Mohon tunggu...
Denny Boos
Denny Boos Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Perempuan asal Tobasa. Menyukai hal-hal sederhana. Senang jalan-jalan, photography, sepedaan, trekking, koleksi kartu pos UNESCO. Yoga Iyengar. Teknik Sipil dan Arsitektur. Senang berdiskusi tentang bangunan tahan gempa. Sekarang ini sedang ikut proyek Terowongan. Tinggal di Berlin.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita Hujan [2]

29 November 2012   14:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:28 2070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_212036" align="aligncenter" width="500" caption="Sumber: http://askmekierra.blogspot.de/"][/caption]

Tatapanku terhenti diantara pemilik kaki-kaki bertelanjang yang ada di pangkalan ojek, sementara kami masih tertahan oleh macet karena air yang menggenang beberapa senti di permukaan jalan.

Aku jadi ingat Atun, tetangga kami dulu yang tinggal di perkampungan dekat kompleks. Suatu siang yang panas dan berdebu, kami berkenalan tanpa disengaja. Ketika itu, mobil jemputan sekolah tiba-tiba ban-nya pecah, sementara jarak kompleks kami sudah tidak lagi jauh. Lalu aku memilih jalan kaki untuk pulang. Dalam perjalanan, aku bertemu Atun sedang membawa jualannya dalam tampi bulat besar yang terlihat hampir membenamkan seluruh kepalanya.

Seragamnya terlihat kebesaran dan sudah tidak baru. Rambutnya tergerai kusut. Kulitnya legam karena sengat matahari. Aku sempat ragu menghampirinya. Namun keinginanku untuk jajan pisang goreng kesukaanku juga semakin besar. „Jangan sering-sering jajan sembarangan, tidak baik untuk kesehatan.“ Sebaris kalimat itu menggelinding kian kemari dalam ingatanku. Mama memang selalu mengulangnya. „Ugh! Mama.“ Pikirku sambil membayangkan wajah Mama yang selalu khawatir.

Terik matahari siang, kelelahan menyertai. Ketika aku semakin membulatkan niat untuk jajan, semakin sering pula kata-kata Mama melintas di pikiranku. Sambil menepi dan duduk di depan sebuah pertokoan, aku mencoba menebak-nebak apakah nantinya mama akan marah atau tidak. Walau yang kutahu Mama tidak pernah marah, namun, aku juga ragu apakah dengan jajan pisang goreng akan sama.

***

„Beli!“ setengah berteriak, aku memanggil Atun. Akhirnya, aku ditahlukkan keinginan. Rasa penasaran, terlebih lagi karena lapar, telah membuatku memutuskan untuk jajan. Atun kini ada di hadapanku.

„Enak! Tidak kalah seperti buatan Mama dan Mbak Ami.“ ucapku membalas pandangan Atun yang masih saja berdiri mematung di depanku, seolah menunggu dikomentari sesuatu.  Atun tersenyum senang. Kulihat rasa bangga menjulang tinggi di balik kedua pelupuk matanya yang membuka lebar. Bangga dengan pengakuanku. Bangga dengan Ibunya.

„Ibu yang membuatnya,“ jawab Atun singkat, masih juga menatapku sambil tersenyum. „Kalau jualan Ibu tidak habis dari pasar, Atun membantu Ibu menjajakannya sepulang sekolah.“ Katanya menambahkan lagi.

Aku menikmati setiap gigitan pisang goreng yang masuk ke mulutku, walau terselip rasa bersalah dalam hati karena aku belum meminta ijin sama Mama. Namun, nyatanya kedua pisang goreng yang kubeli berhasil membuatku menyisih dari peringatan Mama, setidaknya sejenak.

„Papanya Atun ikut bantu jualan juga?“ tanyaku.

Atun membisu. Bias merah tampak menyembul pekat di kedua pipinya. Entah karena marah atau terik siang yang kian membakar. Beberapa saat aku menunggu tapi tidak juga kunjung kudengar ia menjawab, kuarahkan tatapanku padanya mengisyarakatkan kalau aku menanti jawaban. Kulihat Atun seolah memaksa berpikir, namun tiba-tiba menjawab tanpa beban, „Ayah Atun mati disambar petir.“

„Ha? Petir?“  Hampir saja kedua bola mataku meloncat ke luar. Membayangkan suara petir yang keras dan kilat yang menyambar saja sudah membuatku ketakutan, lalu petir yang bagaimana lagi yang bisa buat orang mati? Masih ada yang lebih dari yang kutakutkan itu?

Aku hanya bisa melongo.

***

Siang itu, saat Mama telepon ke rumah untuk mengingatkan pergi kursus piano dan menanyakan tugas sekolah, aku sempat memberitahu Mama tentang jajan pisang goreng buatan Ibunya Atun yang enak. Mama sempat berpikir aku hanya makan satu potong namun setelah kuberitahu yang sebenarnya, mama hanya berpesan seperti biasa.

Aku kembali mendengar kalimat „jangan sering-sering.“ Mama memang paling suka menggunakan kalimat itu. Itu lah Mama. Walau terdengar tidak menyenangkan di telinga, namun yang aku paham, kalau sampai Mama bilang seperti itu berarti kami mesti tanggap. Kata-kata itu serupa lampu merah dari Mama karena nyatanya Mama tidak pernah marah kepada kami. Bahkan sampai kami kemudian dewasa, hal ini menjadi sesuatu yang kami coba teladani dari Mama dan Papa, belajar menahan amarah.

„Amarah itu hanya merusak, Nak! Merusak dirimu dan juga orang yang menjadi tempat penumpahan amarahmu. Dan satu hal lagi, menyembuhkan luka karena sakit hati itu bukan persoalan mudah.“ Ucap Mama suatu kali di meja makan, saat Ko Tian memberitahu kalau hari itu ia berantam dengan teman sekolahnya.

„Kalau kamu sedang marah, cepat-cepatlah menjauh dari teman yang membuatmu marah, sampai kemudian kemarahanmu mereda dan bahkan hilang. Percayalah, setelah itu, akan ada rasa senang dan tenang dalam hatimu, karena pada akhirnya kamu menang atas amarahmu. Kamu berhasil tidak menyakiti hati temanmu.“ Papa-pun menambahkan.

“Marah bisa tumpah?” itu yang kupikirkan di saat itu sampai kemudian aku menjadi paham.

***

Berkenalan dengan Atun membuatku mengetahui bahwa kompleks kami dikelilingi perkampungan. „Kalau Amanda sipit sendiri, tidak apa-apa kan?“ Tanya Atun dengan jujur dan sempat membuatku bergidik, ketika Atun ingin mengajakku ke tempat di mana ia biasa bermain dengan anak-anak lainnya. Atun lalu memperkenalkan satu per satu dari mereka, yang setelah beberapa minggu barulah kukenal lebih baik lagi. Ada Marwan yang jago permainan apa saja, Suta yang hobi melucu, Hasyim yang pendiam tapi paling cepat menyelesaikan bacaan komik atau majalah, Sundari yang suka menari, Siska yang lompatannya paling tinggi saat main karet dan Sulistio yang deman menggambar.

Awalnya aku merasa asing diantara mereka, namun lama-lama perasaan itu menguap karena nyatanya mereka tidak mempermasalahkan perbedaan yang kami miliki. Selama kami tinggal di sana, hari-hariku menjadi lebih menyenangkan. Ko Tian juga akhirnya ikut bermain dengan mereka. „Jangan sering-sering bermain ke perkampungan,“ begitu Mama pernah mengingatkan. Tapi ketika aku tanya sama Papa, katanya boleh saja asal tidak mengganggu waktu belajar, juga kursus-kursus yang sedang kami ikuti. Dan yang terpenting, ditemani oleh Mbak Ami. Sejak saat itu, hampir setiap ada waktu luang, kami memilih bermain ke perkampungan sebelah.

Papa juga memperbolehkan membawa buku-buku komik dan majalah kesayangan kami saat bermain. Bagian ini yang paling disukai oleh teman-teman, Ko Tian dan aku. Setiap ada komik edisi terbaru atau majalah di awal bulan, kita berlomba menyelesaikan membaca dan Hasyim-lah yang jadi juara. Begitu juga Sulistio, gambar-gambar komik atau majalah selalu ia tunggu.

Setelah komik atau majalah sudah selesai kami baca, biasanya, kami akan saling menyambar untuk menceritakan kembali. Entah kenapa, walau sudah sama-sama membaca, tetap saja menarik untuk diceritakan ulang secara bersama-sama.

Ya, aku menemukan kesenangan baru bersama mereka. Kadang, kami menonton bola di lapangan yang tidak jauh dari rumah Marwan atau mengulur layangan di sana. Aku juga pernah ikut ke kebun Atun di dekat jembatan layang. Di sana ada tanah kosong, di tempat itulah mereka menanami singkong, jagung dan sedikit sayuran. Walau tidak lama dari waktu kami bermain ke kebun itu, tanahnya minta dikosongkan oleh orang. Kata Atun, mereka adalah pemilik tanah yang sah.

***

Bermain dengan mereka membuatku menjadi lebih paham tentang kata-kata Papa perihal hujan. Bagaimana tidak? Saat tetesan air hujan di balik kaca jendela kamar sering membuat rasaku beringsut pergi meninggalkan kursi tempatku duduk; saat embun yang ditinggalkan hujan di balik kaca mobil membuat pikiranku mengendap-endap ingin berlari ke luar; saat hujan menjadi sesuatu yang dilarang oleh Mama, justru aku menemukan hujan itu membawa berkat buat Atun dan teman-temanku dari perkampungan sebelah.

Mereka tidak takut hujan. Mereka tidak menjadi diam di rumah karena hujan.

Beberapa kali saat hujan turun dengan deras dan mobil Papa melewati pangkalan angkot dan ojek. Aku melihat teman-temanku sudah berdiri di sana. Dengan sandal jepit atau bahkan kaki telanjang; baju yang basah kuyup; kadang dengan memegangi dua payung, atau, hanya satu saja, mereka berlarian menyongsong angkutan yang berhenti. Payung itulah yang akan membawa berkat buat mereka, bersamaan dengan hujan deras yang tercurah dari langit.

Melihat teman-temanku di pangkalan, membuat hatiku semakin yakin kalau hujan tidak membawa penyakit. Dan sesuatu hal yang kumengerti kemudian, bahwa hujan juga membantu mereka untuk bisa duduk di bangku sekolah. Setidaknya, ada cerita hujan dibalik kesuksesan kuliah Atun dari IPB, Marwan dari UNJ, Hasyim dari PNJ atau, Sulistio dan Sundari dari IKJ. Ya, mereka juga setuju dengan Papa bahwa „Hujan itu adalah berkat. Tidak baik hujan disalah-salahkan.“

***

yang lagi ngayal, di kursi mahal (kursi perpus maksudnya).... :)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun