Mohon tunggu...
Suhadi Rembang
Suhadi Rembang Mohon Tunggu... Guru Sosiologi SMA N 1 Pamotan -

aku suka kamu suka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rekayasa Sosial Budaya Ruang Kelas Kita

18 Juni 2017   13:33 Diperbarui: 18 Juni 2017   13:43 1623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: ekazai.files.wordpress.com

"Apapun harinya, bagi sekolah, yang terpenting adalah menjadikan momentum untuk melayani pembelajaran para siswa. Entah itu hari pendidikan, hari kebangkitan nasional, hari kemerdekaan, hingga pentas tradisi sosial lainnya, semua itu dapat dijadikan pintu masuk dalam mencerdaskan generasi muda penerus bangsa Indonesia."

Sekolah-sekolah di Indonesia, sungguh memiliki landasan tradisi yang beragam. Lahir menjadi negara persatuan dan kesatuan, corak multikultural adalah sebuah keniscahyaan. Namun terkadang pendekatan pembelajaran kita cenderung melesat jauh dari basis kultur yang menawan. Sungguh menjadi ironi, bahwa pembelajaran-pembelajaran di sekolah cenderung meninggalkan gerakan kebudayaan. Kasak-kusuk pembelajaran di sekolah hanya sebatas pelengkap administratif semata. Tanpa disadari, kegiatan pembelajaran kita, semakin mengejar sesuatu yang fana tanpa menyinggung pembelajaran sosio-kultur yang penuh makna.

Kita punya tradisi besar menjadi masyarakat kepulauan. Kita pun punya tradisi besar menjadi negara agraris. Tapi kita sampai saat ini masih malu menggunakan tradisi agung tersebut untuk kita jadikan pintu masuk dalam proses pembelajaran. Kegiatan-kegiatan di sekolah seakan dalam posisi kutub yang berseberangan. Kegiatan pembelajaran di sekolah seakan membangun mercusuarnya sendiri, tanpa adanya tanggung jawab pembelajaran kita bersama. Pentas tradisi seakan menjadi tanggung masyarakat semata. Sekolah juga seakan apatis dengan pentas tradisi. Hal ini dapat dilihat tidak ada satupun rasa kewajiban dalam program pengabdian sosial untuk mendukung kegiatan tradisi. Padahal jika pihak sekolah jujur mengakui, keberadaan sekolah tidak lepas dari masyarakat pengikut tradisi nusantara yang besar ini.

Untuk itu, perlu kiranya ada ulasan tentang bagaimana rekayasa pembelajaran berbasis sosio-kultur kita. Namun sebelum membahas hal tersebut, perlu kiranya kita mengidentifikasi berbagai hal kekayaan sosio-kultur kita, diantaranya kekayaan akan alat musik tradisi, kekayaan pakain adat nusantara, keragaman tarian adat nusantara, kekayaan rumah adat daerah kita,  hingga ragam hasil bumi dan laut yang dimiliki oleh bangsa kita, bangsa Indonesia. Kekayaan sosio-kultur ini menjadi penting untuk kita miliki bersama, karena dengan hasil kebudayaan kita tersebut, kita semakin bangga dengan diri kira, bangga menjadi bangsa Indonesia, sebuah bangsa besar yang hingga saat ini masih berdiri kokoh dalam ikrar kita, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia.

A.Kekayaan Nusantara

1.Kekayaan Alat Musik Nusantara

Masihkan ruang kelas kita isi dengan ragam alat musik tradisional bangsa Indonesia? Sebagian besar jawabnya tidak. Kita harus jujur bahwa ruang kelas kita cenderung kita fungsikan sebagai ruang expo hasil teknologi import. Alat  musik mulai dari gambus, sasando, panting, angklung, suling, siter, kenong, rebab, gong, bende, kecapi, gendang, bonang, serunai, tuma, kolintang, kecapi, cengceng, lado-lado, rifai, doli, tifa, hingga marwad, hanya menjadi koleksi domain youtube semata. 

Ruang kelas kita semakin keras dengan seabrek isi kabel-kabel dan sinyal wifi. Namun sayangnya, akses komunikasi tanpa batas ini semakin jauh dari kekayaan alat musik tradisional. Ruang kelas kita semakin sepi dari denting  musik tradisi. Padahal alat musik tradisi yang kita miliki inilah, menjadi bukti nyata akan keagungan peradaban seni bangsa Indonesia. Sehingga wajar jika ruang kelas kita semakin padat dengan informasi yang hoak tanpa ada pihak yang bertanggung jawab terhadap itu semua.

2.Kekayaan Tarian Adat Nusantara

Selanjutnya adalah kekayaan kita akan tarian adat nusantara. Saat ini, ruang kelas kita sangat sepi dengan pentas tari tradisi. Ekspresi tradisi yang penuh dengan arti ini semakin jauh dari mata para siswa di negeri ini. mungkin hanya pada saat moment acara pelepasan siswa saja, pentas tarian itu digelar ,itupun hanya sebatas pentas tari etnosentris belaka. Adapun pentas tari tradisi lainnya, tetap terlelap dalam tumpukan buku di rak perpustakaan. Regam tari tradisi yang kita cukuplah banyak. Mulai dari tari seudati, tor-tor, payung, bekhusik, tandak, melemang, sekapur sirih, bidadaei, campak, melinting, yapong, merak, topeng, bambangan cakil, srimpi, remo, legong, lenggo, gareng lemeng, monong, gong, tambun dan bungai, jepen, baksa kembang, maengket, polo-polo, kipas, lumense, balumpa, lampa, lenso, soya-soya, eta'e wosi, hingga tari selamat datang, kita punya. 

Kita tidak pantas memposisikan tarian tradisi tersebut adalah lepas dari pembelajaran di ruang sekolah kita. Pentas tarian di atas adalah milik bangsa Indonesia, adapun pemilik asal adalah masyarakat Indonesia yang wajib kita hargai dengan mementaskannya, bukan mencibir apalagi menghalau lepas dari proses pembelajaran di sekolah kita. Bukankan dengan tarian-tarian tersebut, karakter dan identitas kemajmukan bangsa Indonesia menjadi ada? Untuk itu sudah saatnya ruang kelas kita menjadi ruang pentas kekayaan tarian bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun