Mohon tunggu...
Fauzan Sukma M
Fauzan Sukma M Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa Fisipol, Gadjah Mada. Memiliki ketertarikan pada bidang sastra, kebudayaan, politik, dan sejarah. Menghamba pada Tuhan, bukan zaman. http://kumpulanterbuang.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Orwell dan Sastra yang Politis

21 Januari 2018   13:40 Diperbarui: 21 Januari 2018   20:18 1999
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
George Orwell (Sumber: bbc.com)

Tulisan terbit usai kunjungan dari Peking. Dalam surat kiriman yang bergandengan dengan salam Tahun Baru untuk Lie Tie Gwan tersebut, selain berbicara mengenai perintisan 'sastra revolusioner', Pramoedya bermanifestasi ihwal kerja-kerja sastra: yang dalam duduk soalnya, ketika politik kadung buntu, tak bisa menyelesaikan permasalahannya sendiri, maka sastra harus merebut panggung. Ia mengambil pimpinan. [1] Bukan untuk memotret atau memantulkan suatu kejadian -seperti bangun khayal awam pada umumnya- melainkan menapak langkah lebih luhur, "mengubah kenyataan-kenyataan hulu menjadi kenyataan sastrawi, yang membawa pembacanya lebih maju daripada yang mapan," tandasnya dalam tulisan yang berbeda.

Romansa sejarah sastra Indonesia kemudian hidup sebagai ruang ziarah, memanggil Pram untuk kembali mengenang proses kreatif Kartini, ketika masa di mana dibutuhkan suara yang nyaring, tulisan-tulisannya menjadi buah kelahiran emansipasi wanita, sekaligus pemerintahan. Dan generasi setelahnya, sajak 'Si Binatang Jalang' yang bernuansa pemberontakkan, berhasil meneguhkan seruan untuk terus bergelut atas segala bentuk hipokrisi dan kerangkeng penindasan Jepang. Betapa pun sensor ketat kempetai yang hilir mudik sana-sini tiada berjarak dengan keselamatan Chairil.

Dalam keyakinan saya, jika setiap bidang -untuk kebutuhan kemanusiaan- dapat dipandang melalui sudut terjauh dan terluar sekalipun, maka sahihlah apabila fungsi sastra dipandang dan dijalankan sesuai politik identitas suatu kelompok manapun. Seperti yang dikehendaki Pram tersebut, misalnya: menghindarkan sastra dari kaul kesucian, yang larut dalam petapaannya di atas gunung, yang terkurung dalam sangkar stereotip "seni hanya untuk seni".

Mungkin itu bisa menjadi praduga yang lebih subtil, "tidak terlalu serampangan" bagi penulis apolitis manapun, jika memang, mereka yang di seberang sana enggan didakwa tidak cukup nyali untuk menghadapi politik. Tentu, tafsiran politik bisa dibentangkan seluas-luasnya. Keinginan mendorong dunia ke arah tertentu, atau mengubah paradigma masyarakat tentang sebuah gagasan atas dunia macam apa yang seharusnya diperjuangkan pun tak berada di luar mainstream dari arti politik itu sendiri.

Tapi tenang, Bung, jangan khawatir. Anggap saja tulisan di muka tersebut sebetulnya hanya basa-basi belaka. Basa-basi atas kejengahan saya pada keangkuhan penulis yang berdiri di atas karya picisan mereka yang banal, cengeng, miskin riset, dan melemahkan mental pembacanya sebagai manusia, lewat kata-kata yang manis, memukau. Sungguh, ini bukanlah suatu keresahan yang berarti. Ini pekerjaan yang sia-sia. Karena memperdebatkan, apalagi memaksakan kehendak selera, memang tidak dimungkinkan sampai akhir zaman sekalipun.

Sialnya, suara Orwell seakan mengusik kemapanan sastra yang asyik-masyuk dengan dirinya sendiri tersebut. Alih-alih membenamkan diri pada kesusastraan yang mendayu-dayu, ia justru mengawinkan sastra dengan politik secara gamblang. Atau mungkin lebih tepatnya: bermain-main seserius mungkin dengan sastra, untuk mencapai politik pengaruh pada masanya. Orwell jelas-jelas jahanam, keblinger tiada ampun. Tak termaafkan oleh penulis-penulis moralis.

Politik Bahasa Orwellian

George Orwell, adalah sebuah nama pena dari Eric Arthur Blair. Menjajaki profesi jurnalis, esais, kritikus, kemudian tumbuh dan lebih dikenal sebagai raksasa sastra abad 20; abad di mana perang ideologi, ambisi cita-cita mutlak (dan gila!), membawa pada pembinasaan besar. Jalan menuju kemahsyurannya diratakan oleh kehadiran dua novel, 1984 dan Animal Farm. Kedua karya agungnya tersebut menjadi novel propaganda, alegori satir atas situasi perpolitikan rezim Stalin di Uni-Soviet. (biar pun sebenarnya Orwell memberikan ruang besar bagi pembaca untuk menafsirkan tulisannya). 

Orwell yang mendukung sosialis-demokrat itu merasa jijik, dan berteguh melawan totalitarianisme lewat tulisannya.[2] Dengan karakterisitik yang tetap dipertahankan, kedua novel itu disajikan dengan takaran terbaiknya: bahasa sederhana dan lugas, dialog tangkas, serta spekulasinya yang berani, merupakan hasil buah pengamatannya sebagai jurnalis.

Animal Farm lahir mendahului saudaranya, 1984. Bagi Eka Kurniawan, salah seorang penulis kontemporer Indonesia, magnum opus Orwell tersebut dapat dikatakan sebagai novel yang buruk, tapi hebat.[3] Buruk, karena membuat revolusi tampak pesimistis: bahwa cita-cita setiap revolusioner pasti berakhir pada pengkhianatan, hilang kendali dan menjadi otoriter. Tapi sekaligus hebat, karena pesan propaganda ditampilkan dalam bentuk fabel, sehingga ramah dibaca oleh anak-anak. Anak-anak adalah anak-anak, tapi "sekali pesan masuk ke kepala mereka [...] akan sulit dikeluarkan kembali," tutur Eka, dalam esai yang mengulas Animal Farm di laman pribadinya.

Dalam 1984, Orwell mendongengkan sebuah kisah distopia. Kenyataan atas pencapaian artistik yang masih di bawah penulis sezaman lainnya -sebutlah Hemingway, Steinbeck- memang tidak dapat dinafikkan. Tapi kematangan narasi politiknya, bahasa yang dimaksimalkan untuk menggambarkan keadaan, membuat pembaca seperti saya menjadi geram. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun