Mohon tunggu...
Sinar Fajar
Sinar Fajar Mohon Tunggu... -

Seorang penulis sialan yang mencari keberuntungan Visit now; http://fajhariadjie.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Klaustrophobia

19 Januari 2017   10:10 Diperbarui: 19 Januari 2017   10:28 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam mengendap tenang dibawah hembus angin, membuka celah ruang suaka bagi benih-benih keganjilan bertumbuh. Segala makhluk hidup yang menanti kehangatan sinar matahari memilih mengurung diri mencari aman atas segala ancaman keganjilan itu. Sementara aku yang juga menunggu terang surya datang masih membelalakan mata ke segala arah. Lampu di kamar tak bisa aku matikan. Jagaku bagaikan usaha menelusuri jejak malam kemana ia melangkah saat siang tiba. Aku tahu benih-benih keganjilan itu dapat bertumbuh subur dalam gelap, maka kubiarkan kamarku ini tetap terang benderang.

Istriku telah lelap disampingku. Nafasnya mulai teratur. Terpantau dari gerak dadanya yang naik turun bagaikan pompa.

Padahal, sebelum terlihat polos begini, ia sempat menyuruhku mematikan lampu. Wajahnya merengut keras memerintahku saat itu. Ia jengkel kelihatannya. Sadar aku takkan menanggapi perintahnya itu, ia pun langsung lompat keatas ranjang dan menyelimuti seluruh tubuh kecilnya itu. Dibalik selimut itu, aku tahu, ia pasti menggeram dan menggerutu sebal padaku. Walaupun demikian, dialah wanita yang paling tahan dan paham akan semua ketakutanku.

Memalukan sekali diusiaku yang telah menginjak separuh abad lebih, aku masih memelihara ketakutan semacam itu. Ketakutan itu berawal dari musabab sederhana. Barangkali karena aku terlalu meresapi dan mengilhami ketakutan itu selama bertahun-tahun, akhirnya hal itu menjadi perkara akut, menusuk kedalaman jiwa, menjelma phobia yang mengancam kenormalan hidupku.

Seharusnya aku dapat mengendalikan diri ini dan memberikan contoh teladan. Acapkali ku berhadapan atau menghadapi ketakutanku itu, aku selalu kesulitan menghangatkan kembali remang bulu kudukku, selain air seniku yang selalu mengalir menghangatkan kedua paha dan betisku.

Apakah yang pantas aku takutkan di usia senjaku kini selain kematian?

Adalah rahasia umum setiap manusia merasa tertekan dengan adanya takdir kematian.

Kematian itu persis mata-mata yang waspada mengawasi setiap gerak langkah. Setiap indera yang terdapat dalam diri manusia ia amati. Tak pernah luput ia catat semua perbuatan dan perlakuan sebagai bukti pelaksanaan tugasnya. Sekecil apapun kadar yang telah terlaksana, entah itu dosa atau pahala, ia tuliskan. Catatan-catatan itu dijadikan panutan untuk memproses kehidupan para jiwa kedepannya nanti.

Telah aku ketahui pula sebanyak-banyaknya kematian bukanlah tentang terlepasnya roh dari dalam raga, dibungkus kafan, dan dikuburkan dalam tanah bumi. Kematian serupa mempersiapkan diri pada kondisi yang lebih rumit. Manusia, sebagai makhluk kasar, harus sanggup menempatkan dirinya di lingkungan baru para makhluk halus. Karena itu tak heran tak ada manusia seorangpun yang siap melihat rupa asli Izrail.

Di dunia makhluk halus, status dan posisi manusia disamakan dengan nasib satwa-satwa di muka bumi. Mereka harus sanggup menjawab segala pendiktean yang diberikan. Pada saat itulah aku tak bisa melepaskan bersitan rupa Izrail diingatan.

Betapa angker wujudnya itu. Kulitnya legam pekat bagai malam keramat. Begitupun warna keseluruhan matanya serupa hitam arang. Wajahnya tertarik keras kesamping menunjukkan akar-akar uratnya yang merah. Lubang hidungnya besar hingga sanggup menghisap benda sebesar apapun. Deretan giginya kuning membusuk. Setiapkali mengeluar kan suara tercium bau belerang neraka. Ditangannya yang berotot bebal tergenggam satu senjata bermata kilat yang digunakannya untuk mencungkil nyawa-nyawa dan detak kehidupan yang terselip didada manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun