Mohon tunggu...
Fariastuti Djafar
Fariastuti Djafar Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar

Pembelajar sepanjang hayat, Email:tutidjafar@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pendidikan Gratis yang Mahal: Potret Pendidikan di Kota Singkawang

4 Juli 2015   01:41 Diperbarui: 4 Juli 2015   01:41 5504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anda pernah mendengar kota Singkawang, Kalimantan Barat ? Kota ini juga dikenal sebagai Kota Amoy karena banyak penduduk Tionghoa dan sebagai tempat perayaan besar Cap Goh Meh. Dengan jumlah penduduk yang tidak begitu banyak (pada tahun 2012 tidak sampai 200 ribu jiwa), ternyata para pejabat di daerah ini tidak mampu mengatasi maraknya pungutan yang dilakukan pihak sekolah. Pemerintah yang selalu menghimbau dan sekali-kali melakukan “gertak sambal” tanpa disertai sanksi yang tegas atau dibawa ke jalur hukum telah menyebabkan sekolah dengan amannya meneruskan kebiasaan yang telah berlangsung cukup lama.

Walau Pemerintah selalu membanggakan kebijakan sekolah gratis di kota ini, jangan cepat terpesona bahwa semuanya serba gratis. Memang tidak ada uang Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) bulanan di sekolah negeri. Tetapi sekolah yang sudah berpengalaman, sangat cerdas dan kreatif dalam menggalang berbagai pungutan di luar uang sekolah, dengan tenangnya terus memungut uang antara lain dengan menggunakan saat pendaftaran siswa baru dan pendaftaran ulang siswa lama sebagai momentumnya.

Dari foto yang diupload pada facebook Ridha Wahyudi, yang mengajak anggota facebooknya untuk melaporkan berbagai pungutan untuk dilanjutkan kepada Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi, saya mendapatkan daftar biaya pendaftaran salah satu Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) di kota Singkawang.

Apa yang ditemukan di Kota Singkawang bukan hal yang unik dan bahkan sudah menjadi masalah umum pendidikan di Indonesia. Saat ini adalah masa pendaftaran siswa baru dan pendaftaran ulang siswa lama dan pungutan-pungutan yang cukup besar membuat sebagian orangtua mengeluh dan putus asa dan seperti hilang harapan terhadap pemerintah. Siapapun presiden dan menterinya, apapun jargonnya termasuk “revolusi mental”, tampaknya pungutan tetap jalan terus.

[caption caption="Rincian biaya pendaftaran siswa baru pada salah satu SMPN Singkawang. Sumber: Ridha Wahyudi facebook"][/caption]

Dari daftar biaya pendaftaran, perlu digarisbawahi beberapa hal sebagai berikut:

Sumbangan perawatan lingkungan dan fasilitas pendidikan

Pungutan jenis ini dengan berbagai nama merupakan pungutan favorit untuk dilakukan sekolah. Pungutan tersebut mudah dicarikan alasannya karena dicari bangunan fisik yang belum ada atau yang perlu diperbaiki. Selain itu mudah dilakukan double funding yaitu dibangun dengan menggunakan anggaran pemerintah namun dijadikan bukti oleh pihak sekolah kepada orangtua sebagai wujud dari sumbangan yang diberikan orangtua. Permainan yang lebih kasar bahkan sering terjadi yaitu fisiknya tidak ada tetapi tiap tahun menjadi iuran wajib yang harus dibayar siswa baru seperti uang pagar. Secara tidak langsung sekolah sudah memberikan contoh korupsi kepada anak-anak.

Seringkali Pemerintah menyetujui adanya pungutan jika sudah disetujui oleh Komite Sekolah tanpa atau pura-pura tidak mencium adanya aroma perselingkuhan antara beberapa orangtua yang biasanya “orang penting” di daerah yang sangat mendominasi pengambilan keputusan dalam Komite Sekolah dengan pihak sekolah. Orangtua ini berkepentingan agar anaknya diperhatikan pihak sekolah dengan cara menyetujui usulan pihak sekolah tanpa peduli bagaimana sikap orangtua yang lain.

Seorang teman yang pernah menjadi anggota komite sekolah di satu SMA favorit di Pontianak pernah mengusulkan untuk membuat laporan pertanggungjawaban penggunaan uang pungutan Komite Sekolah dalam rapat Komite Sekolah. Ketua Komite Sekolah yang kebetulan seorang guru besar menyatakan itu tidak perlu karena percaya kepada pihak sekolah dan sebagian besar anggota Komite Sekolah setuju. Jangan salahkan orangtua miskin yang tidak mau menjadi anggota Komite Sekolah karena mereka terlalu sibuk mencari nafkah disamping merasa “kecil” dengan anggota Komite Sekolah yang biasanya pejabat atau orang-orang penting daerah setempat. Walau tidak semua anggota Komite Sekolah selalu sejalan dengan pihak sekolah, acapkali mereka adalah minoritas.

Mekanisme lain yang digunakan pihak sekolah adalah dengan menggunakan peran Ketua Kelas yang masih tergolong anak-anak atau Anak Baru Gede (ABG). Seorang teman di Pontianak bercerita bagaimana dia harus mengantar anaknya yang ketua kelas di sekolah di SMA favorit untuk membeli alat-alat kebersihan sekolah seperti sapu, ember dan sebagainya yang uangnya dikumpulkan dari teman-teman sekelasnya. Keponakan seorang teman di Singkawang bercerita beban beratnya sebagai Ketua Kelas karena diminta mengumpulkan uang dari teman-temannya hampir setiap bulan untuk membeli dari gordyn sampai sapu (memangnya anggaran pemerintah tidak ada?). Sang anak yang masih kelas 2 SMP favorit ini merasa kasihan dengan teman-temannya yang kurang mampu karena pungutan-pungutan tersebut. Ini bukti betapa cerdasnya pihak sekolah menggunakan anak-anak demi kepentingan individu pihak sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun