Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ternyata Bukan Hanya Agama Membuat Orang Jadi Fanatik

10 Juni 2012   15:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:08 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_92572" align="aligncenter" width="320" caption="Si Kulit Bundar (dok.pribadi)"][/caption]

Akhir Juni 1998 terjadi sebuah peristiwa sepele namun sangat membekas dalam ingatanku hingga kini. Saat itu, mata seluruh umat manusia di berbagai belahan dunia menikmati dari layar kaca sebuah event bergengsi di pentas dunia. Apalagi kalau bukan bola. Yah, pada saat itu, di mana-mana orang memperbincangkan "si kulit bundar" yang digocek oleh kaki-kaki lincah di Perancis. Perancis didaulat oleh FIFA menjadi tuan rumah Piala Dunia ke-16 sekaligus menjadi "Sang Juara" di kandangnya sendiri.

Akan tetapi, di tengah gegap gempita seleberasi sepak bola terjadi sebuah insiden kecil di sebuah Kota Kecil, tempat berdirinya sebuah lembaga berasrama yang mendidik para calon pastor setingkat SLTP-SLTA. Di Seminari Santo Yohanes Berkhmans Mataloko terjadi kasak-kusuk di antara ratusan siswa seminari menengah yang memecah kesunyian pagi nan dingin di kota yang selalu berkabut itu. Kasak-kusuk sebelum missa pagi yang seharusnya silentium magnum (hening) disebabkan oleh karena hari itu adalah hari yang paling dinantikan oleh para siswa calon pastor.

Hari itu, para siswa akan pulang libur bersama orang tuanya setelah setengah tahun berdiam di asrama tanpa liburan bersama keluarga. Hari itu juga merupakan hari perpisahan dengan teman-teman yang harus berlibur selamanya dari seminari karena "dicedok" atau dikeluarkan dari asrama oleh karena nakal atau kurang nilai akademiknya selama 2 semester yang telah lewat atau bahkan karena kedua-duanya. Seminari memang mempunyai standar penilaian khusus nan super ketat untuk para siswanya. Ada aturan taktertulis yang terpatri di sanubari para seminaris: "Anda Nakal dan Malas Belajar, Anda Siap Gulung Tikar!" Karena itu, kedisiplinan dan hidup moral yang baik dan benar serta ketekunan dalam studi adalah harga mati.

Kasak-kusuk mulai berkembang karena ada desas-desus bahwa akan ada eksodus besar-besaran bagi para siswa seminari yang telah lolos seleksi pada tahun itu. Apa pasalnya? Rupanya pada malam sebelumnya, ketika semua siswa baik SLTP seminari maupun SLTA seminari sedang asyik menikmati alam mimpi di ranjangnya masing-masing, para pastor dan frater yang adalah pembina para seminaris mengadakan razia dari ranjang ke ranjang. Dan ternyata hampir 70-an ranjang siswa seminari yang kosong. Kemanakah mereka?

Malam itu, 70 orang siswa bolos dengan meloncati pagar seminari yang setinggi 5 meter menuju rumah penduduk di sekitar kompleks seminari. Untuk apa? Mereka adalah para peminat bola sejati. Mereka ingin menikmati pertarungan antara team-team kesayangan mereka. Baru pada saat subuh, menjelang jam bangun pagi, mereka mengendap-endap kembali ke ranjangnya masing-masing. Tetapi, nama mereka telah tercatat di catatan para pastor pembina.

Malam itu juga terjadi pertemuan singkat yang dipimpin langsung oleh Bapak Uskup Agung Ende, mendiang Mgr Abdon Longginus Da Cuna, Pr. Beliau kebetulan sedang mampir di seminari dalam perjalanan kunjungan ke sebuah Paroki di Kabupaten Ngada, yang masih merupakan wilayah penggembalaannya. Beliaulah yang memerintahkan kepada para pembina seminari untuk merazia kamar-kamar siswa karena merasa yakin bahwa malam itu pasti ada siswa yang bolos untuk menonton bola. Dan ternyata dugaan beliau tepat karena dia tahu bahwa para siswa seminari adalah penggila bola. Selain jago menggocekkan "si kulit bundar" di lapangan hijau, para siswa seminari terkenal sangat berdevosi baik terhadap klub-klub atau pemain-pemain tertentu. Keputusan malam itu menjadi kabar buruk pagi hari bagi para siswa seminaris.

Kasak-kusuk berubah menjadi tangisan penyesalan bagi ke 70 siswa dan yang lainnya karena pagi itu juga mereka yang kedapatan bolos menonton bola resmi dikeluarkan dari seminari. Mereka diminta untuk berlibur selamanya dari seminari.

Itulah efek bola yang bulat dan netral. Bola membuat orang jadi fanatik entah dengan para pemainnya ataupun klub kesayangannya. Hari-hari di seminari menengah sering juga diwarnai dengan diskusi tentang bola baik di kamar makan, di ruangan rekreasi, di ruangan kelas, atau di taman ketika sedang opera. Masing-masing orang mendewakan pemain kesayangannya atau klub favoritnya dan mengolok-olok pemain favorit dan klub kesayangan orang lain. Bahkan sampai ada yang mogok makan, gara-gara klub kesayangannya kalah dan diolok-olok oleh pendukung klub lawannya. Bola memang menghipnotis bagi yang sangat menikmatinya dan terkadang menggiring orang untuk menjadi fanatik bahkan mungkin saja melebihi fanatisme terhadap agama.

"Bola memang terkadang membuat orang serasional apapun  akan menjadi irasional."

Note: Tulisan ini untuk mengenang rekan-rekanku yang terpaksa "gulung tikar" dari seminari karena Piala Dunia FIFA 1998

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun