Mohon tunggu...
Sahabat Castinger
Sahabat Castinger Mohon Tunggu... -

Belajar 'Nulis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Akal dan Kebenaran

28 Juni 2012   11:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:27 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Beruntung manusia dibimbing para nabi. Melalui wahyu yang diturunkan oleh Allah, para nabi dapat membimbing manusia untuk mengenal kebenaran dan keburukan yang kadang berada diluar jangkauan akal. Fakta penyembahan berhala yang dilakukan kaum musyrik mekkah pra Islam menjadi bukti ketidakberdayaan akal manusia dalam mengenali kebenaran sejati. Namun dimasa sekarang fakta sejarah diatas sering dinafikan dalam pergulatan pemikiran kontemporer. Bukankah  sering dinyatakan bahwa tidak ada kebenaran mutlak didunia ini, semua relatif dan oleh karena itu semua dianggap benar. Namun benarkah pemikiran semacam ini.

Kelebihan akal adalah karena ia mampu berfikir. Ibn Khaldun mendefinisikan berfikir sebagai proses kejiwaan dibalik pencerapan inderawi dan proses 'mondar-mandir' kognitif, mengabstraksi dan mensistematisasi cerapan inderawi. Proses ini yang menurutnya disebut sebagai 'al-Af'idah' seperti dimaksud dalam firmah Allah " Waja'ala lakumus sam'a wal abshara wal af'idah". Kata 'af'idah' merupakan bentuk jamak kata 'al- fuad' yang berarti 'al-fikr' (berfikir, akal fikiran). Untuk mempermudah mengenal fungsi al-Fikr tersebut Ibn Khaldun menjelaskan dalam tiga tingkatan: pertama, al-Aql al-Tamyizi (akal pemilah) menghasilkan tashawwurat. Kedua, al-Aql al-Tajribi (akal ekperimental) menghasilkan tashdiqat. Ketiga, al-Aql al-Nadhari (akal kritis) menghasilkan akal murni yang tercerahkan.

Demikian juga Al-Ghazali yang begitu yakin pada potensialitas akal dalam menangkap bukan saja yang terbatas, tetapi juga yang tak terbatas. Sebab itu, objek akal menurutnya adalah seluruh yang ada, dan semua esensi tak terhalang bagi akal, kecuali bila akal sendiri menutup dirinya dengan sifat-sifat yang menimpa kepadanya. Pandangannya ini menarik. Nampak sekali ia memiliki konsep khas mengenai akal. Ditegaskan Al-Ghazali bahwa akal itu sebagai 'cermin' yang dapat menangkap objek sebagaimana realitasnya. Dan bersih dari kesalahan. Kalaupun pemikiran seseorang salah, kesalahan bukan terletak pada akal, tapi karena pemikirannya sedang dikuasai 'khayal' dan 'wahm'.

Menurut para ahli logika angan-angan, khayalan, pikiran yang berkecamuk dalam dada dan kepala kita tidak lain adalah bisikan kata yang amat lembut. Dan apabila pengaruh angan dan khayal begitu kuat mempengaruhi, akal akan kehilangan daya nalar sehatnya. Akal akan berapologi sesuai khayal dan angan. Orang dengan demikian tidak sedang berfikir melainkan sedang berkhayal dan berangan-angan. Pemikiran dengan begitu akan keliru. Jadi sesuai dengan pernyataan Al-Ghazali diatas, bahwa pemikiran yang salah bukan disebabkan akal yang keliru melainkan karena akal dikuasai khayalan dan angan-angan. Akal dikuasai bisikan kata yang  datang dari hawa nafsu yang melekat menjadi bagian jiwa manusia. Ketika akal terus ditempelinya, jelas akal akan buta. Akal akan rabun. Akal akan menganggap dengan menggeneralisir semua perkara sama benarnya atau bahkan sama buruknya.

Bukankah sering kita dengar perkataan bahwa apa yang benar menurut A belum tentu benar menurut B. Namun seorang murid disekolah harus meyakini apa yang dikatakan guru didepan kelas yang menyatakan setiap pagi matahari terbit dari ufuk timur adalah kebenaran dan karena para murid memang kenyataannya menyaksikan bahwa matahari benar-benar terbit di ufuk timur.  Maka logika benar menurut A belum tentu benar menurut B jelas salah. Logika semacam ini tidak bisa dijadikan pedoman dalam berfikir. Namun bagaimana dengan persoalan keyakinan?

Abu Bakar seorang sahabat Nabi dulu adalah orang pertama yang menyatakan keimanan dan memeluk Islam. Apa yang diajarkan Nabi Muhammad saat itu bahwa menyembah berhala adalah sesat, menurut akal Abu Bakar adalah benar. Kenapa Abu Bakar berfikiran demikian. Bukankah ritual penyembahan berhala merupakan keyakinan kolektif masyarakat arab saat itu, dan diyakini pula sebagai kebenaran. Abu Bakar pasti berfikir syari'at yang dibawa Nabi Muhammad  mengesakan Tuhan dan memuliakan manusia. Abu Bakar beranggapan bahwa  ritual penyembahan berhala oleh masyarakat arab saat itu justru merendahkan derajat manusia. Abu Bakar memandang manusia pasti lebih mulia dari berhala-berhala yang tak bisa bicara apalagi menciptakan makhluk. Abu Bakar tidak terjebak pada relativisme akal suku-suku arab saat itu yang menyembah bermacam-macam berhala dan dianggap tidak berbeda, sama-sama dianggap tuhan dan sama-sama benarnya. Abu Bakar menganggap pemikiran semacam ini pasti salah. Abu Bakar berani keluar melampaui  keterpakuan akal masyarakat arab yang diwarisi dari nenek-nenek moyang mereka. Oleh karena itulah Abu Bakar begitu mudah menerima ajakan Rasulullah saw untuk masuk Islam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun