Mohon tunggu...
Fatmi Sunarya
Fatmi Sunarya Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pujangga

Penulis Sederhana - Best in Fiction Kompasiana Award 2022- Kompasianer Teraktif 2020/2021/2022 - ^Puisi adalah suara sekaligus kaki bagi hati^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Boejang Lapoek

10 Agustus 2019   14:35 Diperbarui: 10 Agustus 2019   14:39 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

BOEJANG LAPOEK

OLEH FATMI SUNARYA

Namaku Syamsul Baringin, orang sekampung ini memanggilku Bari padahal aku lebih suka dipanggil Syam. Aku satu-satunya sarjana S1 di kampung ini, hampir semua pemuda hanya tamatan SD. Aku berprofesi sebagai guru SMA di satu-satunya SMA di sini. Pernah mendapat  gelar guru teladan se-kecamatan memberi nilai plus untukku. Jadi kehidupanku mendekati sempurna di mata orang sekampung ini.

Hidup di kampung yang tenang dan damai semula memang menyenangkan. Cuma satu yang jadi masalah, usiaku yang sudah 40 tahun dan belum kawin-kawin juga dicap orang sekampung ini sebagai si bujang lapuk alias tidak laku-laku. Ini bedanya antara kota dan kampung seperti ini. Kalau di kota usia 40 tahun kalau belum kawin tak masalah. Lagian disini perempuan-perempuannya  tidak ada yang berpendidikan tinggi, paling tamatan MIS. Tidak cocoklah dengan aku yang sarjana. Bagaimana dia akan mendidik anakku nantinya kalau pendidikannya rendah. Itu salah satu perbedaan pandangan dengan orang tuaku.

Menurut mereka, yang penting akhlak perempuanlah yang menjadi tolak ukur dalam keluarga. Kalau perempuan akhlaknya baik tentu saja anak yang di didiknya juga akan baik walaupun pendidikannya rendah. Sedangkan aku tidak begitu setuju dengan mereka. Tetap ngotot mesti perempuan berpendidikan tinggi dan ber hak sepatu tinggi. Sebenarnya ada satu perempuan yang menarik, namanya Surti Karmi. Seorang guru mengaji di surau kampungku ini. Sopan, baik, berambut panjang dan keibuan. Cuma gengsi sarjanaku ini yang membuatku harus mencari sosok perempuan yang mempunyai nilai lebih.

Sudah satu malam ini aku tak bisa tidur, aku ingin pindah ke kota. Setiap ada undangan pesta pernikahan aku memilih tidak datang. Setiap ada acara pemuda pemudi juga begitu, tidak datang. Mereka semua punya pasangan, ada yang sudah menikah bahkan punya anak sudah SMA. Terngiang-ngiang celotehan pemuda kampung ini, "oi....lihat Bari, si Bujang Lapuk lagi merana menunggu bidadari dari kota ha...ha". Hei...belum tahu mereka kalau misalnya aku pindah ke kota dan bertemu benar dengan seorang bidadari kota. Apalagi menurut temanku yang di kota, kalau di kota mencari perempuan sangatlah gampang. Asal ada uang katanya. Apa benar ya?

Sudah seminggu aku kasak kusuk mengurus kepindahanku ke kota dan akhirnya surat pindahnya belum keluar tapi bolehlah menumpang mengajar di salah satu SMA di kota. Rasanya aku ingin berteriak, Hoi... kalian yang memanggilku si Bujang Lapuk, sebulan lagi aku akan kembali membawa bidadari kotaku.

Dikota menumpang di rumah teman tidaklah sama ketika dia yang menumpang dirumahku dikampung. Kalau dia ke kampungku mau apa-apa gratis. Eh tiba giliranku menumpang di rumahnya tidak ada yang gratis. Ternyata hidup di kota benar-benar menguras dompet. Gaji sebulan di kampung cuma bisa buat seminggu di kota. Baru satu kali jalan cabiklah dompetku. Tapi demi si bidadari kota tidaklah apa-apa.

Sesuai petunjuk temanku, kalau di kota kalau tidak jalan keluar rumah manalah dapat pasangan. Kau jalanlah di taman kota, kata temanku. Malam minggu aku ke taman kota, wah dari jauh sudah kelihatan perempuan-perempuannya cantik-cantik. Tapi makin dekat kok makin ....umpama lukisan makin abstrak. Oh..oh ternyata wanita berjakun. Pucat pasilah awak dibuatnya, perempuan berkelas mungkin bisa ditemui di kafe-kafe.

Beranjak ke kafe, aku bertemu perempuan yang ini asli. Perawakan domestik tapi penampilan sungguhlah internasional. Mata biru, rambut kuning, pakaian minim, lagak bak selebriti. Gigi berpagar pula ditambah kulit muka putih mengkilat beda jauhlah dengan kakinya yang keling. Ngobrol ngalor ngidul sebentar dengan Si Siska namanya, membuatku mulai bosan. Omongannya tinggi jauh dari jangkauanku.

Abang kerja dimana? Punya kartu kredit?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun