Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Gus Dur dan "Pil Kebencian" Akut

27 Mei 2019   08:33 Diperbarui: 27 Mei 2019   09:06 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di usia kemerdekaan yang hampir menginjak 74 tahun bagi Indonesia, rasanya bangsa ini patut merindukan sosok KH Abdurrahman Wahid yang lebih akrab disapa Gus Dur. Almarhum yang merupakan presiden ke-4 negara ini dikenal sebagai tokoh toleransi dan mampu mempersatukan negeri ini yang nilai persatuannya sempat terkoyak.

Saat terjadi kerusuhan 22 Mei 2019 tadi, langsung terbayang, andaikan Gus Dur masih ada, rasa-rasanya keributan seperti itu masih bisa diatasi. Masih lekat di ingatan ketika Gus Dur didemo, almarhum tetap tenang dan santai, seraya mendoakan rakyatnya agar tetap tenang.

Bahkan ketika Gus Dur dijatuhkan dari kekuasaannya, tak ada dendam atau perasaan tidak nyaman. Pendek kata, semua dibuat simpel. "Gitu aja kok repot," begitu kalimat singkat yang seolah melekat pada sosok kiai Nahdlatul Ulama (NU) ini.

Bagi penduduk minoritas di negeri ini, sosok Gus Dur benar-benar menjadi seorang pahlawan yang pasti menempati relung hati paling dalam. Pria asal Jombang yang tutup usia pada 2009 lalu itu, telah memperjuangkan pentingnya nilai toleransi di Indonesia.

Ketika bangsa Indonesia saat ini sedang mabuk politik identitas, Gus Dur lah yang mampu menghapus semuanya. Mengurai semuanya menjadi satu kesatuan yang utuh, karena semua orang yang lahir di bumi Nusantara, tentu berhak hidup dan berkembang dengan baik. Apa pun latar belakang identitas yang dimiliki.

Hingga kini, tak ada lagi sosok yang mampu menandingi keberadaan Gus Dur yang mampu memberikan kasta tertinggu pada kaum minoritas dan termarjinalkan. Demokrasi yang terjadi saat ini sudah sangat rawan dan bisa mengancam persatuan dan kesatuan bangsa

Bagi Gus Dur, kebesaran sebuah bangsa salah satunya jika mampu mengayomi minoritas dan memberikan hal dan kewajiban yang sama. Tak akan ada mayoritas jika tidak ada yang minoritas. Dan keberagaman bisa tumbuh jika mayoritas dan minoritas saling memberikan dukungan satu sama lain.

Ketika ada sebagian ulama yang justru mengumbar kata 'kafir', ketika diberi kesempatan menjadi orang nomor satu di negeri ini, Gus Dur justru menjadi orang pertama yang mengesahkan Imlek sebagai salah satu hari libur nasional. Sebuah keputusan yang tidak pernah terjadi selama masa orde baru.

Bagi yang cinta dengan kedamaian dan kebersamaan, rasa-rasanya tak menolak jika berharap andai saja Gus Dur masih ada. Walau pun, seandainya beliau saat ini masih ada, rasa-rasanya, mereka yang sudah terlanjur menelan pil kebencian, tak akan mudah menerima semua petuah beliau.

Entah kenapa, pil kebencian saat ini mudah didapatkan di mana-mana. Di sekolah, institusi resmi, bahkan di lingkungan religius, pil kebencian itu tersedia gratis. Tinggal ambil, kunyah, bahkan boleh minum dosis tinggi hingga menjadi radikal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun