Mohon tunggu...
Sinar Fajar
Sinar Fajar Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Seorang penulis sialan yang mencari keberuntungan Visit now; http://fajhariadjie.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Mata Kolam, Kolam Raksasa Bermata Sebelah (1)

12 Juni 2017   14:29 Diperbarui: 12 Juni 2017   14:35 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            Waktu istirahat kerjaku tidak seperti para pekerja kantoran. Seharusnya aku terkena maag karena waktu istirahatku terlambat beberapa jam dari waktu makan siang. Tapi tidak. Untuk urusan makan sebisa mungkin aku tak pernah telat makan, sekalipun yang aku santap hanya semangkuk mie rebus instan, juga aku mesti menghindari kopi yang selalu membuat lambung perih karena perut kosong. Seperti istirahat kali ini, perutku telah cukup terisi sehingga organ-organ pencernaanku tak perlu rewel memperdengarkan suara keroncongannya.

            Sebagai tukang cuci piring di restoran aku selalu punya cara lihai mengganjal lapar. Selalu ada makanan sisa yang masih cukup layak konsumsi diantara tumpukan piring-piring kotor yang ditaruh di dalam bak. Sedikit menepiskan rasa sombong dan jijik, kemudian berpikir daripada mubazir seolah-olah berupaya membenarkan pikiran sendiri, aku dan kawan-kawan pencuci piring lainnya tak segan melahap makanan yang lebih pantas dimakan kucing liar. Cara seperti ini sedikit banyak membantuku menghemat biaya pengeluaran.

            Kadang para tamu restoran menyisakan cukup banyak makanan dan aku merasa terlalu sayang untuk membuangnya. Itupun apabila kondisi makanannya masih utuh, tetapi kalau kondisinya sudah berantakan dan tercampur-campur tak ubahnya muntahan kucing aku terpaksa membuangnya. Sebagai anak yang lahir dan besar dalam lingkungan keluarga sederhana, aku telah dididik untuk lebih menghargai makanan karena hal jarang kami mendapatkan makanan bernutrisi lengkap. Aku jengkel kepada para orang kaya di sini yang tak jarang menyia-nyiakan makanan. Dengan kelimpahan materi mungkin mereka merasa gampang mendapatkan makanan enak atau mungkin makanan restoran ini kurang membangkitkan selera makan mereka. Maka dari itu, selain karena lapar, aku memakan makanan sisa karena aku telah diajarkan menghargai makanan.

            "Hati-hati," ujar Iwin, rekan kerja sekaligus temanku di sini, memperingatkan ketika melihatku sembarangan mencomot sisa makanan dan langsung melahapnya. "Penyakit orang kaya itu aneh-aneh. Bisa-bisa kita tertular."

            Sambil berusaha menelan sisa makanan itu, aku tertawa, bersikap tak peduli kalaupun makanan ini tak hieginis lagi. Iwin sendiri sebenarnya suka ikut-ikutan juga. Ia meminta sisa makanan itu, kemudian menaruhnya di atas piring lain. Begitu kondisi restoran sepi dan kondusif, ia sembunyi-sembunyi melahap makanan itu di pojok ruangan.

            Peringatan Iwin soal penyakit orang kaya itu mungkin terdengar agak berlebihan, tapi diam-diam aku mengakuinya cukup masuk akal. Kami beranggapan bahwa segala jenis penyakit berbahaya dan kronis adalah wabah yang hanya menjangkiti orang-orang gedongan saja, seperti kanker atau jantung koroner. Sementara penyakit orang miskin paling-paling bisul atau panu, yang bisa sembuh dengan beberapa kali mengoleskan salep ke sumber penyakit tersebut. Pemikiran semacam itu benar-benar mendekati semboyan orang miskin dilarang sakit, karena apabila seorang miskin ditempa penyakit parah nan berbahaya, penderitaannya itu seolah akan mengingkari sebuah keyakinan bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya, karena obat segala penyakit adalah uang. Tapi seiring menjamurnya usaha restoran dan rumah makan di ibukota, kami tahu orang kaya dan orang miskin bisa saling berbagi wabah. Sementara uang yang dikeluarkan para orang kaya untuk membayar makanannya hanya sedikit menulari kantong kami.

            "AIDS tidak akan menular melalui makanan," ujarku mengomentari peringatan Iwin tadi. "Meskipun makanan yang kita makan adalah bekas makanan penderitanya."

            "Dari mana kamu tahu?"

            "Acara musik di televisi."

            "Buka mulutmu!" minta Iwin dengan sedikit nada memerintah.

            "Apa?" aku bingung tak mengerti apa maksudnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun