Mohon tunggu...
Ella Zulaeha
Ella Zulaeha Mohon Tunggu... Self Employed -

Jadikan sabar dan sholat senagai penolongmu

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dilema BPHTB Bagi Ahli Waris

9 Mei 2011   09:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:55 14954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_106957" align="alignleft" width="256" caption="Koleksi: Google"][/caption]

Saya bekerja di sebuah kantor Notaris dan PPAT di Jakarta, memiliki klien yang begitu banyak dari berbagai kalangan masyarakat. Kantor saya sering menerima pekerjaan dari klien saya, antara lain mereka yang minta diuruskan untuk proses pengalihan hak atas Sertipikat tanah yang mereka miliki yang masih atas nama pewaris untuk diubah menjadi atas nama ahli waris. Namun pada saat saya memberitahukan bahwa setiap proses balik nama Sertipikat tanah tersebut, terdapat pajak yang dibebankan kepada ahli waris yang menerima hak atas tanah tersebut, yaitu pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ("BPHTB"), karena mereka awam mengenai urusan pajak ini dan reaksi terkejut mereka langsung nampak. Mereka beranggapan bahwa mereka hanya menerima hak atas tanah, dan bukan bermaksud untuk menjual tanah milik Pewaris. Namun berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 111 Tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Karena Waris atau Hibah Wasiat, saya tetap berkewajiban untuk menjelaskan dan menyampaikan kepada mereka perihal pengenaan pajak BPHTB tersebut kepada ahli waris.

Setelah klien saya mengetahui adanya pengenaan pajak BPHTB Karena Waris tersebut, terkadang mereka ada yang urung untuk melanjutkan proses balik nama Sertipikat tersebut. Bisa dimaklumi alasan mereka, sebagian besar alasan mereka adalah terbentur masalah dana yang cukup memberatkan bagi mereka untuk bisa membayar pajak BPHTB tersebut. Terutama bagi klien saya yang menjadi ahli waris, hanya seorang ibu rumah tangga dengan anak-anaknya. Di mana mereka ingin agar Sertipikat atas nama almarhum suaminya dapat mereka proses balik namanya menjadi atas nama mereka sebagai ahli waris. Mereka kesulitan untuk mendapatkan biaya. darimana mereka harus membayar pajak BPHTB yang cukup memberatkan bagi mereka bila sang isteri hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga.

[caption id="attachment_106958" align="alignright" width="263" caption="Koleksi: Google"][/caption]

Adapun dasar penghitungan pajak BPHTB bagi ahli waris berdasarkan Peraturan Pemerintah No.111 Tahun 2000 adalah sebagai berikut: Nilai Perolehan Objek Pajak dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (sesuai Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat) dikalikan 5%, kemudian dikalikan lagi 50%.

Untuk bisa menggambarkan penghitungan pajak tersebut, saya ambil suatu contoh sebagai berikut:

Seorang isteri/anak yang memperoleh warisan dari suami/ayahnya atas sebidang tanah dan bangunan diatasnya dengan nilai pasar sebesar Rp.500.000.000,-. Terhadap tanah dan bangunan tersebut telah diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) pada tahun yang bersangkutan mendaftar ke Kantor Pertanahan setempat dengan Nilai Jual Objek Pajak sebesar Rp.900.000.000,. Apabila di Kabupaten/kota letak tanah dan bangunan tersebut, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat menetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dalam hal waris sebesar Rp.300.000.000,-, maka besarnya BPHTB atas tanah dan bangunan tersebut adalah: -Nilai Perolehan Objek Pajak (sesuai NJOP) : Rp. 900.000.000,- -Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak : Rp.300.000.000,- -Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak : Rp.600.000.000,- -BPHTB yang seharusnya terhutang = 5% x Rp.600.000.000,- = Rp. 30.000.000,- -BPHTB terhutang = 50% x Rp.30.000.000,-= Rp.15.000.000,- Maka Pajak BPHTB yang dibebankan kepada ahli waris tersebut adalah sebesar Rp.15.000.000,-.

Adalah angka yang cukup memberatkan bagi mereka yang tidak memiliki penghasilan yang memadai. Melihat fenomena ini, apakah BPHTB bagi ahli waris layak dibebankan jika pada kenyataannya banyak ahli waris yang merasa tidak sanggup untuk menanggung pajak yang besarnya menurut mereka cukup memberatkan. Karena pada akhirnya mereka kemudian memutuskan untuk tidak melanjutkan mengurus peralihan hak atas sertipikat tanah tersebut. Dan tak jarang mereka justru menjual tanah dan bangunan tersebut yang merupakan warisan tersebut dengan alasan demi menyambung hidup mereka yang ditinggalkan almarhum suaminya.

Dan kejadian seperti ini bukan sekali atau dua kali saja, tapi seringkali saya temui,  sejumlah ahli waris kerapkali mengeluhkan betapa beban pajak BPHTB ini sungguh memberatkan mereka. Alangkah lebih bijaknya apabila para Eksekutif di negeri ini kembali mempertimbangkan dan memperhatikan keluhan masyarakat yang merasa bahwa pajak BPHTB untuk tanah waris sungguh memberatkan para ahli warisnya. Melihat kenyataan tersebut, layakkah pajak BPHTB ini dibebankan kepada mereka yang merupakan ahli waris satu darah? Bila pajak ini tetap diberlakukan, imbauan pemerintah akan pensertifikatan tanah-tanah waris akan menjadi suatu dilema di kemudian hari, terutama bagi objek pajak yang nilainya di atas Rp. 300 juta. Karena bila tanah waris yang nilainya berada di atas Rp 300 juta, bisa dipastikan dikenakan pajak BPHTB. Terlebih lagi, pajak perolehan atas waris ini dinilai berdasarkan harga pasar.

Semoga tulisan ini bisa membuka mata hati para wakil rakyat kita untuk dapat memberikan solusi yang terbaik bagi masyarakat kita, terutama bagi mereka kalangan menengah ke bawah yang merasa terbebani dengan besarnya pajak BPHTB tersebut.

Salam prihatin.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun