Dalam berbagai film, banyak kisah menunjukkan orang dewasa menganggap perkataan-perkataan anaknya hanya sekedar imajinasi semata. Maklumlah, anak-anak kaya akan imajinasi dan mereka masih terlalu kecil memahami segalanya.
Jadi ketika mereka mulai berbicara, mereka hanya sekedar mendengar. Mungkin ada yang lebih parah, mengabaikan dan menunjukkan ketidakpercayaannya.Â
Anak dianggap masih terlalu muda dan seringkali tidak logis pikirannya. Mendengarkan mereka serasa membuang-buang waktu. Begitulah kebanyakan orang dewasa menempakan suara anak-anak.
Barangkali karena mereka terlalu sibuk dengan tuntutan memenuhi kebutuhan si anak. Belum lagi kebutuhan lainnya. Tidak mau repot-repot, mereka diabaikan.Â
Karenanya, tidak sedikit orang dewasa sudah akut meremehkan anak-anak. Terlalu receh mendengarkan masalah-masalah mereka yang tidak seberapa. Terlalu berharga waktu kita mendengarkan mereka barang sesaat.
Perkelahian, bully di sekolah dan kekerasan lainnya baru muncul ke permukaan setelah terjadi berlarut-larut. Layaknya puncak gunung es. Setelah itu seolah-olah tidak sadar saling bertanya, kemana aja selama ini?
Orangtua tidak tau sama sekali. Si anak menghadapi sendiri masalahnya. Masih beruntung jika anak mempunyai kemampuan yang kuat mengatasi masalahnya sendiri.Â
Atau setidaknya punya sahabat yang membela saat dibully. Kalau tidak, anak bisa menjadi minder, putus asa, bahkan menjadi pelaku kekerasan selanjutnya.
Bully-an ini dihadapi oleh Bedders (Dean Chaumoo) dari dua siswa di sekolah mereka bernama Lance (Tom Taylor) dan Kaye (Rhianna Doris). Mereka suka menumbuhkan ketakutan bagi murid-murid lain untuk mendapatkan kekuasaan.
Tidak terima sahabatnya diperlakukan dengan suka-suka, Alex (Louis Ashbourne Serkis) pun membela Bedders sampai terjadi perkelahian yang diketahui oleh pihak sekolah.Â
Apa daya, Alex mendapat panggilan dari pihak sekolah. Dalam kesempatan itu, dia sama sekali tidak selera menjelaskan sebab perkara secara detail kepada Kepala Sekolahnya.