Mohon tunggu...
Emile Rachman
Emile Rachman Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pak Jokowi, Hentikan "Orang-orangmu" Memprovokasi JK

20 Mei 2017   19:44 Diperbarui: 20 Mei 2017   19:51 2271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: Tempo.co

Baru-baru ini, Wapres Jusuf Kalla (selanjutnya JK) dihantam dengan berbagai isu dan fitnah yang begitu massif dan jahat. Mulai dari disangkut-pautkan dengan isu makar, aktor intelektual di balik Aksi Bela Islam, hingga dianggap sebagai sosok yang intoleran, rasis, dan radikal. Tulisan ini tidak untuk menjelaskan tentang realitas sesungguhnya, bahwa JK dari dulu adalah sosok penengah (moderat dalam konteks Islam).

Dalam banyak kejadian di masa lalu, kita bisa melihat peran JK ketika ikut menyelesaikan konflik dan menciptakan perdamaian di Ambon dan Poso, termasuk juga rekonsiliasi di Aceh. JK juga disebut sebagai sosok rasis yang ikut membakar gereja beberapa tahun silam, padahal semua lupa, bahwa JK menggunakan uang pribadinya untuk menolong teman-temannya yang Cina, bahkan menyediakan rumahnya untuk dijadikan tempat perlindungan (baca lagi curhatan anaknya di Path). Bahkan, baru beberapa hari yang lalu, JK berbicara tentang Islam Moderat di Oxford.

Maka, berbagai fitnah yang menghantam JK sejatinya dapat kita pahami adalah kelakukan orang-orang yang ahistoris karena di kepalanya hanya ada satu kebenaran, yaitu kebenaran yang mereka ciptakan. Fitnah dan provokasi yang menimpa JK sebenarnya adalah labelling menyesatkan yang diciptakan oleh orang-orang yang ingin mengadu domba, yang merasa paling NKRI, paling toleran, dan paling moderat, yaitu orang-orang yang meng-klaim diri sebagai penghuni bumi datar dan sumbu panjang; para pendukung Ahok.

Mereka, dalam beberapa bulan terakhir memang suka membuat dikotomisasi istilah yang serampangan dan menyesatkan (untuk menghindari penggunaan kata goblok dan tolol). Orang-orang yang berbeda dengan mereka, dianggap sebagai kelompok radikal, anti kebhinnekaan, dan anti toleransi. Padahal klaim mereka yang seperti itu, menunjukkan perilaku intoleran mereka pada saat yang bersamaan, karena istilah-istilah itu kemudian disematkan secara tidak beraturan dan kacau kepada siapa pun yang berbeda, menafikan realitas sebenarnya. Seakan-akan Indonesia adalah Ahok, dan ini fatal luar biasa. Penghinaan terhadap nalar dan kontruk berpikir yang sehat.

Bermula dari kekalahan di Pilkada dengan begitu menyakitkan karena selisih yang begitu besar, lalu vonis 2 tahun hakim terhadap kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok sehingga membuatnya mendekam di penjara, seperti menjadi titik tolak kegilaan para pendukung Ahok. Proses dramatisasi yang begitu panjang dan tak kunjung selesai. Mulai dari karangan bunga, nyala lilin, emak-emak menangis, parade balon, dan doa bersama lintas agama yang rencananya akan dilaksanakan di kawasan Mbah Priok. Tentu, sebagai sebuah pembelaan dan solidaritas, sah-sah saja dilakukan. Tapi menjadi tidak biasa ketika klaim atas rasionalitas yang selalu mereka banggakan, menjadi alay dan lebay atas putusan hakim di pengadilan. Mereka yang kerap berteriak, bahwa negara ini adalah negara hukum, secara mendadak menistakan hakim, hukum, dan pengadilan.

Pada saat yang bersamaan, mereka menyerang secara sadis pihak-pihak dan kelompok yang diindikasikan berbeda dengan mereka. Perilaku ini konsisten mereka lakukan untuk membunuh karakter seseorang, terutama di media sosial. Pasukan-pasukan mereka bergentayangan seperti “begal” di lalu lintas medsos yang siap menghajar siapapun yang berbeda. Dulu, kita masih ingat bagaimana tokoh sekelas SBY, bisa dihina-dinakan dan karakternya dibantai habis oleh para Ahoker. Selesai SBY, kini JK yang menjadi sasaran.

JK intoleran, radikal, dan rasis. JK tidak netral karena mendukung Anies Baswedan, berada di balik Aksi Bela Islam, dan berada di balik putusan yang membuat Ahok mendekam di penjara. Tidak hanya di dunia medsos, di dunia nyata pun serangan melalui nada nyinyir tak terhindarkan. Orang-orang sok idealis (dan tidur saat rapat di DPR) seperti Adian Napitulu yang mengatakan, bahwa JK ada duri dalam pemerintahan Jokowi. Termasuk koar-koar Silfester Matutina yang secara serampangan menuduh JK sebagai biang dari semua permasalahan bangsa ini. Bahkan dari saking ngebetnya mereka untuk menegasikan JK, ada pihak-pihak yang tidak suka dengan kedatangan JK di Oxford untuk berbicara tentang Islam Moderat. Dikabarkan akan ada demo besar-besaran untuk JK. Tapi nyatanya, hanya Mariella Djorghi, pendukung Ahok yang berkoar-koar sendiri.

Padahal kalau dipikir-pikir secara akal sehat, mungkinkan JK ada dibalik itu? Apa iya JK sehebat itu, yang bisa mengontrol semuanya? Mengalahkan Jokowi yang punya kewenangan lebih, bahkan mengetahui segala informasi dari alat negara yang dimiliki? JK tidak netral karena mendukung Anies, dan percayalah bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia juga tahu bahwa Jokowi berpihak pada Ahok. Tidak usah naif dan munafik untuk mengidealisasikan alasan-alasan itu. Banyak yang tahu, Jokowi mendukung Ahok habis-habisan. Karena kalah, Jokowi cuci tangan. Tapi setidaknya, di banyak pikiran dan hati rakyat Indonesia, bahwa Jokowi mendukung Ahok tak bisa dihapuskan.

Karena Ahok, semuanya menjadi salah. Mereka menjawab, “ini bukan soal Ahok, ini persoalan bangsa. Jangan sampai bangsa ini dikuasai kelompok radikal, jangan sampai ini menjadi preseden buruk untuk negeri ini. NKRI harga mati”. Alah, alasan sok idealis begitu, tikus kejebur got juga tahu arahnya kemana. Artinya apa, bahwa kalau ini dibiarkan terus-menerus, maka orang-orang yang awalnya biasa saja terhadap Ahok, akan eneg juga pada akhirnya. Banyak orang mulai berpikir untuk berpikir ulang, bahwa justeru merekalah yang sebenarnya pemecah belah bangsa dengan menyebarkan isu-isu dan fitnah yang mengadu domba. Kemasan idealis dengan alasan teoritis, tapi isinya palsu dan najis.

Efeknya apa? Tentu akan fatal bagi Jokowi, terutama terkait 2019 mendatang karena tentu akan berpengaruh terhadap elektabilitasnya. Kenapa? Karena publik membaca, kedekatan Ahok dan Jokowi tak bisa dilepaskan begitu saja. Banyak Ahokers adalah pendukung setia Jokowi, dan mungkin saja adalah bagian dari tim buzzer dan pengotrol opini terhadap Jokowi. Banyak yang kini tidak menyukai Jokowi karena pembacaan terhadapnya tak bisa dilepaskan dari pembelaan atas Ahok sebagai penista agama.

Pandangan masyarakat yang sudah demikian itu, diperparah dengan terus menerus secara konsisten melakukan fitnah, menyebarkan isu, dan memprovokasi JK dengan sedemikian hinanya. Padahal Jokowi tidak boleh lupa, bahwa dalam sejarah keterpilihannya ada peranan JK yang tak bisa dilupakan. JK sebagai tokoh dari Timur jelas mempunyai massa dan kepercayaan. JK dekat dengan kelompok Islam, terutama NU, MUI dan Muhammadiyah yang sering diundang Jokowi ke Istana. JK adalah tokoh politik senior yang kenyang pengalaman dan mempunyai jejaring yang mengakar kuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun