Mohon tunggu...
Eric Brandie
Eric Brandie Mohon Tunggu... Penulis - Sosiolog

Kajian realitas dan dimensi sosial Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Stigma Mayoritas/Minoritas Sesat dan Berbahaya bagi NKRI

29 Juni 2017   16:20 Diperbarui: 13 Juli 2017   16:23 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jargon mayoritas/minoritas sesungguhnya merupakan stigma berkonten OPINI-PROPAGANDA amat sangat berbahaya karena secara tidak langsung telah mengamputasi, mengkerdilkan, mengkebiri-paksa keberadaan serta eksistensi warga negara, anak-anak bangsa Indonesia hanya karena berdasarkan perbedaan keyakinan/agama semata. Berdasarkan fakta-fakta yang kerap kita saksikan bersama tidak bisa disangkal bahwa stigmasi ini sengaja dimunculkan sebagai siasat picik bagi legitimasi tindakan diskriminatif dan menciptakan pintu-pintu kesewenangan perlakuan atas sesama anak bangsa hanya berdasarkan perbedaan keyakinan agama semata. 

Kongkritnya tidak kurang dari upaya pembungkaman prinsip egaliter, menjegal hak-hak kesetaraan sebagai sesama anak bangsa warga negara Indonesia.
Point selanjutnya yang tak kalah menyesatkan lagi terkait stigma mayor/minor ini yakni secara sepihak dan lancang muncul klaim-klaim liar nan sumbang bahwa berdiri dan bergulirnya negara ini hanyalah dengan parameter, persepsi dan aspek keagamaan semata sama sekali bukan obyektifitas sumbangsih, dedikasi, loyalitas, partisipasi aktif SELURUH keberagaman komponen bangsa dalam membangun negeri tercinta ini, wowww!

Tidak mengherankan jika kemudian timbul dampak psikologis massa yakni minimnya rasa legowo dalam bermasyarakat lintas perbedaan suku, etnis, terutama AGAMA. Bayangkan, bagaimana rasanya jika akhirnya diperlakukan diskriminatif di tiap-tiap daerah hanya karena sentimen sepihak yang merujuk kepada agama terbanyak di masing-masing daerah tersebut di Republik ini. Bahkan lebih jauh lagi di dalam beberapa agama tertentu pun ternyata terdapat 'gap' berupa aliran-aliran berbeda yang juga kerap diskriminatif dan lagi-lagi dengan dalih 'mayoritas-minoritas', tentu saja semuanya merupakan sikap kontraproduktif yang menjadi triger KERUSAKAN SOSIAL. 

Semuanya merupakan ekses yang bersumber dari stigma konyol nan usang 'bin' kontraproduktif yang terus coba diwariskan dari generasi ke generasi. Maka tak heran jika acapkali akhirnya rakyat pun selalu merasa bagai orang asing di negeri sendiri, demikianlah lagi-lagi hanya karena persoalan klasik 'purbakala' berupa paradigma PEMBODOHAN: perbedaan agama.

Sekedar sharing, dari paparan kakek saya yang kebetulan dahulu termasuk salah satu pejuang kemerdakaan di era Belanda-Jepang, dikomparasi dengan catatan-catatan otentik sejarah akhirnya kemudian saya menjadi sangat paham bahwa para pemimpin-pemimpin berbagai kerajaan seluruh Nusantara, para pahlawan pengusir penjajah bersepakat meleburkan daerah-daerah mereka dalam integrasi negara kesatuan (Republik Indonesia) sama sekali bukan didasari oleh kesamaan persepsi agama melainkan sebuah kesadaran yang jauh lebih besar yakni oleh kesamaan tekad untuk mendirikan sebuah negara besar, yang tangguh (motto bersatu kita besar dan tangguh), kesamaan visi untuk kemajuan bersama (semesta rakyat Nusantara) serta memancangkan wibawa sebuah negara integrasi berdaulat bernama Indonesia Raya di mata dunia.

Lalu kini, tahukah kita, sadarkah kita semua bahwa agitasi sesat berupa stigma mayor/minor itulah yang pada akhirnya dapat berpotensi menyudahi, merontokkan seluruh niat mulia pendiri-pendiri negara kita yang notabene dari berbagai latar belakang suku, etnis, agama.

Berbeda dengan negara-negara tetangga lainnya yang notebene sudah sangat maju walau masih berusia lebih muda namun tidak sudi berkubang dalam polemik BODOH sentimen agama, tidak heran jika akhirnya negara ini terlihat sedang kesulitan menapaki progresifitas ke depan, miskin inovasi, bangsa konsumen semata, bukan saja jalan di tempat tetapi malah telah mundur ke belakang akibat terus saja disibukkan dengan polemik-polemik picisan soal siapa mayoritas dan siapa minoritas, siapa tuan rumah siapa sekedar penumpang, dan seperti yang sering kita ketahui bersama bersama rasio yang kerap dikedepankan selalu saja rasio 'sakit' berkiblat kepada perihal sentimen keagamaan lagi dan lagi.

Tidak kalah nekat dan ngawurnya bahkan turut muncul beberapa pernyataan 'nyeleneh' dari beberapa pihak termasuk tokoh negara saat ini yang menyatakan bahwa hanya umat beragama tertentu saja yang dahulu yang berkontribusi berjuang memerdekakan negara ini dari penjajah.

Amat disayangkan sekali lagi-lagi mutlak terindikasi merupakan opini tendensius propaganda maha sesat, sangat membodohkan dan meresahkan bahkan terang-terangan mengubur-paksa fakta sejarah negeri bahwa segenap rakyat di Nusantara pada era penjajahan Belanda selama kurun waktu 350 tahun notabene serentak melakukan perlawanan sengit atas invasi dan tirani yang dilakukan Belanda dan bahkan sungguh tidak terhitung jumlah pahlawan-pahlawan perlawanan penjajah tidak terkecuali di era 3,5 tahun penindasan oleh Jepang hingga sampai ke gerbang kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Maka bagaimanakah caranya untuk meniadakan jasa-jasa seluruh pahlawan tersebut hanya karena alasan 'autis' tidak seagama BELAKA? Apakah masih ingin terus nekat menjadi pengkhianat-pengkhianat, pembangkang realitas jejak sejarah bumi Indonesia Raya? Jika demikian maka mari kita konfrontir langsung kepada negara Belanda dan Jepang tentang fakta-fakta perjuangan seluruh pahlawan-pahlawan Nusantara dengan realita bahwa semuanya berasal dari berbagai suku, etnis, agama, non agama dengan jumlah yang amat sangat tidak terhitung dan pada klimaksnya telah merelakan nyawa-nyawa mereka bagi mengusir penjajah di daerah masing-masing bagian bumi Indonesia Raya ini.

Tanpa mengurangi rasa hormat, almarhum kakek saya beragama Kristiani dan mutlak diakui oleh negara sebagai pejuang kemerdekaan dengan anugerah bintang jasa pejuang kemerdekaan, di sisa hidupnya kemudian menjabat sebagai ketua veteran pejuang kemerdekaan di regional kotanya di Sumatera Utara sana. Dan demikian juga tentunya realitas-realitas di daerah lainnya yang terdokumentasi sebagai bagian fakta sejarah tak terbantahkan sebut saja seperti di daerah: sebagian pulau Jawa, Bali, Manado, NTT, sebahagian Kalimantan, Maluku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun