Februari tahun2000.Ketika itu putra pertamasayaHanif, masih duduk di kelas 4 SD Prof. Dr. Moestopo, Bandung, Irsyad kelas 3 di sekolah yang sama,sementara Fai sekolah di TK dan Firdaus berusia 3 tahun. Peta keluarga berubah.Kami tinggal di Bandung, sementarasuami tinggal di Amerika.
Sebenarnya berpisah seperti inisebuah hal yang biasa saja untuk kami.Berulang kalisaya dan anak-anak ditinggal bertugas suami ke berbagai kota di Indonesia maupun ke luar negeri, hanya jangka waktunyadapat diprediksi, dan pulangkembali ke Bandung. Sementara kepergian ke Amerika, kami sudah merencanakanakanbekerja, untuk kemudian “menetap” di sana. Namun, pada saat saya mengajukan visa untuk menyusul suamipada bulan September 2001, sesaat setelahtragedi 11 September-peristiwa hancurnya WTC di New York-visa saya di tolak. Saya bisa pahami, phobia terhadap Islam saat itu sangat tinggi, apalagisaya memakai jilbab.Ada teman saya seorang professor yang akan menghadiri seminar di sebuah kota di Amerika visanya di tolak, hanya karena namanya berbau ke-Islaman, dan banyak cerita-ceritasedih di saat itu, yang semuanya mengukuhkan paranoidsebuahnegara adi daya bernama Amerika.
Kendati rencana keluarga gagal,saya masih bersyukur, suami masihbisa pulang-pergiAmerika-Indonesiadalam periode waktu tertentu.Sekali pun kami sedih, namunkami tak boleh larut.Akhirnya, di mulai lah petualangan baru dengan 4 putra saya yangmasih kecil-kecil.
Sebagai ibu yang bekerja, waktu yang diberikan kepada anak-anak jelas lebih sedikit dibandingkan para ibu rumah tangga yang hanya mengurus keluarga. ‘Ketiadaan’ ayah disamping mereka, membuat saya berpikir keras mengatasi situasinya.Karena tak ada satu pun keluarga besar yang dekat dengan kami.Maka langkah pertama yangharus saya lakukan adalah memiliki pembantu.Dan saya tidakmemusingkanurusan-urusan pekerjaan rumah tangga, biarlah diurus pembantu saja. Pikiran saya hanya tertuju padapekerjaan dan terutama anak-anak.
Kebetulan pekerjaan saya mengajar mahasiswa dan menjadi konsutan pendidikan, waktu menjadi lebih fleksibel untuk mengatur irama keluarga.Sebelum saya berangkat ke kantor, saya mengantar anak-anak ke sekolah terlebih dahulu, dansaya selalu menyempatkan diri untuk menjemput anak-anak seusai jam kerja. Namun itu saja ternyata tak cukup. Saya harus memerankan diri menjadi ‘ayah’ untuk anak-anak yang semuanya lelaki. Akhirnya kegiatan-kegiatan kamimenjadi “lelaki banget”.
Seiring dengan usia anak-anak, kami memilih kegiatan-kegiatan lintas alam, naik gunung Tangkuban Perahu,camping di tepi pantai. Jikacamping tak memungkinkan, saya menyewa bungalow dan berhari-hari kami ada disana hingga anak-anak merasa senang dan puas.Kadang-kadang sebagai selingan, kami nonton bioskop sama-sama. Saya juga menyediakan buku-buku untuk ‘menemani’ mereka yang berhubungan dengan percobaan sains, biografi tokoh-tokoh terkenal dalam bentuk komik, alam raya, tumbuhan, geologi, astronomi dari buku Cakrawala Pengetahuan Dasar, Widya Wiyata Petama Anak-Anak dan Hamparan Dunia Ilmu, dan lainnya.Sesekali kalau pulang, suami saya juga membawa buku-buku berbahasa Inggrissebagai hadiah untuk putra-putra kami, yang tenyata di kemudian hari membuat putra-putra sayadapat berbahasa Inggrisdengan baik.Dan, dari seluruh buku-buku yang disukai anak-anak saya adalah komik Dora Emon.
Disamping kegiatan-kegiatanbermainoutdoor, ada kegiatan yang sangat disukai ke-4 putra saya, yaitu percobaan sains. Akhirnya saya memfasilitasi seluruh kesukaan mereka dengan mengirimnya ke sebuah klub percobaan sains. Layaknya ilmuwan cilik, merekamembuat percobaan-percobaan fisika, kimia dan biologisecara sederhana, salah satunyapercobaan gunungberapi, cara kerja magnet dan lainnya.Karena itu, setiap kami pergi ke luar jalan-jalan ber-lima, seperangkat alat-alat yang membantu rasa ingin tahu mereka selalu ada, sepertimagnet dengan berbagai jenisbentuk, kaca pembesar, teropong, dan alat-alat percobaan lainnya. Pada suatu ketika, ayah mereka membelikan teropong bintang dari Amerika. Teropong bintang itu membuat kami terpaku di depan langit hampir setiap malam, jika langit tak mendung. Saya dan anak-anak mengamati bintang dan bulan.Berbagai kegiatan yang kami lakukan bersama-sama membuat kami menjadi tim bermain yang solid. Walau pun demikian, terkadang kami bertengkar untuk urusan hal-hal yang remeh temeh, untuk sesaat kemudian berbaikan kembali.
Pada bulan Oktober 2005, suamisaya memutuskan pulang ke Indonesia.Namun, mungkin sudah menjadi garis takdir kami untuk menjadi keluarga jarak jauh. Suami saya bekerja di Jakarta, tetapi seringkalimelakukan tugas-tugaske luar Jakartadan luar negeri.Jadi apa gunanya kami pindah ke Jakarta, tempat menetap suami tak bisa ‘dipegang’.Dan saya kembali berpetualang dengan anak-anak yang sudah mulai berangkat remaja.Tentu saja, sekarang jauh lebih asyik. Anak-anakku yang remaja sudah mulai jatuh cinta.Pokok bahasan kami sudah mulai ke urusan cewek.. Saya mulai agak mengendurkan kontrol kepada anak-anak, supaya mereka memiliki ruang (space), dengan demikian mereka dapat mengembangkan pikiran dan perasaan mereka. Tetapi dalam situasi tertentu,sayaselalu bersama dan ada untuk mereka.Terkadang, malam-malam ditengah hujan lebat saya menjemputmereka dari sekolah, rumah temannya, atau tempat les-nya masing-masing. Namun kami tetap sering pergi bersama ke luar kota dan kerja bakti di rumah (walaupun banyak malasnya), serta mengasuh binatang kesayangan bersama-sama.
Ternyata pengalaman masa kecil merekaberurusan dengan percobaan sains, membuat mereka memilih jurusan kuliah tak jauh daribasic –nya. Hanifakhirnya kuliah di Jurusan Teknik Kimia- Universitas Diponegoro dan Irsyad di jurusan Geofisika- Universitas Gadjah Mada. Sementara putra ke-3 saya Fai, yang duduk di kelas 1 SMA 3 Bandung, sejak SMP sudah mampu merakit computer sendiri. Beberapa komputer telah ia rakit dan perbaiki.Saya hanya membelikan motherboard, VGA dll. Dan Fai juga mampumembobol password orang, namun ia tidak lakukan, apalagi ia sudah jadi aktivis Dewan Kerja Mesjid (katanyamau jadi orang baik, hihiii). Sementara anak bungsu saya Firdaus kelas 3- SMP Negeri 1 Bandung, senang dengan gambar-gambar teknik yang ia wujudkan pada sebuah model dalam bentuk paper craft. Hanif, Irsyad dan Fai sempat beberapa kali mengikuti olimpiade sains, tetapi keberuntungan saat itu belum berpihak pada mereka.
Sekarang, suami saya tinggal di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Namun demikian anak-anak sudah mampu menyikapinya dengan 'dewasa', “ Papa itu, walau seringkalitak ada ditengah kita, kehadirannya selalu ada, ” kata Fai sok bijak, jeeeee…
_____
Sumber gambar : www.howstuffworks.com, www.sains-ipa-fisika.blogspot.com