Mohon tunggu...
'eyyasy Kariem
'eyyasy Kariem Mohon Tunggu... -

mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Marwan II dan Keruntuhan Dinasti Umayyah

1 Juni 2011   15:03 Diperbarui: 4 April 2017   18:15 8229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dinasti Umayyah merupakan dinasti pertama yang memerintah Islam setelah masa Khulafa'ur Rasyidin, mereka disebut dengan bani Umayyah disandarkan pada kakek mereka yang bernama Umayyah.

Yang pertama kali menjadi raja dan memegang tampuk kekuasaan dari bani mereka adalah Mu'awiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah, sedangkan yang terakhir kali adalah Marwan bin Muhammad bin Marwan bin al Hakam bin Umayyah atau biasa disebut dengan Abu Abdul Malik atau Marwan II

Dinasti Umayyah ini sendiri berkuasa dalam tempo yang relative lama, yaitu sekitar 91 tahun, dari tahun 41 H sampai tahun 132 H, dalam tempo ini, dinasti Umayyah berhasil menjadikan wilayah kekuasaan Islam semakin luas

Kekuasaan Bani Umayyah kemudian terus meluas ke segala penjuru dari Spanyol di barat dan India di timur. Salah satu penaklukan yang terkenal adalah penaklukan Semenanjung Iberia oleh Tariq bin Ziyad yang menyeberangi Gibraltar.

I. Nasab Marwan II

Ayahnya adalah Muhammad bin Marwan bin al Hakam bin Umayyah bin Abdus Syams bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Luay bin Ghalib al Qurasyi

Sedangkan ibunya adalah mantan budak yang dibebaskan berkat perkawinannya dengan ayahnya

Di antara anak-anak Marwan II yaitu: Abdullah, Ubaidillah, Abdul Malik, Abdur Rahman, Abdul Ghofar, Utsman, Abu Utsman, Yazid, Aban, dan Muhammad[1]

Marwan dilahirkan di Jazirah (wilayah hijaz), ayahnya adalah orang yang mendapat pekerjaan untuk memegang kendali kekuasaan di wilayah tersebut pada tahun 72 H, Marwan dikenal sebagai ahli kuda, pemberani, pejalan kaki yang kuat, licik dan serampangan[2]

Dia disebut al Himar karena kesabarannya yang melebihi keledai dalam menghadapi musuh-musuhnya yang memberontak. Dia mengambil tindakan yang sangat hati-hati dan sabar atas semua beban perang yang ditanggungnya, sedangkan dalam peribahasa disebutkan "Fulan lebih sabar dari pada keledai di dalam peperangan" karena kesabarannya ia disebut oleh kawan dan lawan politiknya sebagai al Himar. Ia juga disebut dengan al Ja'dy karena yang mengajarinya adab adalah Ja'd bin Dirham

Marwan II adalah sosok yang berkulit putih, berperawakan besar dan gemuk, ia juga adalah orang yang fasih. Marwan II sendiri berumur sekitar 60 tahun, dilahirkan pada tahun 72 H dan wafat pada tahun 132 H

II. Masa kekhilafahan

Marwan II pernah memerangi bumi Romawi pada tahun 105 H dan berhasil menaklukkan kota Qowniyah, ia juga menjadi amir Armenia, dan Azerbaijan menggantikan posisi ayahnya

Marwan II dibaiat menjadi kholifah setelah ia memasuki Damaskus pada akhir tahun 126 hijriyah dan kepemimpinannya berlangsung hingga akhir tahun 132 hijriyah bersamaan dengan keruntuhan daulah bani Umayyah dan berdirinya daulah bani Abbas

A. Pemberontakan- pemberontakan

Ketika ia memasuki Damaskus, Ibrohim bin al Walid pun melarikan diri, begitu pula Sulaiman bin Hisyam yang mengambil harta baitul mal lalu melarikan diri. Wali dari al Walid bin Yazid menuntut balas kepada Abdul Aziz bin Hajaj dan membunuhnya, ia lalu datang kepada Marwan dengan membawa kedua anak al Walid bin Yazid yang terbunuh, yaitu al Hakam dan Utsman, ia juga membawa Yusuf bin Umar, lalu mereka dikuburkan

Setelah Marwan menyelesaikan urusan di Syam, ia segera kembali ke Hurran dan menetap di sana, lalu Ibrahim bin al Walid datang menemuinya dan meminta perlindungan kepadanya, begitu pula Sulaiman bin Hisyam yang datang bersama dengan penduduk Tadmar (Palmyra) yang kemudian membaiatnya

Marwan II menetap di Hurran hanya tiga bulan sampai muncul pergerakan-pergerakan yang melawannya, maka ia mulai berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk menyelesaikan perkara dan memerangi mereka

Ketika penduduk Hims memberontak, maka Marwan II bersama pasukannya mendatangi mereka, akhirnya penduduk Hims mengumumkan ketaatan kepada Marwan II, meskipun sebagian mereka sudah diperangi

Setelah itu gantian penduduk Ghoutoh di Damaskus yang memberontak, mereka dipimpin oleh Yazid bin Kholid bin Abdullah al Qusairy, maka Marwan mengutus pasukan yang akhirnya mengepung mereka, pasukan itu membumi hanguskan daerah Mazah dan beberapa desa, mereka juga membunuh Yazid bin Kholid al Qusairy

Lalu terjadi pemberontakan Tsabit bin Naim dan penduduk Palestina, mereka berjalan menuju Tiberia dan mengepung daerah tersebut, maka Marwan mengirimkan pasukan untuk membebaskan Tiberia, yang kemudian disusul oleh pimpinan pasukan, Abu al Ward ke Palestina

Marwan kembali ke jazirah melewati Tadmar (Palmyra), ketika sampai di Rosofah, Sulaiman meminta izin kepadanya untuk tetap tinggal di situ guna menyembuhkan sakitnya, ia pun diberi izin, setelah itu Marwan mulai menyibukkan dirinya dalam memerangi khowarij

Datanglah detasemen dari pasukan ke Rosofah, yang di utus oleh Marwan dengan beberapa kepentingan ke berbagai arah, di sana detasemen tersebut diajak oleh Sulaiman agar membaiat dirinya dan melepaskan baiat mereka terhadap Marwan, maka detasemen pasukan tersebut pun melakukan hal itu lalu mereka berjalan menuju ke Qonsurain

Mengetahui hal itu, wali Irak, Yazid bin Umar bin Hubairoh dan penduduk Syam mengirim surat kepada Marwan guna memberitahukannya akan pemberontakan tersebut, lalu Marwan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Isa bin Muslim, kedua pasukan bertemu dan berperang di bumi Qonsurain, lalu datanglah Marwan ke medan pertempuran dan membunuh Ibrohim bin Sulaiman bin Hisyam (anak Sulaiman yang paling tua), lalu Sulaiman kabur menuju Hims, dan berlindung di sana, penduduk Hims pun menolongnya, lalu ia mengumpulkan sisa-sisa pasukan, hingga akhirnya Marwan datang dan mengepung mereka, pengepungan itu terjadi selama sepuluh bulan, Sulaiman bin Hisyam dan sebagian pasukannya berhasil melarikan diri menuju Tadmar (Palmyra), penduduk Hims pun pasrah dengan keputusan dari Marwan atas mereka setelah pengepungan yang panjang itu.

Sementara itu terjadi fanatisme golongan di Irak, Qoisiyah yang dipimpin oleh Nadhr bin Said al Harsyi, dan Yamaniyah dengan Abdullah bin Umar bin Abdul Aziz, sempat terjadi konflik antara dua kelompok ini, namun akhirnya mereka menghentikannya karena kesepakatan mereka dalam memerangi khowarij

Pada tahun 129 H, Marwan mengangkat Yazid bin Umar bin Hubairoh menggantikan Ibnu Umar bin Abdul Aziz sebagai wali Irak. Yazid bin Umar bin Hubairoh memerangi pendukung Abdullah bin Mu'awiyah bin Ja'far bin Abi Thalib yang menguasai daerah pegunungan, ia menyerang mereka dan menawan beberapa orang, di antaranya adalah Abdullah bin Ali bin Abdullah bin Abbas yang ada bersama mereka

Kemudian al Harits bin Suraih kembali ke Khurosan, padahal ia telah meminta perlindungan kepada Turki, maka Yazid bin al Walid menulis surat kepadanya dan memberikannya keamanan hingga akhirnya ia mau kembali pada tahun 127 H

Akan tetapi dengan kembalinya al Harits bin Suraih, hampir menimbulkan fitnah karena ia meninggalkan wali Nasir bin Sayyar, akan tetapi fitnah itu tidak terjadi karena tidak lama setelah itu al Harits bin Suraih sudah terbunuh

Fitnah yang terjadi bukan hanya antara Nashir bin Sayyar dengan al Kirmany, akan tetapi meluas kepada kubu al Qoisiyah yang mengokohkan wali Nashir bin Sayyar dengan pengikut Abu Muslim al khurosany yang percaya / sependapat dengan kelompok al Yamaniyah

Tak lama kemudian Nashir bin Sayyar membunuh lawannya, yaitu al Kirmany sehingga pengikutnya bergabung dengan pasukan Abu Muslim al Khurosany, sehingga pendukung dan pengikut dakwah Abbasiyah semakin bertambah banyak[3]

B. Pemberontakan Khowarij

Ketika fitnah terbunuhnya al Walid bin Yazid terjadi, muncullah Sa'id bin Bahdal bersama orang-orang khowarij dalam jumlah yang besar di Irak, lalu datanglah pasukan kholifah sehingga pertempuran pun terjadi. Said bin Bahdal tewas karena terkena penyakit tho'un, lalu posisinya digantikan oleh ad Dhohak bin Qois as Syaibany

Pertempuran tersebut memakan banyak korban dari kedua belah pihak, di antaranya adalah 'Ashim bin Umar bin Abdul Aziz, saudara dari amir Irak saat itu (Abdullah bin Umar bin Abdul Aziz), lalu ad Dhohak memasuki Kufah setelah mengalahkan penduduknya

Amir Irak dan pasukannya pun segera menuju ke Kufah, sehingga terjadi banyak pertempuran kecil yang luas. Lalu ad Dhohak berjalan memasuki Mosul dan membunuh wakil Mosul. hal itu pun sampai kepada Marwan yang sedang mengepung Hims, Marwan lalu memerintahkan anaknya, Abdullah untuk membuntuti ad Dhohak, lalu terjadilah pertempuran antara kedua kubu dan akhirnya ad Dhohak terbunuh

Posisi ad Dhohak digantikan oleh al Khoibary, kemudian Sulaiman bin Hisyam bin Abdul Malik, seluruh keluarganya dan pasukannya membuntuti khowarij ini, sedangkan Marwan sendiri juga menuju kepada khowarij, dia berada di pasukan inti, sayap kanannya adalah Abdullah, anaknya, sedangkan sayap kiri adalah Ishak bin Muslim al 'Aqily. Bertemulah kedua kelompok ini, pihak khowarij langsung menyerang pusat/ inti pasukan, terjadilah pertempuran dahsyat yang mengakibatkan kaum khowarij kocar-kacir dan al Khoibary tewas, sedangkan para pengikutnya melarikan diri

Setelah kematian al Khoibary, maka khowarij dipimpin oleh Syaiban bin Abdul Aziz al Yasykary, Sulaiman bin Hisyam memintanya agar tetap berada di Mosul dan membuat tempat perlindungan di sana, lalu Marwan segera menuju ke sana dan terjadilah pertempuran-pertempuran yang berlangsung selama setahun penuh

Marwan mengirim surat kepada wali Irak yang baru, Yazid bin Amr bin Hubairoh agar memerangi kowarij dan mengejar mereka kemana saja mereka bergerak. Yazid sendiri telah mempersiapkan Kufah dan membuat pembagian besar di antara mereka, lalu mengirim pasukan untuk memperkuat Marwan yang sedang mengepung kota Mosul, ketika bantuan kekuatan datang untuk Marwan, maka khowarij segera meninggalkan Mosul dan bergerak ke Halwan, lalu pindah ke al Ahwaz, di al Ahwaz mereka bertemu dengan kekuatan Ibnu Hubairoh hingga sebagian besar mereka habis, sedangkan Sulaiman bin Hisyam dan keluarganya yang saat itu bersama mereka pergi menuju as Sanad melewati jalur laut. Lalu setelah itu, kembalilah Marwan ke Hurran dan menetap di sana

Muncullah Abu Hamzah al Khorijy yang berhaji pada tahun 129 H, ia berdamai dengan amir Hijaz, Abdul Wahid bin Sulaiman bin Abdul Malik, lalu setelah musim haji, ia bergerak menuju Madinah dan memasukinya pada tahun 130 H, ia berhasil menguasai wilayah tersebut selama tiga bulan, sedangkan amir Madinah, Abdul Wahid melarikan diri. Mengetahui hal itu, Marwan segera mengirimkan pasukan dari penduduk Syam ke Madinah, pasukan ini bertemu dengan khowarij di lembah Wadil Quro, mereka berhasil mengalahkan kaum khowarij lalu mereka memasuki Madinah, lalu ke Makkah, lalu ke Yaman

Keluarlah imam Yaman, yaitu Abdullah bin Yahya yang sering di serukan oleh Abu Hamzah dan dengan namanya Abu Hamzah berperang, maka penduduk Syam pun membunuhnya. Marwan segera mewakilkan hijaz kepada Muhammad bin Abdul Malik bin Marwan

Di daerah Khurosan juga muncul Syaiban bin Salamah al Khorijy pada tahun 130 H, lalu Abu Muslim al Khurosany segera mengirim pasukan ke sana, membunuhnya dan menghabisi pengikutnya[4]

C. Bani Umayyah versus Bani Abbasiyah

Bani Umayyah secara umum bisa dikatakan berhasil lolos dari ujian yang menderanya dan menumpas pemberontakan yang terjadi pada masa pemerintahannya, mereka selalu menang sehingga membuat lawan-lawannya keder, membuat otak para pembuat makar trauma, sehingga mereka akan berpikir untuk tidak mengulangi untuk yang kedua kalinya

Akan tetapi pemberontakan yang bertubi-tubi tak pelak meninggalkan bekas dalam bangunan yang megah ini, jika bangunan ini tidak kuat, maka akan hancur sejak dini, kendati bani Umayyah menang dalam menghadapi pemberontakan dan lawan-lawannya lemah, tapi pemberontakan tersebut tak ubahnya seperti tetesan air yang mengenai batu, jika itu terjadi terus-menerus, maka batu itupun akan pecah

Meskipun bani Umayyah terlihat tegar dalam menghadapi pemberontakan dan mengubah hasilnya menjadi berpihak pada mereka, namun hal itu tidak terjadi ketika pemberontakan bani Abbasiyah muncul, sebab pemberontakan tersebut dirancang dengan rapi dan para konseptornya tepat dalam menentukan timingnya

Kesemua pemberontakan tadi bukan penyebab satu-satunya kemenangan pemberontakan bani Abbasiyah, ada sebab-sebab lain yang mempercepat kehancuran bani Umayyah dan terbentuknya daulah Abbasiyah

Sebab-sebab tersebut adalah lemahnya para khalifah, kecenderungan mereka hidup santai dan keluarnya mereka dari prinsip-prinsip Islam yang menjadi tonggak tegaknya sebuah Negara. Di antara mereka adalah Walid bin Yazid yang dikatakan oleh as Suyuti sebagai "Khalifah Fasik"

Sebab lainnya adalah pertikaian para khalifah dan permusuhan mereka dengan sebagian yang lain padahal padahal mereka tadinya seia-sekata dan satu tangan dalam menghadapi pihak luar. Yazid bin Walid Abu Khalid yang bergelar "an Naqidh" misalnya, ia mengkudeta khalifah dan membunuh misannya Walid hanya untuk bisa menjadi khalifah

Sebab lainnya adalah munculnya fanatisme kabilah dan lahirnya perilaku jahiliyah ke dalam internal kabilah, menyebabkan rakyat tidak mau mendukung khalifah dan mengalihkan perhatiannya kepada fanatisme kabilahnya dan mempertahankannya tanpa memikirkan benar salahnya

Bahkan sebagian penguasa yang berpikiran dangkal sengaja membangkitkan fanatisme kabilah atau kelompok di kalangan rakyat karena menurutnya itu membuat mereka sibuk dengan yang lain dan perhatian mereka tidak tertuju pada penyelewengan dan pelanggaran yang terjadi pada para penguasa tersebut. Kalau toh itu terwujud dan manusia sibuk dengan fanatisme, maka hasil akhirnya tetap saja negative

Fanatisme golongan meruntuhkan kekuatan, memecah belah persatuan dan menjadikan bangsa dalam satu Negara sebagai musuh yang tidak diikat dengan ikatan apapun, ketika gendering panggilan berdentang dan rakyat dipanggil membela tanah airnya sedang di tanah airnya tidak ada orang yang memperhatikan nasibnya dan kemaslahatannya, maka ketika itu juga Negara itu menjadi mangsa musuh-musuhnya dan menjadi santapan para penyerbunya. Dan itulah yang terjadi pada daulah bani Umayyah, fanatisme kabilah tidak hanya terbatas pada kalangan rakyatnya, tapi melebar kepada para khalifah sendiri dan mengantarkan mereka pada hasil akhir yang mengenaskan

Puncak dari semua itu adalah kemunculan ajakan untuk ridha dengan keluarga Muhammad saw, yang mereka maksudkan dengan ridha di sini adalah pemberian gelar khalifah sehingga tidak diketahui nama aslinya dan dengannya melancarkan balas terhadap orang-orang bani Umayyah

Ajakan untuk ridha terhadap keluarga Muhammad mulai menghangat pada tahun 101 H, tepatnya pada masa pemerintahan Yazid bin Abdul Malik, sedangkan orang yang pertama kali menyerukan ajakan imamah adalah Muhammad bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthallib

Orang-orang Syi'ah secara teratur menemuinya di daerah Hamimah. Pada awalnya ajakannya hanya ditujukan kepada orang-orang Alawi, yaitu Muhammad bin Ali bin Abu Thalib yang masyhur dengan sebutan Ibnu Hanafiyah dan diteruskan oleh anaknya, Abu Hasyim. Ketika Abu Hasyim merasa ajalnya telah dekat ketika itu berada di daerah hakikat, tempat tinggal Muhammad bin ali, maka Abu Hasyim menceritakan tujuan dakwahnya kepada Muhammad bin ali dengan metode yang ia tempuh selama ini, serta ia kenalkan kepadanya nama-nama da'i yang mendukung idenya. Akhirnya Muhammad bin Ali mengundurkan diri dari jabatan khalifah dan dengan begitu daulah beralih ke tangan bani Abbas

Muhammad bin ali mengkoordinir orang-orang Syi'ah, mengajak mereka bergerak secara rahasia dan menganjurkan agar tidak terlalu agresif agar rahasia mereka tidak terbongkar. Ia mengirim para pengikutnya ke daerah-daerah. Ada yang pergi ke daerah Irak dan Khurosan. Mereka sebarkan dakwahnya dengan rahasia sekali . semua tokoh mereka mengadakan koordinasi yang matang dan kerja yang berkesinambungan serta berkorban dengan apa saja yang mereka miliki

Yazid bin Abdul Malik yang mendengar sepak terjak para da'i gerakan Abbasiyah kemudian menyuruh memenggal kepala dua orang dari mereka dan menyalibnya. Hal ini diketahui oleh Muhammad bin Ali, ia lalu berkata: "Alhamdulillah yang telah meluruskan ikatan ini, masih banyak pengikutnya yang akan mendapatkan syahadah

Ketika Muhammad bin Ali wafat, anaknya Ibrahim bin Muhammad mengambil alih kendali, pada tahun 126 H/ 743 M ia mengirimkan surat kepada para pendukungnya di Khurasan melalui Abu Hasyim bin Mahan dengan membawa pesan khusus. Bakir bertolak menuju Marwa, setibanya di sana ia kumpulkan tokoh-tokoh dan da'i setempat dan ia informasikan kepada mereka akan kewafatan Muhammad bin Ali dan meminta mereka membaiat anaknya, Ibrahim bin Muhammad. Mereka menuruti permintaan Bakir dan menyerahkan kepadanya bantuan uang yang telah dikumpulkannya, kemudian bantuan uang tersebut diserahkan Bakir kepada Ibrahim bin Muhammad

Pada tahun 127 H, sejumlah da'i bertemu dengan Ibrahim bin Muhammad termasuk Abu Muslim al khurosany dan menyerahkan kepadanya bantuan uang yang banyak dan mereka serahkan seperlima kekayaan kepadanya, tapi mereka tidak dapat berbuat banyak, karena banyaknya fitnah dan tragedy yang terjadi pada tahun itu juga

Gerakan Ibrahim bin Muhammad semakin menghangat dan Abu Muslim al khurosany semakin aktif menyebarkan dakwahnya. Gubernur Khurosan, Nashr bin Sayyar dari kubu Marwan bin Muhammad tidak sempat memikirkan gerakan Ibrahim bin Muhammad karena terlalu sibuk menghadapi pembelotan Jadi' bin Ali yang terkenal dengan sebutan al Karmani. Pamor Abu Muslim semakin berkibar, sehingga Nashr bin Sayyar berpendapat bahwa gerakan Abu Muslim harus dibendung, karena kalau dibiarkan akan membahayakan, ia mengirim surat kepada Marwan bin Muhammad mengabarkan perkembangan yang sedang terjadi, lalu khalifah Marwan menyuruh gubernur di Syam memanggil Ibrahim bin Muhammad kemudian membawanya menghadap khalifah. Khalifah Marwan bin Muhammad menanyakan kepada Ibrahim bin Muhammad ihwal gerakannya, namun Ibrahim bin Muhammad mengelak dan mengaku tidak tahu menahu dengan apa yang ditanyakan khalifah Marwan bin Muhammad. Khalifah Marwan bin Muhammad naik pitam kemudian memerintahkan agar Ibrahim bin Muhammad dipenjara kemudian membunuhnya di penjara bersama Abdullah bin Umar bin Abdul Aziz dengan hukuman gantung. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Shafar tahun 132 H

Mendengar saudaranya terbunuh, Abdullah bin Ali melarikan diri ke Irak diikuti oleh saudara-saudaranya dan pengikutnya kemudian berhenti di Kufah. Abu Muslim datang menyampaikan bela sungkawa atas wafat saudaranya dan membaiatnya sebagai khalifah

Abu Muslim membuat janji dengan para pengikutnya pada suatu hari. Ketika hari yang dijanjikan telah datang, makan konta semua pengikutnya keluar dengan baju duka atas wafatnya Imam Ibrahim bin Muhammad, semua orang dari segala penjuru berpihak kepada Abu Muslim al khurosany, selain itu Abu Muslim juga berhasil menggaet al Karmani ke dalam kubunya dalam melawan Nashr bin Sayyar. Berita perkomplotan keduanya di dengar oleh Nashr bin Sayyar, lalu Nashr bin Sayyar membuat konspirasi, hasilnya al Karmani terbunuh, dan setelah itu Nashr bin Sayyar melarikan diri. Dipihak lain Abu Muslim semakin tidak tertahankan dan puncaknya menguasai sejumlah besar daerah dan menunjuk orang tertentu sebagai gubernurnya

Pasca meninggalnya imam Ibrahim bin Muhammad, saudaranya, Abul Abbas Abdullah as Shaffah di daulat sebagai khalifah dan saudaranya yang lain, Abu Ja'far Abdullah al Manshur sebagai putra mahkota pada bulan rajab pada tahun 132 H

As Shaffah menginstruksikan pamannya, Abdullah bin Ali memerangi Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir bani Umayyah. Kedua kubu bertemu, kubu bani Abbasiyah dengan panglima perang Abdullah bin Ali dan kubu bani Umayyah dengan panglima perang khalifah Marwan bin Muhammad sendiri dan terjadilah pertempuran sengit. Yang terdengar hanyalah gemerincing suara senjata seperti suara tongkat beradu dengan tembaga.

Bani Umayyah terpukul mundur, tapi mereka terus diburu kubu bani Abbasiyah kemudian dibunuh dan ditawan. Abdullah bin Ali berhasil menguasai apa saja yang ada dalam markas bani Umayyah, seperti harta kekayaan dan lain sebagainya. Berita kemenangan ini segera dikirimkan ke as Shaffah, as Shaffah pun langsung sujud syukur kepada Allah sebanyak dua rakaat

Abdullah bin Ali mencari orang-orang bani Umayyah, baik yang masih hidup maupun mati. Ia gali lubang dan membantai keturunan bani Umayyah sebanyak 92.000 pada hari Ahad di tepi salah satu sungai di Ramlah

As Shaffah menyuruh Abdullah bin Ali agar tetap tinggal di Syam dan menyuruh saudaranya, Shalih bin Ali segera pergi ke Mesir, ia mendapati Marwan bin Muhammad bersembunyi di gereja Abu Shair. Shalih bin Ali menyingkirkan para pengikut Marwan bin Muhammad lalu mengepung Marwan bin Muhammad dan membunuhnya lalu mengirimkan kepala Marwan bin Muhammad kepada abul Abbas as shaffah

Pembunuhan Marwan bin Muhammad ini terjadi pada hari ahad tanggal 3 Dzulhijjah. Versi lain menyebutkan hari kamis 6 Dzulhijjah 132 H

Dengan terbunuhnya Marwan bin Muhammad, berakhirlah masa kejayaan masa kejayaan bani Umayyah setelah berkibar selama 92 tahun. Selama jangka waktu tersebut, daulah Umayyah telah berbuat banyak demi Islam dan kaum muslimin[5]

III. keRuntuhan dinasti Umayyah[6]

Dinasti Umayyah yang melanjutkan tradisi kerajaan-kerajaan pra lslam di TimurTengah mengundang kritik keras dan memunculkan kubu oposisi. Kelompok oposisi terbesar yang sejak awal menentang pemerintahan keluarga Bani Umayyah adalah kelompok Syi'ah, yaitu para pengikut dan pecinta Ali bin Abi Thalib serta keturunannya yang merupakan Ahlul bait

Selain kelompok Syi'ah, pemerintahan Dinasti Umayyah juga mendapat penentangan dari orang-orang Khawarij. Kelompok Khawarij ini merupakan orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib, karena mereka merasa tidak puas terhadap hasil tahkim atau arbitrase dalam perkara penyelesaian persengketaan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah.

Usaha menekan kelompok oposisi terus dijalankan oleh penguasa Umayyah bersamaan dengan usaha memperluas wilayah kekuasaan Islam hingga Afrika Utara dan Spanyol. Selain menghadapi persoalan eksternal, para penguasa Umayyah juga menghadapi persoalan internal, yaitu pemberontakan dan pembangkangan yang dilakukan oleh orang-orang dekat khalifah di berbagai wilayah kekuasaan Umayyah, seperti di Irak, Mesir, Palestina, dan Yaman.

Pemberontakan yang terjadi selama pemerintahan Dinasti Umayyah umumnya dipicu oleh faktor ketidakpuasan terhadap kepala daerah yang ditunjuk oleh khalifah. Pada masa pemerintahan Khalifah Marwan bin Muhammad (Marwan II), misalnya, terjadi sejumlah pemberontakan di wilayah kekuasaannya.

Di Mesir, kerusuhan terjadi karena gubernur yang diangkat Marwan II menghentikan pemberian tunjangan yang dulu diperintahkan oleh Yazid III untuk diberikan kepada para anggota baru dalam angkatan darat dan laut. Sementara di Yaman, kerusuhan timbul antara lain karena pemerintah setempat memungut pajak sangat tinggi dari orang Arab.

Kesibukan Marwan II dalam menumpas pemberontakan membuat wilayah Khurasan dikuasai Bani Abbas (dinasti yang didirikan Abu Abbas as Saffah). Gerakan Bani Abbas ini merupakan ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup Dinasti Umayyah.

Setelah Khurasan dapat dikuasai, gerakan Bani Abbas bergerak menuju Irak dan dapat merebut wilayah itu dari pejabat Bani Umayyah. Setelah menguasai wilayah Irak sepenuhnya, pada 132 H/750 M, Abu Abbas as Saffah dibaiat sebagai khalifah yang menandai berdirinya Dinasti Abbasiyah.

Sejak saat itu, Bani Abbas mulai melakukan ekspansi untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Wilayah-wilayah yang dahulu dikuasai oleh Dinasti Umayyah pun berhasil direbut. Bahkan, pasukan Bani Abbas berhasil membunuh Marwan II dalam sebuah pertempuran kecil di wilayah Bushair, Mesir. Kematian Marwan II menandai berakhirnya Dinasti Umayyah yang berkuasa dari 41 H/661M-133 H/750 M.

IV. Sebab runtuhnya dinasti Umayyah[7]

Runtuhnya Dinasti Umayyah bukanlah semata-mata disebabkan oleh serangan Bani Abbas. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Khilafah menyebutkan, terdapat sejumlah faktor yang sangat kompleks, yang menyebabkan tumbangnya kekuasaan Dinasti Umayyah.

1) Pengangakatan lebih dari satu putra mahkota

Sebagian besar khalifah Bani Umayyah mengangkat lebih dari seorang putra mahkota. Biasanya, putra tertua diwasiatkan terlebih dahulu untuk menduduki tahta. Setelah itu, wasiat dilanjutkan kepada putra kedua dan ketiga, atau salah seorang kerabat khalifah, seperti paman atau saudaranya. Putra mahkota yang lebih dahulu menduduki takhta cenderung mengangkat putranya sendiri. Hal itu menimbulkan perselisihan.

2) Timbulnya fanatisme kesukuan

Sejak pertama kali diturunkan, ajaran Islam berhasil melenyapkan fanatisme kesukuan antara bangsa Arab Selatan dan Arab Utara, yang telah ada sebelum Islam. Namun, pada masa Bani Umayyah, fanatisme ini muncul kembali, terutama setelah kematian Yazid bin Muawiyah (Yazid I).

Bangsa Arab Selatan yang pada masa itu diwakili kabilah Qalb adalah pendukung utama Muawiyah dan putranya, Yaid I. Ibu Yazid I yang bernama Masum berasal dari Kabilah Qalb. Pengganti Yazid I, Muawiyah II, ditolak oleh bangsa Arab Utara yang diwakili oleh kabilah Qais dan mengakui kekhalifahan Abdullah bin Zubair (Ibnu Zubair). Ketika terjadi bentrokan di antara kedua belah pihak, kabilah Qalb dapat mengalahkan kabilah Qais yang mengantarkan Marwan I ke kursi kekhalifahan.

3) Kehidupan khalifah yang melampaui batas

Beberapa khalifah Umayyah yang pernah berkuasa diketahui hidup mewah dan berlebih-lebihan. Hal ini menimbulkan rasa antipati rakyat kepada mereka. Kehidupan dalam istana Bizantium agaknya memengaruhi gaya hidup mereka. Yazid bin Muawiyah (Yazid I), misalnya, dikabarkan suka berhura-hura dengan memukul gendang dan bernyanyi bersama para budak wanita sambil minum minuman keras. Yazid bin Abdul Malik (Yazid II) juga tidak lebih baik dari Yazid I. Ia suka berfoya-foya dengan budak wanita. Putranya, al Walid II, ternyata tidak berbeda dengan ayahnya.

4) Fanatisme kearaban Bani Umayyah

Kekhalifahan Bani Umayyah memiliki watak kearaban yang kuat. Sebagian besar khalifahnya sangat fanatik terhadap kearaban dan bahasa Arab yang mereka gunakan. Mereka memandang rendah kalangan mawali (orang non-Arab). Orang Arab merasa diri mereka sebagai bangsa terbaik dan bahasa Arab sebagai bahasa tertinggi.

Fanatisme ini menimbulkan kebencian penduduk non Muslim kepada Bani Umayyah. Oleh karena itu, mereka ikut ambil bagian setiap kali timbul pemberontakan untuk menumbangkan Dinasti Umayyah. Keberhasilan Bani Abbas dalam menumbangkan Bani Umayyah disebabkan antara lain oleh dukungan dan bantuan mawali, khususnya Persia, yang merasa terhina oleh perlakuan pejabat Bani Umayyah.

5) Kebencian golongan Syi'ah

Bani Umayyah dibenci oleh golongan Syi'ah karena dipandang telah merampas kekhalifahan dari tangar, Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Menurut golongan Syi'ah, khilafah atau yang mereka sebut imamah adalah hak Ali dan keturunannya, karena diwasiatkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Adib

Referensi:


  • Terjemah At Tarikh Khulafa', Imam as Suyuthi, Penj; Samson Rahman, Cetakan ke lima Juni 2006 Pustaka al Kautsar, Jln Cipinang Muara Raya No. 63 Jakarta Timur 13420
  • Wajah dunia Islam dari Bani Umayyah hingga imperialism modern, Dr. Muhammad Sayyid al Wakil, Penj; Fadhil Bahri, Lc, Cetakan ke enam November 2009 M, Pustaka al Kautsar, Jln Cipinang Muara Raya No. 63 Jakarta Timur 13420
  • At Tarikh al Islamy, Muhammad Syakir, Cetakan ke tujuh 1991 M, al Maktabah al Islamy Beirut, Lebanon
  • Republika online

[1] At At Tarikh al Islamy, jilid: 4 hal: 299

[2] Terjemahan At Tarikh Khulafa' hal: 304

[3] At At Tarikh al Islamy, Jilid: 4, Hal: 299-301

[4] At Tarikh al Islami, Jilid: 4, hal: 302-303

[5] Wajah Dunia Islam, hal: 56-61

[6] Republika online

[7] Republika online

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun