Mohon tunggu...
Fandi Umar
Fandi Umar Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Gondrong Usang

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kepada Jiwa yang Merdeka, Apakah Si Miskin Tak Berhak Mengenyam Pendidikan Tinggi?

28 Juli 2019   21:55 Diperbarui: 29 Juli 2019   03:52 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari demi hari, kulewati dengan sungguh amat membuat raga ingin berontak. Dua minggu berselang,teman-teman dari organisasi mahasiswa, bolak balik mengurusi berbagai macam persoalan kampus.

Uang kuliah tunggal (ukt), lagi-lagi menjadi persoalan yang begitu rumit untuk diselesaikan. Calon mahasiswa baru dengan wajah yang layu, seperti hampir kehabisan harapan. Ada yang duduk dengan kemeja kusam, ada pula yang bersandar tanpa cakap. Mereka yang berdomisili diluar manado pun, berhamburan di halaman gedung rektorat.

Banyak keluhan yang mereka lontarkan. Salah satunya, pegajuan banding UKT. Sebab: orang tua mereka hanya seorang petani penggarap sawah. Adapula, yang hanya penarik becak motor. Penghasilan mereka, untuk makan pun tak cukup.

Berbagai cara sudah dilakukan. Baik menampung aspirasi dari para calon mahasiswa, memberi tahu tahapan demi tahapan untuk mengajukan banding UKT, sampai proses pendampingan untuk mengkonfirmasi segala kejanggalan sistem di birokrasi kampus.

Tapi, sampai pada sore tadi, masih banyak para calon mahasiswa yang masih saja mengeluhkan hal yang sama. Sampai, pada saat tulisan ini aku buat, otakku masih saja dipaksa untuk memikirkan. Apa sebenarnya kejanggalannya. Tetiba, terbesit dalam pikirku, apakah kejanggalan ini ada pada pihak birokrasi? Yang dengan segala dalih mereka berusaha menutupi segala yang terjadi.

Mengapa aku kemudian melontarkan pertanyaan seperti itu? Ya, Karena ada yang aneh. Entah karena aku yang kebingungan ataukah kejanggalan itu mulai nampak di permukaan. Mengapa mereka yang ikut tes melalui jalur mandiri, UKT yang di bebankan kepada mereka tidak sesuai dengan kondisi ekonomi mereka.

Apakah pihak birokrasi sudah menutup kelompok II pada penentuan UKT? Karena rata-rata, keluhan-keluhan yang aku temui adalah mereka yang kurang mampu mendapatkan kelompok III sebesar, (dua juta, sekian). Sedangkan penghasilan orang tuanya yang tak sampai satu juta/bulan, belum dengan berbagai macam tanggungan hidup mereka. Tentu, tak akan mampu membayarnya.

Jika jawabanya adalah kesalahan sistem akademik, menurutku, lebih baik ganti saja sistem yang ada, jika, memang jawabannya seperti itu. Karena sudah terlalu banyak kesalahan yang terjadi atas itu.

Aku, tak peduli apa jawabanya nanti. Bagiku, si miskin tetap berhak mendapat pendidikan tinggi, bagaimana, jika kampus tak dapat memberikan mereka ruang untuk dapat belajar memahami kehidupan yang sesungguhnya. Bagaimana nanti nasib mereka yang mau merubah "kemiskinan" yang telah kau anggap sebagai takdir mutlak.

Seandainya aku penguasa: maka akan aku berikan ruang untuk mereka yang berada di bawah jembatan, mereka yang punya semangat tinggi, mereka yang berusaha agar tetap bisa mengenyam pendidikan tinggi. Bukan kepada mereka yang berselimut rupiah dan berbaring pada kebohongan juga terlelap hingga hilang rasa malu.

Manado, 23 Juli 2019.


Editor : Nova salim.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun