Mohon tunggu...
Muhammad Fatkhuri
Muhammad Fatkhuri Mohon Tunggu... -

follow me at twiter, @fatur_fatkhuri

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menakar Praktik Demokrasi dari Bawah: Potret Pemilihan Ketua RT

26 Februari 2012   07:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   09:09 1707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh Fatkhuri

Hampir dapat dipastikan, bahwa praktik demokrasi tidak hanya monopoli elit-elit politik terutama yang duduk di singgasana empuk di Jakarta. Saat ini, praktik demokrasi melalui pemilihan kepala daerah sebagaimana menjadi amanat undang-undang juga telah terjadi di seluruh daerah di Indonesia sejak tahun 2005 yang lebih terkenal dengan sebutan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) secara langsung. Pemilihan Umum Kepala Daerah secara langsung telah dipraktikan beberapa tahun belakangan. Namun demikian, kalau kita mau menelisik lebih jauh praktik pemilihan pemimpin, pemilihan secara langsung sebetulnya sudah lama dilaksanakan di desa-desa di Indonesia dalam rangka memilih kepala desa di kampung-kampung.

Berpijak pada realitas di atas, dapat disimpulkan bahwa demokrasi pada dasarnya telah tertanam sejak puluhan tahun yang silam di masyarakat Indonesia. Namun perlu digarisbawahi juga bahwa demokrasi masih dimaknai sebatas kepada pemilihan kepala desa atau Rukun Tetangga (RT), belum kepada taraf praktik penanaman nilai-nilai (values) akan substansi demokrasi itu sendiri. Demokrasi ala masyarakat kita meskipun dalam derajat tertentu sudah ada yang mulai maju tingkat pemahamannya masih terjebak pada pergantian kepemimpinan, baik pada tingkat presiden, gubernur, bupati/wali kota, bahkan kepala Rukun Tetangga (RT).

Mengamati Proses Pemilihan Ketua RT

Hari ini saya mengamati pemilihan Ketua RT di tetangga sebelah. Sebagaimana jamak diketahui bahwa saat ini, pemilihan ketua RT sudah lebih demokratis dari sebelumnya, artinya proses pemilihan dilakukan secara terbuka dengan melibatkan partisipasi warga. Saat ini, hampir bisa dipastikan banyak kampung-kampung yang melaksanakan pemilihan ketua RT dengan cara terbuka. Cara terbuka di sini maksudnya adalah bahwa proses pemilihan tidak dilakukan dalam ruang-ruang tertutup, atau perkumpulan-perkumpulan yang sering dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Pemilihan ketua RT, sama persis dengan apa yang dilakukan oleh penyelenggara pemilihan umum baik pada level nasional, maupun regional melalui Pemilihan Kepala Daerah, yakni dengan mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Yang unik dan menarik perhatian saya adalah bahwa, pelaksanaan pemilihan Ketua RT ini tidak lazim sebagaimana yang biasa saya amati, yakni hanya sekali dalam pemilihan, meskipun dalam pemilukada hal tersebut sudah biasa terjadi. Lebih tepatnya, belum lama ini terjadi pemilihan ketua RT tepatnya pada hari minggu tanggal 12 Februari 2012. Kalau saya coba hitung mundur, pemilihan ketua RT sebelumnya baru dilaksanakan dua minggu yang lalu. Pelaksanaan Ketua RT yang kedua ini konon karena salah satu pasang calon tidak puas, atau kecewa karena tidak terpilih menjadi RT. Berdasarkan informasi yang saya dapat, selisih suara sangat tipis, yakni 6 suara.

Tidak lama setelah pemilihan Ketua RT terjadi, beberapa warga sering berkumpul dan berdiskusi, tentu dengan dihadiri calon yang sebelumnya kalah dalam pemilihan. Rumor berhembus, bahwa calon yang kalah tidak puas, dan dengan pengaruh yang dimiliki, dia memobilisasi warga untuk mengadakan pemilihan ketua RT ulang. Perlu dicatat di sini bahwa calon yang sebelumnya menang adalah incumbent, dan pada pemilihan tanggal 12 Februari 2012 yang lalu dia maju untuk periode yang kedua.

Ternyata proses gerilya yang dilakukan oleh calon yang kalah dengan beberapa koleganya dalam rangka mengadakan pemilihan RT ulang ini berhasil. Terbukti, pemilihan kemudian dilangsungkan pada tanggal 26 Februari 2012. Pemilihan Ketua RT untuk yang kedua ini tidak melibatkan semua pemilih tetap yang terdaftar oleh panitia sebelumnya, sebab pemilihan kali ini hanya untuk separuh dari warga yang mengikuti pemilihan sebelumnya. Artinya, warga yang berhasil dimobilisasi ini sepakat memisahkan diri dari kepemimpinan RT lama, dan tidak lagi mempunyai hubungan secara administratif dengan RT incumbent yang menang pada pemilihan sebelumnya. Dengan cara membentuk RT baru inilah kemudian, warga akhirnya melakukan pencoblosan ulang untuk memilih Ketua RT lagi.

Berdasarkan informasi yang beredar dari berbagai sumber, calon yang sebelumnya kalah tidak ikut mencalonkan lagi. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan, suara dari calon yang kalah sebelumnya akan diberikan kepada salah satu calon yang saat ini maju. Perlu dicatat di sini bahwa, pada pemilihan sebelumnya, jumlah calon ketua yang maju dua orang, dan saat ini pun demikian.

Berdasarkan fakta di atas, saya menyimpulkan beberapa poin terkait dengan praktik demokrasi masyarakat akar rumput.

Pertama, masyarakat kita cenderung melakukan imitation habit (meniru tingkah laku) dari para elit-elit politik yang mereka lihat. Argumentasi ini bisa dilihat dari dua aras. Pertama, praktik pemilihan ketua RT secara terbuka tidak ada instruksi khusus dari kepala RW, Kepala Desa/Lurah, bahkan camat mau pun Bupati/Wali Kota. Mereka melaksanakan pesta demokrasi tersebut berdasarkan inisiatif sendiri atau voluntary intention tanpa ada himbauan dari pemimpin yang berada pada tingkat di atasnya. Apa yang mereka lakukan tidak lebih dari proses meniru dari yang disuguhkan selama ini ketika terjadi pergantian kepemimpinan baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota.  Kedua, Proses pemilihan ketua RT dengan cara terbuka membuktikan bahwa di samping demokrasi sudah mulai mengakar pada masyarakat akar rumput meskipun masih pada tarap pemilihan pemimpin, tetapi pada dasarnya mereka cenderung meniru apa yang mereka lihat dari praktik pemilihan kepala daerah. Contohnya, pembentukan RT baru, yang dimotori oleh calon yang kalah dalam pemilihan ketua sebelumnya membuktikan bahwa calon tidak siap kalah dan mencoba mencari jalan pintas agar kepentingannya bisa tercapai. Apa yang dilakukan calon ketua RT yang kalah ini sebetulnya meniru apa yang dipraktikan oleh para calon-calon kepala daerah yang kalah dalam pemilukada di berbagai daerah. Terlepas dari benar dan salah dari apa yang dilakukan oleh para kandidat kepala daerah yang kalah dengan mangajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), hal ini kemudian ditiru oleh masyarakat kita. Yang menarik adalah bahwa pemisahan diri dari RT sebelumnya tidak memiliki basis argumentasi yang kuat. Pemisahan terjadi karena dianggap, RT lama terlalu luas cakupan wilayahnya, sehingga urgensi melakukan pemisahan harus secepatnya dilakukan. Ironisnya, sikap pemisahan diri ini tidak terjadi sebelum momentum pemilihan ketua RT periode pertama, akan tetapi dilakukan setelah pemilihan ketua RT sebelumnya, dan dipastikan calon mereka kalah dalam pemilihan.

Kedua, demokrasi ala masyarakat juga tidak bisa dilepaskan dari praktik money politik. Meskipun perlu diuji kebenarannya, praktik money politik ini terjadi dalam proses pemilihan ketua RT. Informasi yang berasal dari salah satu sumber mengatakan bahwa, salah satu calon pada dasarnya tidak memiliki kapasitas, akan tetapi didanai oleh salah satu orang yang memiliki kepentingan tertentu di kampung tersebut. Fenomena ini merupakan bukti bahwa imitation habit atau proses meniru yang dilakukan masyarakat terhadap elit-elit politik begitu efektif.

Jalan terjal mewujudkan demokrasi

Jalan menuju pembangunan demokrasi yang sebenarnya masih panjang. Apa yang dipraktikkan oleh elit-elit politik kita saat ini dengan melakukan jalan pintas melalui money politics dan sebagainya benar-benar ditiru oleh masyarakat secara efektif. Tentu ini merupakan preseden buruk bagi terciptanya iklim demokrasi yang sebenarnya. Dengan melihat fakta ini, dapat dismpulkan bahwa apa yang dilakukan masyarakat akar rumput saat ini adalah cerminan para elit yang tidak bertanggungjawab. Dengan berbagai cara mereka lakukan ketika pemilukada dan kampanye berlangsung, namun ketika mereka terpilih kemudian lupa kepada yang memilih. Padalah apa yang mereka tinggalkan merupakan jejak kotor, yang seharusnya segera mereka luruskan.

Seandainya cara-cara kotor tidak dilakukan oleh politisi ketika dalam pemilukada dan pemilihan umum, barangkali apa yang tersuguhkan hari ini pada kasus pemilihan RT di tetangga sebelah tidak terjadi.

Penulis adalah Pemerhati Sosial dan Budaya

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun