Mohon tunggu...
Fayakhun Andriadi
Fayakhun Andriadi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Fayakhun Andriadi, Ketua Partai Golkar Prov DKI Jakarta. Anggota Komisi I DPR RI 2009 - 2014 dan 2014-2019. Lahir 24 Agustus 1972. Sarjana Elektro Universitas Diponegoro, Magister Komputer Universitas Indonesia (UI) dan menyelesaikan program Doktor Ilmu Politik UI (2014) dengan disertasi Demokrasi di Era Digital. Pemilik website www.fayakhun.com. Twitter: @fayakhun

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tradisi Menabung dan Ketahanan Nasional

18 Januari 2015   00:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:55 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

(Refleksi Awal Tahun)

Liburan! Setiap kali saya mendengar atau membaca kata tersebut, pupil mata membesar, mata berbinar, dan mulut tersenyum. Libur berarti rileks, waktu luang, nyaman, nikmat. Hari Libur Nasional, adalah tambahan kenikmatan diluar hari libur rutin pada setiap akhir minggu. Apakah benar demikian? Setiap Hari Libur Nasional, yang terjadi adalah airport penuh, tempat rekreasi penuh, mall penuh, hingga jalanan macet parah. Suasana keluar rumah menjadi sangat kurang nyaman, tidak rileks, dan hilang impian nikmat. Kondisi seperti ini terjadi di beberapa tempat libur favorit seperti kota Bandung, kota Yogya, Pulau Bali, bahkan negeri tetangga seperti Singapura, selalu dipenuhi berjejalan masyarakat Indonesia menyerbu menjadi turis. Kalau lokasi wisata di negeri sendiri, maka menjadi turis lokal. Kalau mendatangi tempat wisata di negara-negara favorit, maka menjelma menjadi turis internasional.

Saya melihat fenomena positif dalam beberapa tahun terakhir. Bahwa masyarakat kelas menengah Indonesia semakin massif melakukan wisata. Pada momentum peringatan tahun baru misalnya, bisa dilihat tingginya lonjakan kegiatan berwisata yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia.Tempat-tempat wisata dan rekreasi keluarga penuh sesak, kursi perjalanan transportasi jarak jauh seperti pesawat dan kereta api terisi penuh sejak jauh hari.  Wisata yang dilakukan tidak saja di dalam negeri, tapi juga luar negeri. Kasus kecelakaan pesawat Air Asia QZ8501, misalnya, berkaitan dengan perjalanan liburan masyarakat Indonesia ke luar negeri.

Kemunculan kelas menengah di Indonesia setiap periode memang semakin tinggi. Menurut data, jumlah masyarakat kelas menengah meningkat pesat dari 37 persen pada 2004 menjadi 56,7 persen dari total penduduk di Indonesia pada 2013. Dengan kata lain, dalam satu dasawarsa, lebih dari 25 persen penduduk Indonesia naik kelas menjadi kelompok kelas menengah. Kelas menengah ini merupakan kelompok masyarakat yang membelanjakan uang per harinya 2 hingga 20 dollar AS. (antaranews.com, 16/4/2014). Ini tentu indikasi positif penguatan perekonomian nasional, karena meningginya jumlah kelas menengah berarti menguatnya perekonomian mereka. Pertumbuhan kelas menengah simetris dengan pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Perjalanan wisata yang semakin massif di tengah masyarakat adalah satu indikasi semakin bertumbuhnya kelas menengah tersebut.

Kita patut mengapresiasi besarnya minat masyarakat kelas menengah untuk mengunjungi lokasi-lokasi wisata nasional. Ketertarikan mereka pada kekayaan wisata dalam negeri semakin tinggi. Pada saat yang sama, wisata ke luar negeri juga menjadi pilihan tersendiri. Masyarakat kelas menengah kita kini sudah tidak asing lagi dengan kunjungan wisata ke negara-negara tetangga di kawasan Asean (Singapura, Thailand, Vietnam) maupun Asia pada umumnya (Eropa, Tiongkok, Hongkong, Jepang). Data yang ada sangat mengejutkan. Ternyata, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia dengan kunjungan wisatawan nusantara (wisnus) ke luar negeri selama Januari hingga Desember 2012, hampir sama jumlahnya, yaitu sekitar 8 juta. Turis asing yang berkunjung ke Indonesia  mencapai 8.044.462 orang atau tumbuh sebesar 5,16 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara masyarakat Indonesia yang bepergian ke luar negeri mencapai 8 juta lebih. (Suara Pembaharuan, 22/3/2013). Jika dahulu berwisata ke negara-negara tersebut masuk kategori prestisius, kini sudah semakin familiar. Ini mengindikasikan pesatnya perkembangan kelas menengah kita.

Meningkatnya tradisi berwisata sebagai gejala menguatnya masyarakat kelas menengah ini, harus diimbangi dengan penguatan tradisi pengelolaan keuangan yang sehat, baik pada tingkat pribadi maupun keluarga. Penguatan ekonomi kelas menengah tidak boleh berkembang secara sensasional saja, tanpa diimbangin dengan tumbuhnya kesadaran tata kelola keuangan yang lebih rasional. Kelas menengah di Indonesia harus merubah tradisi pengelolaan keuangan pribadi atau keluarganya, dari yang sebelumnya tradisional-konvensional menjadi rasional-profesional. Kebiasaan tata kelola keuangan model lama harus sudah ditinggalkan dan beralih pada yang baru.

Salah satu tradisi pengelolaan keuangan yang sehat adalah budaya menabung. Menabung bagian dari tata kelola keuangan yang rasional dan prospektif. Tradisi menabung menunjukkan cara pandang yang jauh kedepan. Dengan menabung, sebuah masyarakat berarti memiliki rencana jangka menengah dan panjang tentang apa yang ingin dicapainya di masa depan. Selain itu, tradisi menabung juga mengindikasikan bahwa sebuah masyarakat bersifat antisipatif. Mereka menabung untuk mengantisipasi jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, seperti pemutusan hubungan kerja, mengalami kecelakaan, sakit, atau hal-hal lainnya. Tabungan menjadi “kotak” penyelamat, ketika seseorang dihadapkan pada kondisi-kondisi seperti itu. Fungsi utama dari tradisi menabung adalah sebagai ketahanan finansial. Menabung adalah “benteng” yang mencegah seseorang dari segala bentuk ancaman krisis keuangan yang mungkin menjeratnya. Menabung menjadi “tembok” kokoh yang memproteksi finansial seseorang.

Tradisi menabung harus digalakkan pada masyarakat kelas menengah kita. Karena ini berkaitan dengan ketahanan finansial negara Indonesia secara keseluruhan. Semakin tingginya jumlah kelas menengah di negara kita menunjukkan semakin besarnya peranan mereka sebagai “benteng” ketahanan finansial nasional. Jika ketahanan finansial kelas menengah kita rapuh, maka ketahanan finansial secara nasional juga akan mudah ambruk. Demikian juga sebaliknya: kuatnya ketahanan finansial kelas menengah kita simetris dengan kuatnya ketahanan finansial pada tingkat negara. Lebih dari itu, ketahanan finansial kelas menengah merupakan salah satu kunci dari ketahanan nasional secara umum. Kuat-lemahnya basis finansial sebuah negara sangat menentukan ketahanan nasionalnya. Jadi, penggalakan tradisi menabung pada kelas menengah kita paralel dengan ketahanan finansial nasional dan ketahanan nasional itu sendiri.

Pesatnya pertumbuhan kelas menengah kita tidak akan berarti apa-apa bagi perekonomian nasional, jika tidak diimbangi dengan menguatnya ketahanan finansial mereka yang salah satunya tercermin dari kuat-lemahnya tradisi menabung mereka. Ibarat balon yang mengembang besar namun hanya berisi angin saja didalamnya, tentu akan rentan kempes ketika tertusuk “peniti” (krisis keuangan). Kelas menengah bisa menjadi penyelamat perekonomian negara kita ketika terserang ancaman krisis, jika finansial mereka benar-benar “berisi” (bukan hanya udara). “Berisi”-tidaknya finansial kelas menengah ini ditentukan oleh tradisi menabung yang mereka jalankan. Menabung menjadi pondasi yang menguatkan bangunan kokoh keuangan kelas menengah kita. Tabungan ibarat nafas simpanan yang dapat menyelamatkan seseorang ketika terserang “asma” finansial.

Beberapa hasil survei dan riset menunjukkan bahwa kebiasaan menabung masyarakat kita semakin tinggi.

Pertama, hasil riset perusahaan informasi dan pengukuran global dalam bidang pemasaran, konsumen dan media massa, Nielsen Holding N.V, menunjukkan bahwa konsumen Indonesia tercatat sebagai konsumen paling optimis, skor 124, untuk terus menyisihkan uangnya sebagai tabungan dibandingkan konsumen di negara-negara lain di kawasan ASEAN. Survei ini dilaksanakan pada 17 Februari hingga 7 Maret 2014 dengan mensurvei lebih dari 30 ribu konsumen online di 60 negara di kawasan Asia Pasifik, Eropa, Amerika Latin, Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Utara. Selain Indonesia, konsumen di negara lain yang juga memiliki tingkat optimisme tinggi yaitu Filipina, Thailand, Singapura dan Vietnam. Tingkat kepercayaan diri konsumen Filipina mencapai skor 116, Thailand skor 108, Singapura dan Vietnam mencatatkan skor 99, sedangkan Malaysia skor 92. Sementara itu, keinginan konsumen Indonesia untuk berbelanja pada kuartal IV 2013 mengalami sedikit penurunan dibandingkan kuartal sebelumnya. Pada kuartal IV 2013, sebanyak 56% konsumen menyatakan bahwa satu tahun ke depan adalah waktu yang baik dan sangat baik untuk membeli barang yang diinginkan atau dibutuhkan. Pada kuartal I 2014 angka tersebut turun menjadi 53%. Sedangkan dalam hal penggunaan dana cadangan setelah mencukupi biaya hidup, sebanyak 72% konsumen Indonesia menyatakan bahwa dana tersebut diperuntukan untuk menabung, 44% konsumen untuk berlibur, 35% untuk berinvestasi saham dan reksadana dan 27% untuk hiburan di luar rumah.(liputan6.com, 7/5/2014).

Kedua, Survei Kepercayaan Konsumen kuartal keempat 2012 yang dilakukan Nielsen menyimpulkan bahwa “orang Indonesia paling rajin menabung”. Meskipun indeks survei turun 2 poin dibanding kuartal 3, angka tersebut menunjukkan situasi keuangan personal yang baik dan stabil sejak 2010. Terbukti 78% responden survei online ini yakin dengan keuangan mereka hingga tahun mendatang. Bahkan bila dibandingkan negara lain, masyarakat Indonesia lebih rajin menabung, mempersiapkan masa depannya. Netizen Indonesia memiliki simpanan uang yang tidak sedikit. Dari 500 responden yang disurvei, 74% menabung uangnya. Ini merupakan presentase tertinggi di antara masyarakat di negara-negara Asia Pasifik lainnya. Bahkan, di Selandia baru hanya 33% netizen yang mempunyai tabungan, sementara Australia 44%. Apabila dilihat secara keseluruhan, 58% masyarakat online saja di Asia Pasifik yang menabung. Artinya, orang Indonesia lebih sadar pentingnya menabung dibanding masyarakat Asia Pasifik umumnya. Yang tak kalah menarik, diantara 500 responden Indonesia, hanya 10 orang atau 2% responden yang mengaku tidak memiliki simpanan uang. Padahal apabila dibandingkan responden Asia Pasifik, ada 8% yang tidak menabung. Di Selandia Baru bahkan 21% responden tidak menyimpan uangnya. Hal ini mengindikasikan kemampuan menabung orang Indonesia yang tidak bisa diragukan. (swa.co.id, 7/2/2013)

Ketiga, Hasil survei Master Card Survey on Consumer Purchasing Priorities tentang pengelolaan keuangan masyarakat Indonesia yang dilakukan pada tahun 2013, menunjukkan bahwa jumlah masyarakat Indonesia yang telah menyisihkan pendapatan atau menabung dalam jumlah lebih banyak atau tetap dalam rencana 6 bulan ke depan sebanyak  89%. (swa.co.id, 7/9/2013) Ada beberapa alasan yang meletarbelakangi keputusan untuk menabung. Diantaranya, investasi untuk masa depan, dana pensiun, kebutuhan properti (membeli atau merenovasi rumah) dan kendaraan. Hasil survei tersbeut menunjukkan bahwa mayoritas responden hanya menyisihkan 1% - 10% dari pendapatan mereka untuk ditabung. Pada urutan kedua terbanyak, menyisihkan 11% - 20% dari pendapatan mereka. Sementara di posisi terakhir menyisihkan 20% - 30% pendapatan untuk ditabung. Secara rata-rata, persentase penghasilan responden yang disisihkan atau ditabung adalah 13% dari total penghasilan.

Survei ini juga memotret prediksi responden tentang berapa lama mereka bisa bertahan hanya dengan mengandalkan tabungan, jika kehilangan sumber pendapatan utama. Hasil survei menunjukkan 25% responden percaya mereka mampu bertahan lebih dari 6 bulan, walau hanya bergantung pada tabungan. Tiga bulan merupakan jangka waktu yang dipercaya oleh 20% untuk dapat bertahan, sementara 18% responden percaya mereka hanya mampu bertahan 2 bulan. Dalam survei ini juga terungkap bahwa masyarakat Indonesia menunjukan keinginan untuk menikmati hasil jerih payah selama bekerja saat masa pensiun mereka datang. Sebanyak 61% responden optimis rentang umur 51-60 tahun merupakan umur pensiun dengan dukungan finansial cukup. Sementara 28% responden menunjukkan optimisme pada usia 50 tahun atau lebih muda sebagai usia dengan dukungan finansial yang cukup. Usia 61-70 tahun adalah usia yang dianggap aman oleh 11% responden. Usia 56 tahun menjadi usia rata-rata bagi responden sebagai usia pensiun dengan dukungan finansial yang cukup.

Hasil survei ini membuktikan bahwa sebagian masyarakat kita sudah rasional dan dan prospektif dalam mengelola keuangannya. Mereka memiliki pandangan jauh ke depan, baik sebagai langkah antisipatif terhadap terjadinya sesuatu yang tidak diingikan atau juga atau juga langkah prospektif dalam rangka memperbaiki tingkat kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup pribadi maupun keluarga. Dan menabung merupakan mekanisme yang efektif dan strategis untuk mencapai tujuan ini. Masyarakat kita mulai sadar pentingnya menabung bagi persiapan masa depan.

Masyarakat kita sebenarnya sudah sangat akrab dengan tradisi menabung. Kita memiliki modal berharga untuk meningkatkan tradisi menabung. Di berbagai kelompok masyarakat kita, menabung merupakan bagian dari kearifan lokal. Kita sering mendengar ungkapan-ungkapan yang memberi pesan tentang pentingnya menabung: menabung pangkal kaya. Tradisi menabung juga sudah dipraktekkan oleh nenek moyang kita. Misalnya, kebiasaan mereka menabung menggunakan bambu. Jadi, sebenarnya tidak terlalu sulit untuk menyemarakkan kembali tradisi menabung pada kelas menengah kita.

Kita memiliki warisan tradisi menabung yang sudah berjalan secara turun temurun. Tinggal sekarang bagaimana kita menghidupkan kembali tradisi tersebut dan mengkontekstualisasikannya dengan zaman modern saat ini. Kelas menengah kita tidak boleh lupas dengan tradisi ini, karena sangat berharga dan relevan sebagai sebuah nilai-nilai luhur. Selain itu, nilai-nilai religi berbagai agama yang berkembang di Indonesia juga menekankan pentingnya tradisi ini. Misalnya, zakat dalam agama Islam yang memiliki pesan kuat tentang ketahanan finansial secara komunal dan bentuk kepedulian finansial terhadap sesama. Dan sebagai masyarakat yang religius, kelas menengah kita tentu masih memiliki komitmen yang kuat untuk mempraktekkan ajaran-ajaran luhur keislaman tersebut.

Penguatan tradisi menabung memiliki beberapa tantangan. Diantaranya adalah gaya hidup yang tidak sehat secara finansial. Penggunaan kartu kredit misalnya, ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, kartu kredit berguna untuk mengakselerasi peningkatan ekonomi seseorang. Namun pada sisi yang lain, kebiasaan menggunakan kartu kredit juga bisa menjebak seseorang pada pola hidup konsumtif, bukan produktif. Mereka terus melakukan konsumsi dan abai pada tanggungjawab untuk memproduksi. Selalu berorientasi pada belanja. Akibatnya, secara finansial kelas masyarakat ini sebenarnya rapuh, meski dari luar tampak kokoh. Performa menggunakan kartu kredit seakan-akan menempatkan mereka sebagai kalangan berduit. Tapi jika ditelisik lebih dalam, mereka sebenarnya terlilit oleh hutang atau tagihan-tagihan yang tidak mampu mereka bayar. Secara finansial, mereka tampak kokoh dari luar, tapi sebenarnya keropos didalamnya. Inilah yang disebut dengan kelas menengah semu. Mereka tampak seperti kelas menengah, namun sebenarnya bukan, karena basis finansial mereka sangat rapuh.

Menurut riset yang dirilis Tempo pada edisi 20 Februari 2012 menunjukkan bahwa finansial masyarakat kelas menengah kita masih banyak dialokasikan untuk pola hidup yang konsumtif. Riset tersebut menunjukkan bahwa 41,7 persen untuk keperluan pangan; 17,2 persen papan; 7,3 persen untuk produk dan pelayanan rumah tangga; 7,1 persen keperluan edukasi; 5,8 persen hotel dan katering; 5,2 persen alkohol dan rokok; 3,6 persen transportasi; 3,6 persen sandang; 2,5 persen produk dan pelayanan kesehatan; 2,1 persen rekreasi; 1,7 persen untuk komunikasi; dan 2,2 persen untuk produk dan pelayanan lain. Jadi, alokasi pengeluaran untuk makanan menjadi porsi terbesar akibat pergeseran perilaku konsumsi panganmasyarakat yang dahulu selalu memasak makanannya sendiri di rumah, namun kini adayang lebih sering atau bahkan selalu makan di resto/restoran/kafe. Hasil riset Litbang Kompas (8 Juni 2012) tentang pola hidup masyarakat kelas menengah kita juga menunjukkan tingginya pola konsumsi mereka. Untuk sektor telekomunikasi, riset menunjukkan bahwa 54,1 % masyarakat kelas menengah atas telah memiliki smartphone. Bahkan 23,1% diantaranya memiliki lebih dari satu smartphone. Sedangkan pada masyarakat kelas menengah, 31,2% telah memiliki smartphone, dan 9,2% diantaranya memiliki lebih dari satu.

Kita tentu berharap bahwa kebiasaan berwisata yang saat ini massif di kalangan kelas menengah kita, justru mengindikasikan kokohnya ketahanan finansial kelas menengah kita. Dengan kata lain, ketika mereka berwisata ke dalam negeri atau luar negeri, dana yang mereka gunakan benar-benar merepresentasikan dana “lebih” yang mereka miliki, bukan dana pokok kebutuhan primer. Disinilah letak pentingnya menabung. Menabung memberikan rasa aman. Ketika seseorang melakukan liburan, sementara pada saat yang sama ia memiliki jumlah tabungan yang memadai, maka tentu akan membuatnya tidak merasa gelisah memenuhi kebutuhannya pascaliburan.

Dilihat dari jumlah dana yang ditabungkan, idealnya dana yang ditabungkan oleh kelas menengah kita sebesar 75 persen dari penghasilan yang didapat. Sementara yang dibelanjakan sebesar 25 persen. Angka tabungan ini memang tergolong besar. Namun dibalik ini ada pertimbangan matang, yaitu fakta bahwa kelas menengah kita mayoritas adalah pekerja, bukan enterpreneur. Profesi sebagai karyawan ini memiliki kelemahan tersendiri. Kelas menengah yang tumbuh dari kelompok karyawan cenderung lebih rawan atau rentan secara finansial dibandingkan yang enterpreneur.

Kedepan, pemerintah harus proaktif menggalakkan literasi keuangan (financial literate). Edukasi pengelolaan keuangan harus semakin intensif dilakukan pada masyarakat, terutama kelas menengah. Bahkan negara sekelas Amerika Serikat menyadari pentingnya literasi keuangan pasca diterpa krisis keuangan pada tahun 2008 lalu. Saat itu, Presiden George Bush menyadari pentingnya mengembangkan literasi keuangan untuk meningkatkan pengetahuan rakyatnya supaya lebih siap, antisipatif, dan cerdas ketika menghadapi krisis. Bulan Januari 2008, Bush menunjuk John Bryant, seorang pegiat pendidikan keuangan, untuk menjadi Wakil Ketua Dewan Literasi Keuangan. Bryant bersama Charles Schwab, seorang mantan pimpinan perusahaan pialang, bergerilya mendidik masyarakat Amerika agar cerdas dalam mengelola keuangan pribadi maupun keluarganya.

Budaya menabung yang merupakan tradisi luhur bangsa kita harus kita hidupkan kembali di masyarakat kelas menengah kita khususnya dan seluruh elemen bangsa umumnya. Agar ketahanan finansial kita menjadi penopang penting ketahanan nasional kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun