Mohon tunggu...
Farid Wadjdi
Farid Wadjdi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bekerja di perusahaan kontraktor nasional, memiliki minat khusus di bidang arsitektur dan konstruksi, tapi juga ingin beceloteh dan curhat tentang apa saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik

PKS = Wahabi? Tanggapan untuk Dewa Gilang

15 April 2013   23:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:08 4594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Siapa yang tidak kenal dengan Dewa Gilang. Dia adalah kompasianer muda yang sangat fenomenal dan produktif. Sekarang dia mengubah nama penanya menjadi Black Devil, tapi maaf, saya lebih suka tetap memanggilnya dengan Dewa Gilang. Nama adalah sebuah doa, dan saya ingin mendoakan dengan sebuah doa yang baik.

Hari ini saya membaca tulisan Dewa Gilang, yang saya nilai cukup provokatif. Dengan tulisannya yang berjudul "Gerbong Wahabi di PKS", seolah Gilang telah menuduh bahwa PKS mengusung gerbong  Wahabi dalam pergerakannya. Setelah saya cermati, sebenarnya tidak ada vonis itu dalam tulisan Gilang. Tapi dalam ruang komentarnya, telah terlanjur terjadi perdebatan dan saling tuding.  Gilang sendiri mengakhiri tulisannya dengan sebuah kalimat, "Kesimpulan, percayakah anda bahwa PKS memuat serangkaian gerbong Wahabi? Jika benar hal tersebut, maka jelas kerugian politik akan menimpa PKS."

Di awal tulisan tersebut, Gilang sendiri juga telah menggambarkan sekilas tentang Wahabi, yaitu gerakan yang dibawa oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, yang bertujuan memurnikan akidah Islam. Para pengikutnya sendiri menyebut diri sebagai gerakan "salafi" (mengikuti orang terdahulu) atau "al-muwwahidun" (menegakkan tauhid). Tapi di kemudian hari, banyak kalangan yang menyebut sebagai "wahabi", yang bisa diartikan sebagai gerakan yang mengikuti pemikiran penggagasnya.

Pemikiran "wahabi" sebenarnya merupakan awal pembaharuan pemikiran keislaman, yang kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh atau pun Rasyid Ridha, dalam konteks modernisme. Beberapa pergerakan pembaharuan Islam di awal abad-20 pun mendapatkan pengaruh dari pemikiran wahabi. Termasuk dalam pergerakan tersebut adalah Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis) dan Al-Irsyad.

Saya akan memberikan gambaran tentang Muhammadiyah. Jika anda sempat menonton film "Sang Pencerah", maka spirit "wahabi" seperti itulah yang dibawa oleh Muhammadiyah. Namun KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), mampu mengimplementasikan semangat tauhid "wahabi" dalam konteks kekinian. Sistem pendidikan model Belanda yang dianggap produk "kafir" diadopsi" dalam program amal Muhammadiyah. KH Dahlan mampu mengimplementasikan semangat tauhid "wahabi", untuk menjawab pertanyaan tentang permasalahan ummat. Memang di kemudian hari, sering timbul gesekan-gesekan di antara ulama Muhammadiyah dan NU dalam masalah fikih. Bahkan sempat pula terjadi gesekan dalam pergerakan politik, baik di jaman orde lama (Partai NU vs Masyumi) maupun jaman reformasi (PKB vs PAN). Namun itu adalah sejarah kelam, yang kini disadari untuk ditinggalkan, dan mulai berpikir bersama untuk membangun ummat dan bangsa.

Hingga tahun 90-an, pemikiran wahabi, yang "mengejawantah" dalam pemikiran Muhammadiyah, Persis dan Al-Irsyad, bukanlah sesuatu yang menjadi "momok yang menakutkan". Timbulnya stigma "wahabi" sebagai "momok yang menakutkan" tampaknya mulai mencuat setelah tragedi WTC 9/11 di tingkat global, dan menguatnya PKS (yang sebelumnya bernama PK) dalam percaturan politik di Indonesia.

Saya akan fokus membahas tentang stigma "wahabi" dalam konteks percaturan politik di Indonesia. Ketika PK berdiri dan mengikuti pemilu tahun 1999, dengan perolehan yang hanya kurang dari 2%, tidak banyak yang mempersoalkan keberadaan PK. Namun ketika di pemilu 2004 PKS mampu meraih suara 7,34%, banyak pihak yang mulai terkejut. Terlebih ketika dalam pilkada DKI, calon Adang-Dani yang diusung PKS sendirian mampu meraih suara 41,41%, sementara Fauzi Bowo-Priyanto yang diusung koalisi 15 parpol "hanya" meraih 58, 59% suara. Saat itu PKS semakin disegani, sekaligus ditakuti. Sejak saat itu, mulai muncul serangan-serangan terhadap PKS.

Namun yang membuat miris, saat itu serangan yang muncul bukan pada visi politiknya, melainkan tentang "paham keagamaannya". Saya masih ingat, tahun 2008 di facebook muncul grup "Say No to PKS".  Tapi yang lucu, grup ini menuduh dengan serampangan terhadap ideologi politik yang dibawa oleh PKS, bahkan sering pula justru lebih menyuarakan sikap anti Islam. Mereka mencurigai PKS membawa ideologi "wahabi" yang ekstrem, bahkan menuduh bahwa PKS akan membawa Indonesia seperti Afghanistan di bawah pemerintahan Taliban.

Mereka lupa, bahwa saat itu banyak pujian yang mengalir untuk PKS, yang ketika itu dipimpin oleh Hidayat Nur Wahid. Pujian-pujian itu tidak hanya datang dari tokoh Islam, melainkan juga dari tokoh sekuler, bahkan juga dari tokoh NU (yang sering dipersepsikan sebagai "musuh" PKS). Saya merasa perlu untuk menuliskan beberapa pernyataan atau pujian itu, sebagai berikut:


Alm. Munir, mantan Presidium Kontras: “Yang teriak beda untuk kasus korupsi paling Cuma PKS. Sedangkan partai yang lain tidak bisa anti korupsi karena korupsi semua.”
Yenny Wahid, Sekjen PKB versi Gus Dur: “Saya iri dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS)” Menurutnya, PKS adalah partai yang kompak dan jarang berkonflik."
Yutaka Ilmura, Dubes Jepang untuk RI: “Jepang tertarik dengan PKS. Karena kader PKS adalah orang yang serius memikirkan negerinya, tidak seperti partai lain.”
Cetro Indonesia:“PK Sejahtera adalah satu-satunya partai yang siap diselidiki moral calon anggota legislatifnya.”
Graito Usodo, Mantan kapusden TNI: “Anda tanya tentang peran PK Sejahtera sampai bergidik bulu kuduk. PK Sejahtera merupakan partai yang memberikan suasana sejuk terutama setelah ada sorotan dengan kaca mata hitam terhadap Islam.”

Itu adalah beberapa komentar yang seakan membenarkan slogan PKS kala itu  sebagai partai yang bersih dan profesional. Sebagai partai yang berbasis agama, justru PKS lah yang mempelopori pengelolaan partai secara modern. Partai ini bertumpu pada sistem kaderisasi dan bukan bertumpu pada budaya paternalistik. Dalam hal ini, PKS lebih cenderung  mirip dengan Partai Golkar. Ironisnya partai-partai nasionalis seperti PDIP, PAN, PKB dan Partai Demokrat justru masih belum bisa meninggalkan budaya paternalistik, dengan mengandalkan figur tokoh yang dihormati. Contohnya adalah PDIP yang masih sulit mencari alternatif pemimpin selain Megawati. Berita terkini, bahkan SBY sampai harus turun gunung menjadi Ketua Umum Partai Demokrat untuk menyelesaikann kemelut di tubuh partai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun