Mohon tunggu...
Fajar Upper
Fajar Upper Mohon Tunggu... -

Peminum kopi sachet dan pembeli rokok eceran. Co Founder http://www.esensiana.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Daripada Ngurus KPK, Sebaiknya DPR Kerja Saja

22 Juli 2017   17:25 Diperbarui: 4 Agustus 2017   09:18 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belum lama ini akun instagram DPR RI mengupload sebuah meme yang intinya bilang bahwa KPK bisanya nguping pake alat sadap untuk kemudian melakukan operasi tangkap tangan. Ini adalah pernyataan nyinyir paling memuakkan soal hutang dan KPK.

Fungsi pejabat legislatif dan eksekutif harusnya adalah saling bekerja sama untuk mempercepat pembangunan negara (baik fisik maupun non fisik) yang sudah tertinggal jauh ini. Namun selama Jokowi menjabat presiden, hampir tak pernah kita mendapati DPR secara total membantu pemerintah. Alih-alih membantu kinerja pemerintah, DPR kita justru terkesan menghambat. Hanya bisa menyalahkan dan menjatuhkan, tanpa solusi yang berarti.

Akhir-akhir ini kita semua malah dibuat jijik dengan kengototan DPR membela koruptor. Mereka bahkan tak segan-segan mendatangi napi kasus korupsi untuk menyerap aspirasi. Aspirasi koruptor tentu saja. Untuk DPR tak berfraksi macam Fahri Hamzah tentu kita perlu kaget kalau-kalau dia bertingkah aneh dengan bersekongkol bersama mereka para pesakitan KPK. Tabiatnya memang begitu. Tapi bagaimana jika nyaris seluruh anggota DPR kita melakukan hal yang sama? 

Mereka bahu-membahu membentuk pansus angket KPK untuk melindungi ketuanya yang sudah berstatus tersangka  sekaligus yang namanya belum terendus. Secara hukum, kita memang menganut asas praduga tak bersalah, tapi secara etis apakah pantas lembaga tinggi negara yang mengaku terhormat dipimpin oleh seorang tersangka korupsi?

Sampai di sini saya harap tidak ada yang membandingkannya dengan kasus Ahok. Kasus Ahok yang meskipun tersangka namun masih menjabat Gubernur DKI tidak sebanding jika dijejerkan dengan kasus ketua DPR ini. Jadi tidak usah membanding-bandingkan Novanto dan Ahok. Ahok tersandung kasus politis dengan pasal subyektif. Sementara Novanto terbukti (untuk menetapkan status tersangka minimal KPK punya dua alat bukti) melakukan korupsi dalam proyek e-KTP. Angkanya pun tak main-main, setengah triliun lebih.

Perlu dicatat, KPK hampir tak pernah punya sejarah gagal dalam membuktikan keterlibatan tersangkanya dalam kasus korupsi di pengadilan. Apalagi ini penetapan tersangka yang diberikan pada salah satu pejabat tinggi negara, yang oleh Donald Trump saja disebut orang paling kuat di Indonesia, pasti KPK tak main-main. Sudah dipertimbangkan masak-masak.

Upaya DPR yang tampak mati-matian membela tersangka kasus korupsi ini sebenarnya bukan tanpa resiko politik. Mereka bahkan seolah sedang menaruh nasibnya sendiri diujung tanduk. Karena jika sampai terbukti di pengadilan bahwa yang mereka bela ternyata di pengadilan diputus bersalah atas korupsi, misalnya e-KTP, maka mereka akan semakin mendapat antipati masyarakat. Termasuk partai yang menaungi mereka juga akan terkena imbasnya.

Jadi baik secara etis maupun logis DPR tak punya alasan untuk membela ketuanya yang sudah resmi tersangka oleh KPK. Apalagi sampai membentuk Pansus untuk menghadang laju KPK dengan menggelontorkan dana sampai 3,1 Milyar. Anggaran sebanyak itu akan digunakan untuk operasional Pansus angket KPK yang anggotanya cuma 23 orang. Yang lebih bikin sakit hati, dalam rincian anggaran, untuk biaya makan mencapai 29 juta, sementara kudapannya 13 juta. Mereka makannya apa sih?

Dan yang lebih menjengkelkan adalah ketika kita melihat kinerja mereka sebagai lembaga legislasi. Rasanya pengen nampol pake blangko KTP itu muka mereka satu-satu.

Memang betul, DPR juga berfungsi sebagai lembaga pengawas eksekutif, tapi jati diri mereka ya tetap lembaga legislatif. yang kerjaan pokokknya membuat legislasi. Ukuran gampangnya ya membuat dan atau mengesahkan Undang-undang. Dalam ukuran ini kita bisa melihat capaian mereka dalam Prolegnas yang notabene program prioritas mereka. Sekali lagi, ini prioritas jadi mestinya mereka anggap penting.

Pada tahun 2016, dari data yang dihimpun oleh Indonesia Parliamentary Center mengungkap bahwa dari 51 RUU program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahunan hanya tercapai 10 RUU saja yang disahkan menjadi UU. Artinya DPR kita GAGAL mengerjakan 41 lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun