Mohon tunggu...
Farah Frastia
Farah Frastia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Pasar Rakyat Nasional dan Agenda Penting Mewujudkan Harmoni di Tengah Keberagaman

24 Januari 2017   08:32 Diperbarui: 24 Januari 2017   08:55 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di kota kecil kami, rekreasi tidak melulu soal menatap potongan senja yang terserak di tepian pantai berpasir putih, menikmati sejuta wahana serba ekstrim atau menaklukkan puncak-puncak gunung tertinggi di dunia. Rekreasi bagi kami memiliki makna sederhana saja. Yakni ketika kita keluar dari rutinitas dan mencari celah kebahagiaan di tempat lain.

Fajar itu, sama seperti fajar-fajar sebelumnya yang masih terbungkus gelap, ribuan orang keluar dari pelosok-pelosok desa menuju kota. Saling berburu dengan waktu untuk segera tiba di tempat berjualan. Mereka adalah pedagang sayuran, pedagang buah, pedagang alat-alat rumah tangga, pedagang hewan dan pedagang penganan. Yang meraba jarak berkilo lewat kayuhan sepeda onthel, becak atau jika beruntung memasrahkannya pada mesin sepeda motor.

Adalah Pasar Tumenggungan, salah satu pasar utama di Kabupaten Kebumen yang menjadi ruang transaksional barang dan jasa. Tempat di mana dinamika kehidupan berjalan beriringan.

Di Pasar Tumenggungan inilah, penulis menemukan celah kebahagiaan yang meskipun sederhana, namun mampu membuat penulis rindu ingin kembali. Maka tak kurang seminggu sekali, penulis menyempatkan diri berkunjung sekadar bertatap muka dengan para pedagang sembari menemani Mama belanja keperluannya.

Di tempat sederhana ini pula, penulis menemukan keluarga besar, saudara sekaligus teman baru. Sebuah komunitas yang memiliki anggota berlimpah namun kental dengan nuansa akrab dan serba terbuka. Nuansa akrab itu, salah satunya, ditunjukkan melalui sapaan hangat dan saling berjabat tangan antar penjual sewaktu berangkat maupun pulang dari pasar. Sementara keterbukaan memungkinkan mereka bertukar informasi tanpa perlu mempertimbangkan batas-batas geografis, perbedaan kelas, atau identitas sosial tertentu. Keterbukaan menjadikan kontak budaya terjalin secara positif dan mewujudkan harmoni di tengah keberagaman. Sesuatu yang lantas membuat mereka saling menerima dan percaya satu sama lain.

Tak heran jika dalam kondisi tertentu, seperti shalat, seorang penjual meninggalkan lapak dagangan mereka dan menitipkannya kepada penjual lain. Ketika ada calon pembeli datang, penjual dari lapak lain akan melayaninya dengan senang hati. Apabila transaksi deal, uang akan diserahkan kepada si pemilik lapak tanpa fee, alias murni membantu.

Berbeda dari pasar modern yang cenderung kapitalistik sehingga mendorong persaingan yang mengarah pada tindakan untuk saling menjatuhkan satu sama lain, persaingan antar pedagang di pasar tradisional justru berlangsung nyaris tanpa ketegangan. Bahkan ketika penulis hendak membeli pakaian ke salah seorang pedagang dan merasa kurang cocok, si pedagang tanpa segan merekomendasikan pedagang pakaian lain kepada penulis. Keadilan dan kesejahteraan menjadi ciri utama sistem perdagangan di pasar ini.

Tidak hanya antar penjual, nuansa akrab juga tampak dari interaksi antara penjual dan pembeli. Dari pasar, penulis menampung belasan kisah menarik dari sudut-sudut kecil kota ini melalui curahan hati para pedagang. Tentang Bu Itun yang suaminya meninggal usai lari pagi, Bu Tini yang kelimpungan mengasuh dua anak yatim, Bu Siti yang sepuluh tahun menikah namun belum dikaruniai putra dan kisah-kisah menarik lainnya.

Ciri lain yang membedakan pasar tradisional dengan pasar modern adalah seni tawar menawar yang terjalin antara penjual dan pembeli. Kerapkali dalam sebuah transaksi jual beli, penetapan harga tidak ditentukan oleh naik-turunnya harga kebutuhan pokok akibat faktor permintaan dan perhitungan ketersediaan barang yang terlalu rumit. Melainkan kesepakatan bersama antara pihak penjual dan pembeli. Istilah ‘tuno sathak bathi sanak’ yang artinya ‘rugi sedikit namun mendapat saudara’ masih begitu lekat dan menjadi pertimbangan utama dalam menetapkan harga suatu produk. Artinya, hubungan persahabatan dianggap sebagai aset yang jauh lebih berharga dibandingkan keuntungan materil yang  bersifat sementara.

Tak jarang, untuk mencapai kesepakatan harga, pedagang memberikan bonus (imbuhan) kepada pembeli sebagai wujud belas kasih (welasan). Bonus ini bisa sejenis atau tidak sejenis dengan barang yang dibeli, tergantung kesepakatan. Selain sebagai wujud belas kasih, memberikan imbuhan juga menjadi salah satu trik pedagang untuk mendapatkan pembeli loyal.

Salah satu pedagang sayur langganan kami, sebut saja “Kakine”, tidak pernah absen memberikan bonus seikat seledri dalam setiap transaksi jual beli. Meski sederhana, namun perhatian kecil itu membuat kami setia untuk berbelanja kepada beliau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun