mante adalah penduduk asli ujung Sumatera, maka Aceh adalah pendatang. Jika fakta ini benar memberi kebanggaan buat kami sebagai Aceh bahwa kami adalah keturunan campuran Arab, Persia, Eropa, China, dan Hindia.”
Irwan tertawa. Rafly heran. “Kenapa kau tertawa? Tersinggung aku!”
“Ya, omonganmu lucu, kawan. Kamu sebenarnya berharap, kamu itu keturunan pendatang itu demi kebanggaan jati dirimu. Lalu ketika nanti ketemu kenyataan bahwa Mante adalah leluhurmu, kau pun merasa terhina.”
“Ah, bukan begitu, Kawan. Itu kesimpulan picik. Begini, kawan. Sudah kukatakan, jika mereka benar adalah leluhur kami, kami wajib memuliakan mereka meski berbeda keyakinan. Inilah spirit Islam yang datang kepada kami. Kami harus memuliakan orang tua bagaimana pun berbedanya kami sudah. Nilai inilah menjadi kebanggaan diri kami, ‘memuliakan orang tua’. Menjadikan kami lebih manusiawi, lebih bernilai daripada menaruh orang tua di panti jompo, eh maksudku hutan. Jadi, tak mesti hina meski bukan keturunan pendatang itu.
“Lebih jauh lagi, Kawan, sebenarnya jika kami pendatang, kami ini yang hina, karena telah menyudutkan, memojokkan, memukul mereka hingga ke jauh ke pedalaman. Jika kenyataan sejarah begitu, maka ada keangkuhan di diri pendatang. Merasa diri lebih baik dari Mante. Sama angkuhnya seperti Belanda datang memukul dan memperbudak pribumi.
Lebih jauh lagi, Mante secara tak langsung memberi pesan buat kita pada zaman kini. Mereka bisa hidup dan bertahan tanpa tehnologi. Kukira pun mereka tak ada kecendurungan bunuh diri kecuali ter/dibunuh. Mereka bisa menjaga alam tanpa merusak seperti manusia kini. Mante penjaga alam, Kawan! Mereka bebas. Berani hidup di hutan. Tidak seperti pribumi-pribumi kita di masa penjajah Belanda yang diperbudak. Mante adalah perlawanan terhadap pendatang, kolonial. Mante adalah…. “
“Cukup, cukup, cukup menjelaskan kelebihan Mante. Dari uraianmu yang berapi-api dan membelanya, jelas kamu punya darah Mante. Ya, sudah, kudukung kau menemui Mante. Semoga ketemu. Sana pergi.”