Mohon tunggu...
eny Rifayati Im
eny Rifayati Im Mohon Tunggu... -

bu guru yang sangat mencintai murid dan masa depan mereka

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Peranan Pendidikan Agama dalam Pemberantasan Korupsi

22 Mei 2013   06:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:13 2185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Akhir-akhir ini penulis sangat miris sekali karena melihat tayangan di TV yang selalu memberitakan tentang prilaku korupsi. Lebih sedihnya lagi para koruptor tersebut sebagian besar para intelektual yang pemahaman agamanya sangat mumpuni. Mereka rata-rata mengenyam pendidikan minimal S-1.
Pendidikan agama selalu di ajarkan di setiap jenjang pendidikan, tapi kenapa korupsi semakin marak terjadi? Bahkan pelakunya orang-orang yang ilmu agamanya sangat dalam, sungguh sesuatu yang sangat ironis.

Korupsi erat kaitannya dengan prilaku tidak jujur. Sementara jujur dalam arti yang sebenarnya adalah berkata atau berbuat seperti apa adanya. Tapi sekolah sebagai peletak dasar dari nilai kejujuran malah mendidik siswa untuk berbuat curang, hal ini dapat kita lihat ketika pelaksanaan ujian nasional. Pada saat inilah kejujuran yang sudah di tanamkan sejak dini mulai terkikis.
Pemerintah selalu mendengung-dengungkan tentang adanya kejujuran tapi karena adanya tuntutan nilai harus bagus maka segala cara ditempuh oleh mereka yang memiliki kepentingan dengan nilai UNAS.

Sebetulnya masih banyak diantara peseta unas yang memegang teguh nilai-nilai kejujuran tapi ketika nilai kejujuran itu mereka pertahankan nilai unas mereka akan dikalahkan oleh nilai teman-teman yang tidak jujur. Karena begitu hasil UNAS di umumkan mereka yang tidak jujur sebagian besar akan memperoleh nilai yang bagus sementara yang jujur nilainya (biasanya) standar, kalaupun nilai mereka tinggi mereka tetap di bayang-bayangi oleh nilai mereka yang kurang jujur, dan ini kenyataan yang terjadi di lapangan. Dari kondisi inilah lama-lama tertanam dalam pikiran mereka “mengapa harus mempertahankan kejujuran kalau akhirnya akan menghempaskan mereka pada kekecewaan yang amat dalam”.

Inilah salah satu permasalahan “kecil” yang merusak character building yang sudah secara teoritis telah kita tanamkan pada anak didik kita. Masih banyak persoalan-persoalan yang sepele yang sebetulnya berakibat sangat fatal bagi character building anak. Misalnya dalam keluarga, sejak dini orang tua sudah menanamkan konsep kejujuran diantara mereka, tapi pada kondisi tertentu ketika orang tua kedatangan tamu, di mana si tamu ini bukan orang yang diharapkan dia berpesan pada anaknya :” Nak, nanti kalau ada tamu bilang bapak tidak ada”, Astagfirullah! Apa yang terjadi dengan kondisi psikologis si anak? Kasihan sekali, dia di paksa untuk melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kenyataan dan kebenaran. Kalau ini terjadi terus menerus di semua lini kehidupan anak-anak, maka apa yang kita harapkan dengan character building mereka akan sia-sia. Ini seperti kita mengisi bak mandi tapi lubang bak mandi tersebut tidak di tutup. Berapapun kita mengisi air ya tidak akan terisi bak mandi tersebut, karena airnya akan mengalir keluar terus.
Jadi, jangan heran kalau di kemudian hari ketika mereka sudah dewasa mereka akan menganggap tidak jujur itu bukan dosa, hanya penyimpangan kecil dalam hidup dan itu sesuatu yang biasa.
Kalau kita menghidupkan layar televisi, pasti di semua saluran yang kita klik akan kita saksikan pemberitaan tentang prilaku negative termauk korupsi. Dari hari-kehari beritanya tentang korupsi korupsi dan korupsi. Yang bikin penulis miris para koruptor itu orang-orang yang berpendidikan tinggi dan memiliki pemahaman agama yang dalam. Mengapa ini bisa terjadi? Kalau yang berpendidikan tinggi dan pemahaman agamanya dalam saja seperti itu bagaimana mereka yang pendidikannya rendah dan pemahaman agamanya rendah?

Kondisi sekarang sudah sangat memprihatinkan, karenanya Kita harus bangun dari tidur panjang kita. Memikirkan upaya pencegahan korupsi adalah tugas kita bersama dan harus dilakukan bersama-sama serta bersinergi satu dengan lainnya. Prilaku korupsi terjadi karena rapuhnya karakter seseorang dan ini sangat terkait dengan pendidikan. Pendidikan sebagai pilar dasar dalam pembentukan karakter sampai saat ini masih menjadi pekerjaan rumah yang serius.. Fokus pembelajaran di kelas selama ini masih berorientasi pada penguatan otak. Implikasinya, banyak orang pintar tetapi tidak memiliki integritas kepribadian dan moralitas. Pinter tapi minteri, cerdas tapi culas dan berwawasan luas namun picik hatinya.

Penguatan karakter anak menjadi tugas kita bersama terutama guru agama, karena agama merupakan jalur peningkatan kualitas manusia yang menekankan pada nilai-nilai ketuhanan.
Masalahnya, bagaimana membentuk karaktes siswa? Character building sejatinya sudah include dalam proses pembelajaran, dalam semua materi pelajaran. Pembelajaran character tidak cukup hanya dengan menciptakan mata pelajaran sendiri seperti pelajaran budi pekerti. Pembelajaran yang berorientasi pada character memerlukan teladan dari orang-orang di sekitar siswa, baik itu guru, orang tua, kepala sekolah dan orang-orang dewasa lainnya.

Karakter yang sarat dengan moralitas harus ditanamkan secara baik kepada anak-anak semenjak mereka masih kecil. Kejujuran, sabar, mampu mengendalikan diri, cinta kebaikan, amanah, menepati janji, tawadhu’ dan nilai-nilai kebajikan lainnya harus di tanamkan sejak dini. Character building yng dilakukan sejak dini memberi kemungkinan yang lebih besar untuk tertanam secara kukuh dalam diri seorang anak.

Pendidikan agama sangat menentukan dalam memperkuat character building,karena dalam pendidikan agama di tanamkan nilai-nilai positif atau akhlak mulia. Secara logika seseorang yang memiliki akhlak mulia maka prilaku hidupnya akan bersandar pada nilai-nilai agama,begitu pula sebaliknya. Seseorang yang dalam hidupnya selalu berpegang teguh pada ajaran agama dia akan selalu berhati-hati dalam hidupnya, dia berkeyakinan bahwa prilakunya selalu di awasi oleh Tuhan YME sehingga dia akan selalu berhati-hati dalam bersikap dan bertindak.

Manusia berkarakter adalah manusia yang dalam prilaku hidupnya sarat dengan nilai-nilai kebaikan. Manusia semacam ini bukan berarti tidak pernah melakukan kesalahan-kesalahan, tetapi selalu berusaha memperbaiki segala bentuk kesalahannya dan terus menerus memperbaiki diri dari waktu ke waktu. Kriteria semacam ini memang masih terlalu abstrak dan general. Setiap orang memiliki kriteria dan pandangan sendiri-sendiri, sesuai dengan latar belakang keilmuan dan landasan berpikirnya. Hal ini wajar karena tidak ada kriteria tunggal yang menjadi kesepakatan bersama, tetapi secara substansi sebenarnya berada dalam muara yang sama, yaitu nilai-nilai kebajikan.
Ketika proses pembelajaran penekanannya pada penguatan otak dan moral maka anak akan memiliki keseimbangan antara aspek intelektual, emosional dan spiritual. Perpaduan yang seimbang dari ketiga kecerdasan inilah yang memungkinkan seseorang mampu menjalani kehidupan ini penuh dengan kesiapan. Selalu responsive dan bertanggung jawab dalam menghadapi tantangan hidup yang berat dan kompleks sekalipun. Godaan yang datang dalam era sekarang ini sangat berat. Tanpa memiliki Karakter positif yang kukuh, besar kemungkinan seseorang terseret arus yang menjerumuskan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun