Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

Dongeng | Helai Benang Terakhir

1 Juni 2017   07:22 Diperbarui: 1 Juni 2017   07:48 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sungguh, aku patut berterima kasih kepadanya. Kepada perempuan itu. Ia sudah berlelah-lelah menolongku, sore itu, saat aku terpisah dari rombongan dan terjatuh tepat di depan pondoknya.

“Oh, sayapmu terluka!” ia berseru cemas. Aku merasa tersanjung, sebab seumur-umur baru kali ini aku mendapat perhatian sedemikian rupa dari seorang perempuan. "Mari kubantu mengobati lukamu.”

Ia membawaku masuk ke dalam pondok. Diambilnya handuk tebal lalu diselimutkanya di atas tubuhku yang menggigil. Dengan satu tangannya ia meletakkanku di depan perapian.

“Sementara kau menghangatkan badan, aku akan mencarikan ramuan untuk kesembuhanmu,” ujarnya seraya meraih sebuah buku tebal yang berada di atas rak, yang terletak di sudut ruangan. Ia membolak-balik buku itu sejenak.

“Kukira aku harus puasa bicara beberapa hari lamanya. Seperti petunjuk yang tertulis dalam buku ini,“ ia bergumam dan menoleh sekilas ke arahku. Pada saat itulah aku bisa melihat wajahnya. Ia seorang perempuan yang manis. Senyumnya lembut dan hangat.

“Ini semacam kutukan bukan?” ia mendekatkan wajah. Mengelus punggungku perlahan. Aku ingin mengatakan sesuatu. Tapi ia keburu pergi meninggalkanku dan masuk ke dalam bilik lain.

Esoknya perempuan itu benar-benar melakukannya. Ia mengunci mulutnya sejak pagi. Melakukan puasa bicara. Ia hanya bicara menggunakan tangannya. Tangan yang memiliki jari-jari lentik itu sesekali mengelus punggungku sebelum kemudian asyik merajut. Aku ingin menghentikannya. Tapi setiap kali mulutku terbuka hendak menjelaskan sesuatu, perempuan itu meletakkan telunjuknya pada bibir sebagai pertanda aku harus diam.

Aku kasihan melihatnya. Sembari meringkuk tak berdaya aku berpikir bagaimana caranya agar perempuan berwajah manis itu membatalkan puasanya dan mau berbicara kembali.

Ini sudah hari kelima ia melakukan aksi membisu. Tukang roti dan tukang susu yang setiap pagi datang mengantarkan pesanan kerap menatapnya terheran-heran. Kadang keduanya bergunjing, mengira perempuan manis itu telah terjangkit suatu penyakit parah.

“Mungkin ia terkena sariawan berat,” ujar tukang roti seraya melongokkan wajahnya yang bulat melalui jendela yang dibiarkan terbuka. 

"Bisa jadi ia terserang rheumatik kronis...hingga seluruh tubuhnya melunglai. Lihatlah ia hanya duduk tertunduk di atas kursi kayu. Kukira hanya jemarinya saja yang masih bisa bergerak."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun