Mohon tunggu...
Farid Nugroho
Farid Nugroho Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger

www.faridnugroho.my.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pencabutan Subsidi Listrik untuk Siapa?

3 Mei 2017   17:35 Diperbarui: 5 Mei 2017   12:58 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di awal bulan ini, isu mengenai naiknya biaya listrik untuk masyarakat 900 VA cukup memanas. Ditambah dengan kenaikan harga ini tidak disertai dengan pengumuman resmi dari pemerintah. Berbeda halnya ketika kenaikan dan penurunan harga BBM, menteri atau bahkan presiden rela "menyempatkan diri" mengumumkan sendiri mengenai hal tersebut. Tetapi untuk listrik, masyarakat dibuat perang saudara karena ada yang pro dan banyak pula yang kontra.

Setelah masyarakat sudah telanjur "saling bunuh" dengan argumen masing-masing, barulah pemerintah mengatakan bahwa tidak ada kenikan harga listrik, melainkan pencabutan subsidi untuk warga mampu dan bagi warga tidak mampu masih diberikan subsidi. Dan hasil dari pencabutan subsidi ini nantinya akan diberikan kepada masyarakat golongan tidak mampu dalam berbagai macam bantuan dan subsidi yang lain.

Pertanyaan yang selalu dan selalu memanas di masyarakat, parameter masyarakat disebut tidak mampu itu yang seperti apa?

Apakah masyarakat tidak mampu itu yang rumahnya belum berubin, atap belum berupa genteng, dinding belum berupa tembok seman, tidak memiliki motor, atau seperti apa? Jika kendaraan bermotor menjadi patokan, bagaimana dengan tukang ojek, mobil reotnya penambang pasir, motornya tukang sayur? Mereka memiliki kendaraan bermotor tapi sepenuhnya untuk menyambung hidup, bukannya untuk gaya hidup.

Kemudian, apakah parameter mampu tidak mampu (atau kaya-miskin) antara satu daerah dengan daerah lain sama? Apakah masyarakat di jawa ketika dikatakan mampu akan berlaku juga di Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, Papua, dll? Jika sama, berarti Indonesia ini bukan lagi dari Sabang sampai Merauke dan bukan lagi Bhinneka Tunggal Ika. Karena kita telah menghilangkan perbedaan yang sudah fitrahnya terjadi.

Apakah pemerintah dalam menyatakan suatu keluarga itu termasuk dalam keluarga miskin atau rentan miskin atau mampu itu telah melibatkan pemerintah yang paling bawah (baca: dukuh dan ketua RT)? Silakan bagi yang memiliki waktu tanyakan kepada ketua RT setempat siapa saja yang masuk dalam keluarga miskin dan rentan miskin versi beliau kemudian dibandingkan dengan versi pemerintah. Apakah sama?

Jika hasil subsidi yang dicabut diberikan kepada masyarakat miskin, sedangkan mereka yang miskin dan tidak miskin hidup dalam lingkungan yang sama, dengan harga-harga bahan pokok yang sama, apakah terasa perbedaannya? Yang ada, sama-sama merasakan susah. Yang tidak miskin merasa keberatan dengan tidak adanya subsidi. Yang miskin juga hanya digunakan namanya menjadi tameng hidup agar subsidi dicabut tetapi tetap saja merasakan susah karena harga-harga sama dengan yang dikonsumsi oleh orang yang tidak miskin.

Transparansi memang menjadi barang mahal. Tidak terkecuali dalam urusan harga listrik. Mungkin satu hal yang tidak bisa disembunyikan adalah listrik itu bisa menyetrum, ketika disentuh matilah orang yang menyentuhnya. Semoga dengan kenaikan harga listrik ini tidak ada yang bunuh diri dengan memegang strum.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun