Mohon tunggu...
Sahabat Castinger
Sahabat Castinger Mohon Tunggu... -

Belajar 'Nulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

3 Masalah Serius Dalam Blusukan Jokowi

25 Juli 2013   04:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:04 1683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lagi-lagi acara blusukan ala Jokowi ramai dibicarakan. Wacana ini kembali menggelinding menjadi polemik hangat yang melibatkan pelbagai kalangan. Hanya sayang, bukan hasil dari blusukannya yang menjadi topik bahasan melainkan faktor kulit yakni sebatas aksi blusukannya yang dipampang kepada masyarakat. Bahkan terkesan didramatisir sedemikian rupa seolah-olah segala macam persoalan yang terjadi di Jakarta seperti banjir, macet, dan masalah predikat Jakarta sebagai propinsi terkorup nomor 4 se-Indonesia dapat diselesaikan dengan atraksi blusukan itu.

Anda tahu, blusukan Jokowi yang birokrat merangkap politisi ini akhirnya menjadi ciri khas kepemimpinan yang bersangkutan. Artinya, jika bicara blusukan maka otomatis bicara Jokowi. Padahal, belum diketahui secara pasti apakah gaya blusukan itu ditularkan pada segenap birokrat dilingkungan pemerintah DKI Jakarta atau sebaliknya hanya Jokowi yang melakukan ritual itu. Yang jelas hingga kini tak ada satupun diantara sekian media massa yang mengabarkan hal tersebut. Hal yang tumben terjadi. Ada dua kemungkinan disini. Pertama, media massa hanya mau meliput Jokowi walaupun bawahan dan beberapa anggota DPRD DKI misalnya juga rajin blusukan. Kedua, bawahan Jokowi berinisiatif untuk tidak meniru gaya blusukan dan lebih memilih bekerja seperti birokrat pada umumnya yaitu menunggu petunjuk dan laporan dari atasan.

Oleh karenanya tak mengherankan akibat akumulasi dari beberapa persoalan tersebut, salah satu lembaga swadaya masyarakat seperti FITRA menyampaikan kritik atas praktik blusukan Jokowi yang disinyalir belum memberikan dampak jelas dan pengaruh signifikan bagi kinerja pemerintah DKI dalam menyelesaikan beragam persoalan. Kritik FITRA barangkali juga didasarkan atas kegaduhan politik yang timbul akibat munculnya desas-desus pencapresan Jokowi. Beberapa hasil survei menempatkan Jokowi diperingkat atas mengalahkan tingkat elektabiltas capres dari partai-partai lain. Jokowi kabarnya juga menjadi rebutan partai-partai untuk dijadikan calon presiden atau wakil presiden. Hal ini dikhawatirkan akan mengganggu konsentrasi pemerintahan Jokowi dalam bekerja menuntaskan amanah jabatan sebagai Gubernur yang belum genap setahun dilantik.

Memang sedikit disayangkan jika sebagian pengamat dan media massa pada umumnya hanya menaruh perhatian pada atraksi blusukannya seraya mengabaikan hasil konkrit dari kebiasaan Jokowi tersebut. Contoh paling sederhana misalnya mengenai rencana relokasi PKL Tanah Abang Jakarta Pusat yang menemui kendala akibat resistensi para pedagang dengan melakukan penolakan. Ini sebetulnya tidak perlu terjadi andai acara blusukan itu benar-benar efektif. Bukankah dengan acara blusukan itu Jokowi bisa melakukan pendekatan kepada para PKL secara intensif dengan cara bertatap muka secara langsung? Sehingga para pedagang itu bisa dengan lapang hati menerima untuk direlokasi. Tetapi faktanya itu tidak terjadi. Yang mencuat kepermukaan justru polemik antara Basuki dengan para pedagang kaki lima yang menjurus pada konflik horizontal.

Maka tidak berlebihan sebetulnya bila lembaga seperti FITRA mempersoalkan efektivitas dari blusukan Jokowi tersebut. Jika sebelumnya blusukan diyakini akan banyak memberi manfaat untuk mengetahui secara langsung permasalahan sosial kemasyarakatan, namun pada kenyataannya itu hanya sampai pada tingkat mengetahui persoalannya saja. Sementara untuk mengatasi persoalan dilapangan secara langsung ternyata belum banyak membantu karena masih saja terjadi  penolakan kebijakan Jokowi seperti dilakukan oleh para PKL Tanah Abang.

Praktik blusukan dengan frekuensi berlebihan juga bisa diartikan sebagai tindakan overlap birokrat terhadap lembaga legislatif dalam hal ini DPRD DKI Jakarta. Bagaimana melakukan sinkronisasi hasil serap aspirasi dan pelaksanaan fungsi pengawasan anggota DPRD DKI dengan hasil blusukan Jokowi, apa ada jaminan untuk hal tersebut? Padahal setiap kebijakan penggunaan dana dari APBD DKI harus melalui persetujuan DPRD. Ini juga sebuah persolan lain yang bisa saja menghambat kerja pemerintah DKI sendiri. Apalagi kesan yang nampak selama ini antara DPRD dengan pihak pemprov DKI saling beradu punggung. Seperti tak ada jalinan kerjasama yang baik diantara keduanya. Kelihatan dengan jelas dari lontaran pernyataan-pernyataan mereka di media massa. Bagaimana anda dapat membayangkan jalannya roda pemerintahan dengan sempurna tanpa ada kerjasama yang baik antara eksekutif dengan legislatif? Tentu ini akan berakibat buruk.

Jika hal-hal tersebut benar-benar terjadi, saya kira kritik FITRA agar blusukan itu dipertimbangkan kembali memang sangat masuk akal. Sebab, bisa saja karena faktor-faktor diatas blusukan tersebut akhirnya akan disebut sebagai cara untuk menarik simpati masyarakat belaka. Blusukan yang tidak memberi hasil memuaskan juga akan rentan diterjemahkan sebagai aksi tebar pesona untuk menjaga pamor agar terus mengkilap. Memang, disini terjadi pro dan kontra: antara yang mendukung ritual blusukan politik itu agar tetap dilanjutkan dan yang menganggap sudah saatnya blusukan dihentikan dan diganti dengan langkah-langkah konkrit mengatasi persoalan Jakarta.

Pada akhirnya semua itu tetap diserahkan pada Jokowi sendiri. Mau melanjutkan acara blusukannya atau menghentikannya untuk sementara. Toh, segala akibat dari pilihan kebijakannya termasuk agenda blusukan yang konon menelan anggaran hingga angka miliaran itu akan sangat menentukan nasib masyarakat Jakarta di masa depan. Kita juga akan melihat apakah pada tahun-tahun berikutnya Jakarta akan menjadi daerah yang benar-benar bebas dari macet dan banjir seperti dijanjikan Jokowi-Basuki dimasa kampanye dahulu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun