Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Cek Anak Lewat Sidik Jari, Efektifkah?

24 April 2017   18:53 Diperbarui: 25 April 2017   06:00 4786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan memang menjadi komoditas yang menggiurkan. Tengok saja soal buku yang selalu berganti setiap tahun. Setiap tahun pula orang tua harus membeli buku untuk anak-anaknya. Belum lagi untuk urusan akademik, setiap orang tua berlomba-lomba agar anaknya berprestasi maksimal. Untuk bisa menghitung cepat, misalnya, anak diikutkan kursus berbagai macam. Selain menguras banyak biaya, juga sudah pasti membuat ‘masa kecil’ anak terampas.

Waktu anak yang seharusnya lebih banyak bermain dan belajar membentuk karakter, tersandera dengan berbagai aktivitas les dan kursus. Berbagai aktivitas itu mau tidak mau menggerogoti sebagian usia kanak-kanaknya. Toh nyatanya di dunia kerja, apakah metode hitung cepat itu digunakan? Untuk sekadar menghitung cepat, tinggal pakai kalkulator, selesai.

Belakangan muncul lagi metode tes karakter dan kepribadian anak dengan analisa sidik jari menggunakan alat tertentu. Alatnya diklaim sangat canggih dan hasil tesnya sangat presisi. Dengan tingkat keakuratan maksimal, hasil tesnya dipastikan bisa menjadi rujukan bagi para orang tua yang anaknya menjalani tes ini.

Sebagai orang awam soal sidik jari, saya akan sangat percaya hasil uji tes mesin sidik jari tersebut. Namun dalam pemahaman saya sebagai hipnoterapis saat ini, apakah mungkin sesuatu yang sudah jelas tidak berubah dari kecil hingga dewasa, bisa dijadikan rujukan yang tepat? Bukankah sidik jari seseorang tidak akan bisa diubah? Bukankah kita tidak bisa pesan sidik jari khusus kepada Tuhan sebelum dilahirkan? Seandainya sebelum lahir sudah bisa pesan sidik jari dengan model terbaik, saya pun mau pesan jauh-jauh hari.  

Namun, inilah komoditas. Para orang tua pun berbondong-bondong mengajak anaknya melakukan tes sidik jari ini. Pertanyaannya setelah hasil tes itu diketahui, anak mau diapakan lagi? Jika kemudian diketahui anaknya bermasalah, bukankah tetap harus membawa ke psikiater, psikolog, atau dokter? Membawa ke hipnoterapis biarlah jadi alternatif terakhir karena masih belum populer, meski hasil kerjanya sangat efektif.  

Pertanyaan selanjutkan, apakah memang data dari mesin analisasi sidik jari itu memang selaras dengan rujukan yang diperlukan dokter, psikiater, atau psikolog? Saya sebagai hipnoterapis, data utama yang sangat diperlukan untuk mengatasi masalah klien adalah data yang ada di pikiran bawah sadar. Karena itu, data analisa sidik jari itu tidak diperlukan. Sebab hipnoterapi punya cara tersendiri mencabut akar masalah dengan tepat.  

Psikolog senior Sarlito Wirawan Sarwono bahkan mengaku secara khusus pernah mencari literatur soal sidik jari ini pada jurnal-jurnal ilmiah keluaran luar negeri. Hasilnya ada 40 ribu lebih tulisan mengandung kata “finger print”. Namun saat dicari judul yang kira-kira terkait sidik jari dalam hubungannya dengan bakat, kepribadian, atau kecerdasan anak, hasilnya: NIHIL!

Dalam artikel yang sudah dimuat media nasional, Sarlito Wirawan Sarwono sempat mempertanyakan, apakah orang tua bisa santai ongkang-ongkang kaki setelah hasil tes sidik jari anaknya adalah anak pemberani, dan cerdas. Lantas anak sama sekali tidak mendapat bimbingan, arahan dan kasih sayang orang tuanya.

Intinya, dari semua uji yang sudah dilakukan, tes sidik jari kurang efektif dan sama sekali tidak akan mengubah anak menjadi lebih baik. Sebab sidik jari sifatnya permanen dari lahir sampai mati. Sementara  jiwa atau kepribadian berubah terus dari bayi sampai tua. Bagaimana sesuatu yang berubah bisa berkorelasi dengan sesuatu yang tidak pernah berubah?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun