Mohon tunggu...
Farah Nailal Azzah
Farah Nailal Azzah Mohon Tunggu... Jurnalis - Seorang pelajar/mahasiswa dan belajar di program studi Ekonomi Islam, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro.

baca, bicara, buat kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merantau, Perjalanan Pulang yang Ingin Disegerakan

25 Mei 2019   15:35 Diperbarui: 25 Mei 2019   15:44 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.abc.net.au 

Aku sekarang duduk di bangku semester empat di sebuah universitas di Semarang. Sudah dua tahun tanpa sadar kaki ini menginjakkan kaki di bumi perantauan ini. Aku sendiri kadang tak habis pikir, cepat sekali waktu berlalu. Rasanya baru kemarin aku berpisah dengan rumah dengan segala haru birunya, tiba-tiba beberapa tahun lagi aku sudah harus segera meninggalkan perantauan ini untuk mengarungi kehidupan yang sebenarnya.

Merantau, adalah waktu ketika aku tak hanya pergi meninggalkan rumah dan berpamitan dengan ayah ibu. Merantau, juga bukan hanya tentang meninggalkan kawan sepermainanku lalu menemukan kawan baru. Merantau, juga bukan hanya tentang menahan sakit lalu memulihkannya sendiri ketika tangan ibu tak lagi sedia setiap saat mampu menyentuhku. Merantau, tak lagi sekadar melakukan segala halnya dengan tangan dan kakiku sendiri. Tapi lebih dari itu.

Merantau ternyata mengajarkanku menahan ego, ego yang harus ku kalahkan sendiri.  Ketika pilihan hanya ada satu, bertahan atau pulang. Ada banyak mimpi yang harus diwujudkan dan diselesaikan di sini. Merantau nyatanya mengajarkanku melepas pergi dan berpisah jarak, ratusan bahkan ribuan kilo dari orang tersayang bukanlah hal yang mudah.

Sentuhan tangan ibu yang selalu membangunkanku tiap pagi, canda dan tawa ayah diruang tamu sore hari, belum lagi tangisan adik kecilku yang saat itu membuatku ingin segera meninggalkan rumah. Tapi, kini aku merindukannya, bahkan ingin segera pulang hanya untuk sekadar mendengarnya lagi.

Aku rindukan, suara tinggi ibu ketika aku malas beranjak dari tempat tidurku. Aku rindukan, teguran ayah ketika aku lupa waktu saat bermain dengan kawan-kawanku. Aku merindukan semua hal yang dulu membuatku ingin segera pergi meninggalkan rumah.

Merantau adalah saat dimana aku belajar menaruh empati dan rasa "welas asih" dengan sesama makhluk. Merantau mengajarkanku membangun hubungan baik dengan segala makhluk, karena merekalah yang membuatku bertahan dan mampu menguatkan aku ketika orang tua tak perlu tahu. Merantau nyatanya mampu melatih kepekaanku sebagai makhluk, sampai dimana rasaku sebagai manusia. Kesetiaan diuji, kejujuran diuji, dan segala rasa karsa yang menjadi satu.

Merantau membuatku banyak belajar setiap detiknya untuk menjadi pemungut hikmah. Lagi, lagi aku mudah tertampar pada hal-hal yang orang lain mampu mensyukurinya meski keadaanya lebih memperhatinkan daripada aku. Lagi, lagi aku banyak belajar untuk mendengar, mendengar, dan mendengar apa pun yang orang lain rasakan pada kehidupannya.

            Merantau adalah sebuah fase sekaligus titik balik dalam hidupku. Tanpanya, aku tak akan pernah tahu betapa besar kasih sayang orang tua dan orang-orang yang selama ini menyayangiku. Terima kasih yah, bu telah menyadarkanku bahwa aku berarti untuk hidup kalian, meski aku belum pantas untuk itu. Merantau, membuatku belajar sebesar apa pun menaruh harap pada makhluk, baliknya jua kau akan berdiri dikakimu sendiri dan atas izin dari Sang Kuasa. Berani memulai berani mengakhiri. Semua yang aku alami disini, tak serta merta ayah dan ibu perlu ketahui. Aku sudah besar, biarkan aku belajar terbentur-bentur disetiap perjalanku yah, bu. Tak apa, biarkan aku belajar menanggung risiko disetiap pilihanku. Biarkan aku belajar, tidak menaruh ego dan idealisme berlebih pada setiap keputusanku. Yang aku pinta hanya satu, doakan selalu agar anakmu ini tetap berada dijalan yang lurus.

            Kadang aku takut yah, bu dunia diluar sini begitu keras dan kejam. Mempertontonkan aku pada hal yang hitam kelam atau bahkan putih bersih. Ditunjukkannya pula yah, bu, rupa-rupa sifat makhluk yang pendendam, suka iri hati, atau yang terlalu baik sehingga mudah dimanfaatkan orang lain, atau bahkan yang terlalu sibuk hingga tak peduli dengan hidup. Aku sadar kini pilihan menjadi hitam atau putih tinggal ada ditanganku. Ketika aku dilihatkan pada si hitam, aku hanya menjadi pemungut hikmah, belajar tak serta merta menghakiminya, belajar memahami bahwa si hitam memang tidak baik untuk arah hidupku selanjutnya. Ketika aku dilihatkan pada si putih, aku juga masih menjadi pemungut hikmah. Merasa banyak yang perlu ku gali dari mereka yang banyak memberi. Bagaimana menjadi sosok yang ikhlas mengasihi.

            Merantau membuatku belajar "menahan diri" atau yang biasa orang tuaku katakan "prihatin". Istilah jawa ini nampaknya berperan besar dalam hidupku dari dulu hingga kini. Sikap ini mengajarkanku untuk tidak terus mengejar hal-hal duniawi. Memaksakan segalanya ada, padahal tak pernah benar-benar ada. Sikap ini mengajarkanku adanya seleksi alam untuk yang terpilih, dan atau aku sendiri yang terseleksi alam sehingga tak terpilih. Lingkungan kadang tak menentu yah, bu. Ada yang tanpa sadar membawaku berlaku pada hal-hal diluar batas nalarku. Disinilah aku mengerti, teman tak selamanya baik. Tapi Tuhanlah tempat sebaik-baik kembali

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun