Mohon tunggu...
Muthiah Alhasany
Muthiah Alhasany Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Moto: Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati. Email: ratu_kalingga@yahoo.co.id IG dan Twitter: @muthiahalhasany fanpage: Muthiah Alhasany"s Journal

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Berada di Titik Nol Kota Cirebon

22 Juni 2017   15:40 Diperbarui: 23 Juni 2017   03:40 973
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inilah titik nol kota Cirebon (dok.koteka/kompasiana)

Keberadaan kota Cirebon, tak terlepas dari jejak berkembangnya agama Islam di Nusantara. Karena di kota inilah Salah satu dari Wali Songo, yaitu Sunan Gunung Jati melakukan syiar Islam hingga ke seluruh wilayah Jawa Barat. Kesultanan Cirebon berdiri pada akhir abad 14 dan memasuki abad 15. Saat itu kerajaan Padjajaran yang beragama Hindu mulai runtuh.

Pelabuhan Cirebon pada masa jayanya adalah pelabuhan yang sangat besar dan terkenal. Kapal-kapal asing (dari negara lain) singgah membawa saudagar-saudagar dengan aneka barang dagangan. Di sini terjadi interaksi berbagai bangsa dan juga menjadi pintu masukanya agama dan budaya dari luar yang kemudian menyatu dengan adat istiadat penduduk asli.

Cirebon memang strategis. terletak di dekat perbatasan dua provinsi, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Akibat percampuran tersebut, maka bahasa yang digunakan bukan bahasa Sunda dan juga bukan bahasa Jawa. Dengan logat tersendiri, bahasa ini mudah dicerna dan dipelajari.  Untuk mencapai Cirebon dapat menggunakan berbagai kendaraan. Namun pada umumnya orang-orang ke Cirebon dengan memanfaatkan kereta api atau mobil.

Asal kata nama Cirebon adalah berasal dari kata Rebon, yang artinya udang. Mayoritas penduduk pada waktu itu  berprofesi sebagai nelayan. Hasil laut yang paling banyak didapat adalah udang. Karena itu sebagai ciri khas, maka dinamakan Cirebon sebagai kota udang. Kita bisa mendapati udang-udang segar yang besarbesar di sini. Kalau dibakar sangat sedap dan nikmat.

Saya sendiri, sangat mengagumi kiprah Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam, khususnya Sunan Gunung Jati. Mungkin karena saya punya keterkaitan sejarah dengannya.  Karena itu adalah suatu kegembiraan tersendiri ketika Koteka memasukkan saya dalam tim Koteka Trip, berangkat ke Cirebon bersama Danamon. Bersama 9 teman kompasianers lainnya, kami menjadi smart traveler satu hari penuh. Berangkat pagi sebelum jam enam dari depan Bentara Budaya dan kembali hampir tengah malam.

Keraton Kasepuhan Cirebon

Mini bus Elf yang kami tumpangi melaju kencang dari Jakarta menuju Cirebon. Tol Cipali masih lengang, tahu-tahu sudah tiba di kota Cirebon hanya dalam jarak waktu tempuh tiga setengah jam saja. Setelah mampir sebentar di kantor cabang Danamon, kami lalu ke Masjid Raya At-Taqwa dan menyusun rencana di sana.

Masjid Raya At-Takwa (dok.pri)
Masjid Raya At-Takwa (dok.pri)
Rombongan dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing terdiri dari lima orang. Saya masuk tim pertama yang diberi nama 'pegang'.  Tim saya adalah Rushan Novaly, Tamita Wibisono, Erni Pakpahan dan Denny Oey. Sedangkan tim kedua diberi nama 'kendali'. Setelah itu kami diberi bekal seratus ribu rupiah per orang untuk biaya tiket masuk dan ongkos ke tempat-tempat wisata yang menjadi tujuan. Tempat tujuan utama adalah Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman dan Gua Sunyaragi.

Namun sebelum  memulai kunjungan ke tempat-tempat tersebut, kami singgah dulu di Masjid Agung Sang Tjipta Rasa untuk menunaikan shalat Lohor. Masjid ini usianya berabad-abad, karena seiring dengan perkembangan kesultanan Cirebon. Di sini pusat dakwah dan ibadah sejak abad 15 oleh Sunan Gunung Jati.. Karena itu bangunannya masih kuno, dengan arsitektur yang didominasi kayu-kayu jati. Sedangkan dindingnya disusun dari batu bata merah. Saya merasa sangat tenteram di dalam masjid ini, terasa sejuk dan nyaman.  Keistimewaan lainnya, jika harihari besar, adzan dikumandangkan oleh dua orang, atau disebut adzan kembar. Suaranya merdu berkumandang.

suasana Masjid Agung Sang Tjipta Rasa (dok.koteka/kompasiana)
suasana Masjid Agung Sang Tjipta Rasa (dok.koteka/kompasiana)
Selesai shalat, kami berjalan kaki ke keraton Kasepuhan Cirebon yang jaraknya hanya puluhan meter saja dari Masjid Agung.  Dinding pertama dihiasi dengan piring-piring/keramik dari kerajaan Tiongkok. Perlu diketahui, hubungan Kesultanan Cirebon dengan Kerajaan Tiongkok sangat erat karena istri dan Sunan Gunung Jati adalah putri dari kerajaan tersebut. Menurut kisah yang saya dengar, Putri Tiongkok dahulu datang dengan perbendaharaan keramik Cina dalam satu kapal besar. Piring-piring keramik ini juga kita dapati menghiasi dinding makam Sunan Gunung Jati.

contoh piring keramik yang menempel di dinding (dok.pri)
contoh piring keramik yang menempel di dinding (dok.pri)
Kami lalu masuk melalui pintu gerbang dengan arsitektur seperti candi yang diberi nama Siti Inggil yang berarti tanah yang ditinggikan. Di dalamnya kami menjumpai beberapa pendopo besar dan kecil. Pendopo pertama berbentuk memanjang dan menghadap ke jalan raya dan alun-alun.  Ada lima tiang yang menyangga sebagai perlambang dari rukun Islam.  Dari tempat ini Sultan menyaksikan atraksi dan upacara kerajaan. Pada zaman dahulu, alun-alun itu sangat luas hingga ke bibir pantai. Jadi, Sultan tidak hanya bisa melihat kesiapan prajurit, tetapi juga keindahan pantai di pesisir Cirebon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun