Mohon tunggu...
Enik Rusmiati
Enik Rusmiati Mohon Tunggu... Guru - Guru

Yang membedakan kita hari ini dengan satu tahun yang akan datang adalah buku-buku yang kita baca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tidak Ada Anak yang Nakal Bila Orang Dewasa Menyapanya dengan Kasih Sayang

8 Juli 2019   12:28 Diperbarui: 8 Juli 2019   12:38 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: kumparan.com

Hari ini saya mendapat pesan dari salah satu siswa saya yang sudah alumni. "Bunda ada di rumah, saya boleh datang?"

Hem, ada apa lagi dengan anak ini, batinku, karena ini bukan yang pertama kali, dulu ketika masih menjadi siswa saya di salah satu Madrasah Tsanawiyah ia sering lari dari rumah dan menginap di rumah saya. Masalahnya tetap sama yaitu perselisihan pendapat dengan kedua orang tuanya.

Orang tuanya menginginkan anaknya ini menjadi anak mama dan papa yang manis. Bangun pagi-pagi, membantu orang tuanya, bersekolah, belajar agama dan kegiatan rutin lainnya yang sudah dijadwalkan. Si anak protes diperlakukan seperti itu, berontak, merasa dikekang tidak mempunyai hak untuk menentukan ekspresinya.  Begitulah, perselisihan terus berlanjut sampai akhirnya ia bisa melanjutkan sekolah tingkat lanjutan.

Malam itu, sekitar pukul sepuluh malam ia datang juga ke rumah saya. Saya lihat matanya merah, sepertinya baru nangis, padahal ia laki-laki lo. Pasti ada peristiwa yang luar biasa yang baru saja dialaminya, batinku. Karena tidak mungkin ia sampai menangis dan pergi dari rumah bila hanya debat biasa saja.

Benar juga, setelah ia duduk, saya melihat ada luka dan darah di pipi dan lehernya. Saya terkejut, "Kenapa dengan pipimu itu nak, apa yang terjadi, bertengkar lagikah dengan kedua orangtuamu?" ia menundukkan kepalanya, diam.

Selanjutnya saya mendengar isak tangisnya, saya tidak berani melanjutkan pertannyaan. Saya ajak ia ke dapur, saya ambikan handuk dan menyuruhnya membersihkan diri, lalu makan, dan istirahat di kamar anak saya. 

Selanjutnya tanpa sepengetahuan ia, saya menghubungi orang tuanya bahwa anaknya ada di rumah, pesan saya tidak perlu dihubungi dulu apalagi dijemput, biarkan tenang, saya berjanji akan membuat si anak kembali ke rumah.

Saya biarkan si anak tadi istirahat beberapa saat, setelah itu saya datangi dan mulai menyapanya dengan lembut. "Mau berbagi cerita dengan ibu, tentang apa yang terjadi denganmu hari ini nak?" Ia menatap saya, lalu menceritakan kejadian sore tadi di rumahnya.

Ceritanya, ia baru saja bertengkar dengan kedua orang tuanya. Karena sulit dibangunkan dari tidurnya, akhirnya si ibu bicara kasar dan membanding-bandingkan dengan adik-adiknya yang menurut ibunya jauh lebih taat daripada kakaknya, kakaknya tidak pantas menjadi seorang kakak, karena tidak bisa memberi teladan yang baik bagi adik-adiknya.

Mendengar kalimat ibunya tersebut, emosinya tersulut, ia pun dengan spontan mengatakan bahwa, "Aku memang bukan anakmu, aku lahir dari sebongkah batu," mendengar kalimat tersebut bapaknya tidak terima, langsung melempar tamparan ke muka si anak, dan selanjutnya pertikaian bapak dan anak terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun