Gara-gara diundang seorang rekan, pada Selasa sore (2/8) lalu saya menghadiri pembukaan pameran seni rupa. Ini bukan pameran lukisan karya seorang maestro. Bukan. Ini pameran seni rupa yang memajang karya-karya sejumlah orang belia, bahkan sebagian masih tergolong anak-anak. Dan, mereka semua adalah penyandang difabel.
Bertempat di Bentara Budaya Yogyakarta, pameran yang diprakarsai oleh komunitas Perspektif Yogyakarta dan Tutti Arts yang bermarkas di Adelaide, Australia, ini berlangsung hingga Senin (8/8) depan. Dari Perspektif ada tujuh anak yang karyanya dipamerkan, sementara dari Tutti Arts ada empat anak.
“Eksplorasi Titik: Membongkar Alam Pikiran dengan Seni Rupa.” Begitulah judul yang disematkan pada pameran tersebut. Karya-karya yang dipajang memang menunjukkan eksplorasi terhadap titik. Tentu saja bukan sekadar “titik” seperti tanda baca di tulisan ini. Titik di sini bisa berupa kelereng, kerikil, biji-bijian, potongan kertas warna-warni berbentuk mendekati bulat, atau benda-benda sejenis lainnya. Titik-titik tersebut ditata sedemikian rupa di atas kertas sehingga membentuk karya seni rupa menarik, bahkan unik.
Dengan keterbatasan yang mereka miliki, para difabel ternyata mampu menunjukkan daya kreasi mereka dalam berkesenian, utamanya seni rupa. Ini patut diapresiasi. Komunitas Perspektif yang memfasilitasi para difabel dalam berseni-rupa telah beberapa kali memamerkan karya-karya mereka. Malahan sebelum ini, pada September-Oktober 2015, karya mereka dipamerkan dalam Festival OzAsia di Adelaide, Australia. Perspektif menjadi satu-satunya komunitas seni rupa difabel dari Indonesia dalam event berskala internasional tersebut.
Kesadaran semacam itu perlu dirombak, dan komunitas Perspektif mengupayakan perombakan melalui kegiatan seni rupa. “Aksesibilitas yang sesuai kebutuhan, kesempatan tanpa syarat, akan mendukung kemandirian dan kepercayaan diri. Kemandirian dan kepercayaan diri akan menepis keberbedaan sehingga kemudian melahirkan rasa nyaman,” papar Sri Hartaning Sih, ketua Perspektif Yogyakarta.
Sri juga mengemukakan, dukungan orangtua dan keluarga sangat berpengaruh pada perkembangan difabel. Bagaimanapun, dukungan tersebut akan menjadi motivasi bagi difabel untuk berkegiatan apa saja dan menjadi apa saja.
Saya jadi ingat kata-kata mendiang Stella Young, seorang komedian, jurnalis dan aktivis hak-hak difabel asal Australia yang sepanjang hidupnya mengenakan kursi roda, “Disabilitas saya ini terjadi bukan karena saya menggunakan kursi roda, tapi karena lingkungan yang lebih luas tidak memberi akses (pada saya).” Semoga saja ini bisa memperbaiki cara pandang kita, masyarakat pada umumnya, terhadap penyandang difabel.