Mohon tunggu...
Ernip
Ernip Mohon Tunggu... Administrasi - Wanita dan Karyawan swasta

Terima kasih sudah berkunjung!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Komik 3 in 1: Melawan Lupa dengan Menulis dan Menyanyi

30 April 2017   13:51 Diperbarui: 30 April 2017   15:05 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membuka cerita masa lalu seperti membuka bungkusan yang sudah lama tersimpan. Sama meski tak serupa, beberapa hal ada yang masih lekat di pikiran, beberapa lain sudah usang, bahkan beberapa lain sudah terlupakan namun selalu unik mengenangnya kembali. Sebab masa lalu mengandung banyak pelajaran.

Malam itu, Christel Mahnke Kepala Bagian Informasi dan Perpustakaan untuk wilayah Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru membuka acara peluncuran buku berjudul Cahaya Mata Sang Pewaris. Buku ini dieditori oleh Putu Oka Sukanta, pemilik pengalaman sama dengan para penulis sebagai penyintas tragedi kemanusiaan 1965.

Bersampul ungu, sebanyak 25 tulisan tentang kisah tahun 1965 dari generasi kedua dan ketiga tersebut bercerita. Kisah yang sudah lama dibungkam dibuka. Tulisan warisan kepada generasi muda kelak menjadi warisan sejarah sebagai pembelajaran untuk masa depan yang lebih baik. Selain itu, juga menyembuhkan diri sendiri.

Setelah pembukaan singkat selesai, kami disuguhkan cuplikan siaran televisi berdurasi enam menit. Jaksa Agung negara bagian Hessen, Dr. Fritz Bauer berbicara mengenai proses pengadilan Eichman (1961). Fritz Bauer melawan rezim nazi diasingkan pada tahun 1961 ikut dalam proses pengadilan. Negara Jerman sampai saat ini menggali fakta dan kebenaran pada bencara moral yang terjadi antara tahun 1933 dan 1945. Berikut pidato akhir dalam video oleh Dr. Fritz Bauer dari Jerman, Jaksa Agung negara bagian Hessen.

Seorang pujangga besar di Jerman pernah menuliskan pesan untuk sesama manusia dan sesama warga di Jerman: “Saya melihat tukang, tetapi bukan manusia. “Saya melihat pemkir, tetapi bukan manusia. “Saya melihat hakim, tetapi bukan manusia. Penguasa dan rakyat tetapi bukan manusia. Bersama sang pujangga para korban masa mengerikan 1933 sampai 1945 pun berseru: janganlah jadi tukang, penguasa maupun rakyat semata, jadilah manusia! Manusia! Manusia!”

Saya tidak bisa membandingkan apakah kejadian di Jerman tersebut sama dengan kejadian tahun 1965 di Indonesia. Saya sendiri bahkan sangat minim informasi mengenai kedua kejadian ini. Selain karena lebih suka pada ilmu alam kisah ‘65 memang kisah yang sangat jarang dibicarakan. Bahkan tidak pernah kali ya... Belajar sejarah di sekolah? Saya murid yang ingatannya singkat mengingat kejadian, tempat, tahun, dan tanggal yang banyak.

Menyanyi dan Menulis untuk rekonsiliasi

Lalu kami diajak menonton sebuah filem pendek berdurasi 28 menit “Rising From The Silence. Melalui filem yang disutradarai oleh Shalahuddin Siregar ini kami bisa menyaksikan aktivitas paduan suara Dialita. Lagu-lagu yang mereka bawakan adalah lagu-lagu yang dilarang selama 50 tahun. Saat ini mereka telah merilis album, tentunya sudah menyesuaikan dengan denyut nadi musik aliran anak muda masa kini. Untaian perasaan dan pengalaman mereka itu pun dapat diwonload secara gratis.

Dalam filem dokumenter tersebut Uchi, bercerita pada tahun 1965 diumur 13 tahun dia berstatus tahanan wajib lapor. Baginya, menjadi anggota Dialita tidak hanya menyampaikan sejarah tetapi menjadi sarana rekonsiliasi dan menyembuhkan diri sendiri. Utati pun demikian, kepekaannya di bidang musik serta pengalamannya dimasa itu memampukan dia mengarang lagu. Lagu Ibu contohnya dia karang ketika di penjara. Saya merasa terharu pada gelora semangat bernyanyi. Ditambah lagi mereka hadir di panggung malam itu berdiri anggun di panggung.

Hadir juga bersama para penulis, cerita kisah mereka pun mengalir melewati menit-menit berjalan. Gita Laras yang menyebut dirinya Gita Lara menuliskan sendiri ceritanya serta bercerita juga malam itu. Harus berpisah jauh dari kedua orangtuanya, Gita Lara dipindahkan ke daerah Jawa Tengah. Sepengetahuannya, ayahnya bekerja sebagai pengrajin di Jakarta. Ternyata selama ini dia salah saat dia kembali ke Jakarta ketika liburan sekolah. Menuruti ajakan ibunya, mereka mengunjungi ayahnya di Penjara Salemba. Masa kecilnya hidup dalam lara dengan rasa takut menghantui akan identitasnya. Ayah Gita Laras lepas tahun 1979, masa tahun pembebasan. Belum tamat sampai disitu, diskriminasi masih berjalan tidak hanya pada mereka tetapi juga kepada banyak generasi lain seperti dirinya.

gita-laras-dokpri-5905886ca5afbd022e2d928e.jpg
gita-laras-dokpri-5905886ca5afbd022e2d928e.jpg
Ibu Nasti yang juga tahanan polisi pada masa itu ikut serta menuliskan ceritanya. Bagaimanapun anak cucunya serta generasi muda harus mengetahui kejadian tersebut. Tanpa takut selalu bercerita kepada anak cucunya meski sebenarnya rentan dengan diskriminasi. Sama halnya dengan pak Wira mencari alasan penyebab dari suatu kejadian masa lalu yang sudah terkubur lama memang agak sulit dan kelihatan buang-buang waktu. Tetapi sejarah akan memberikan kesadaran untuk diri sendiri. Pak Wira menyampaikan sejarah tujuannya untuk pelajaran. Dia sendiri merasakan dampaknya. Belajar dari pengalaman masa lalu, pak Wira berhasil menjadi pembuat filem dokumenter. Bagi mereka, generasi muda harus mengetahui sejarah ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun