Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Membaca Politik Simbolik Busana Adat ala Presiden Jokowi

19 Agustus 2017   09:53 Diperbarui: 21 Agustus 2017   18:04 15988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden dan Wapres (Foto: Pikiran Rakyat)

Di bulan Agustus setiap tahun telinga kita sangat familiar mendengar  syair lagu Hari Merdeka, karya H. Mutahar. Syaban hari, setiap tahun kita mendengar lagu Hari Merdeka senantiasa mengumandang di seantero negeri setiap menjelang hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia (RI), tanggal 17 Agustus.  

Begitu pula dengan suasana menjelang dan saat memperingati HUT ke-72 tahun kemerdekaan RI tahun ini. Lagu karya H. Mutahar itu menjadi lagu wajib yang diperdengarkan pada setiap tempat dan momen. Diperdengarkan dan diteriakkan melalui media resmi maupun perorangan. Dan tak terasa perasaan publik pun larut dalam kemenangan dan semangat membara untuk tetap mempertahankan kemerdekaan negeri yang diperjuangkan dengan mengorbankan harta benda, dan jiwa raga. Semangat perjuangan dalam merebut, memproklamirkan, dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia Raya ini.

***

Tahun ini, sudah 72 tahun Indonesia Raya berkumandang di jagad dunia. Menegaskan identitas diri sebagai sebuah entitas politik dan sosial dengan memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Pada tanggal tersebut, Soekarno-Hatta tampil mengatasnamakan bangsa Indonesia, menegaskan kepada dunia internasional sebagai negeri bebas merdeka dan berdaulat dari setiap jenis dan bentuk penjajahan. Karena sejatinya penjajahan itu tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Semarak memperingati kemerdekaan sebagai negeri bebas merdeka dan berdaulat yang ke-72 tahun menunjukkan nuansa yang berbeda tahun ini. Jika pada era-era sebelumnya, setiap 17 Agustus hanya diperingati, terkesan sebagai sebuah rutinitas yang biasa-biasa saja, tapi tidak halnya dengan tahun ini. Terasa ada "sesuatu'" yang berbeda dan kontras. Adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres Jusuf Kalla (JK) yang mula awal memperkenalkan perbedaan itu.

Sehari sebelum tanggal 17 Agustus, yakni 16 Agustus Presiden Jokowi memberikan pidato kenegaraan untuk mengantarkan nota Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) di depan Ketua dan anggota DPR/MPR RI. Terlihat hal yang berbeda ketika Presiden dan Wapres tampil dengan balutan busana khas daerah. Seakan kedua beliau ingin menegaskan bahwa negeri ini pada dasarnya terlahir dan terbentuk dari keberagaman, khususnya keberagaman budaya.

Hal yang sama Presiden dan Wapres lakukan pada saat upacara peringatan kemerdekaan di istana negara bersama tamu undangan lainnya. Bukan tanpa alasan, Presiden dan Wapres harus tampil beda ketika momentum di bulan kemerdekaan ini. Jokowi dan JK seakan ingin mengingatkan kembali kepada seluruh komponen bangsa ini bahwa negeri ini terbentuk dan terdiri dari keberagaman. Pluralitas merupakan fondasi dasar yang menyemai kebersatuan dan kesatuan bangsa.

***

Seperti diketahui bahwa pada beberapa waktu terakhir, negeri ini nyaris menjadi centang perenang karena isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang sangat rentan mengoyak kerukunan. Terutama sejak proses pemilihan gubernur (Pilgub) DKI 2017.

Publik pasti masih ingat dengan parade demo berjilid-jilid dengan menggunakan simbol 'angka-angka cantik' di kalender. Hanya karena ingin melengserkan seseorang yang bukan berasal dari  kelompok mayoritas, tapi (meminjam istilah Walikota Bandung, Kang Emil ketika menyentil Deny Siregar) sebagai 'kelompok sebelah', para petualang politik dan kekuasaan bergerilya mencoba memanipulasi sentimen keagamaan untuk meraih ambisi politiknya. 

Sayangnya hanya untuk meraih ambisi politik merengkuh kekuasaan, nyaris mengorbankan persatuan dan kesatuan bangsa. Persatuan dan kesatuan bangsa yang telah diperjuangkan oleh para pejuang bangsa dengan mengorbankan segalanya nyaris porak poranda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun