Hatiku berbunga-bunga. Arumi gadis cantik yang secara diam-diam kutaksir itu, ternyata ia juga menyukaiku. Hal itu kuketahui dari Ainun, tunangan Abdul. Menurut Ainun, Arumi suka stalking-stalking statusku di FB maupun di instagram.
"Tapi, Dot. Arumi sama seperti aku. Ogah pacaran," Ainun menegaskan. Mendengar itu sontak hatiku menciut. Aku memang tidak seberani Abdul dalam mengambil keputusan, yang nekat menemui kedua orang tua Ainun untuk melamarnya. Aku masih harus berpikir ulang.
"Ente harus punya nyali, Bro. Seperti Ane" Abdul ikut-ikutan menyemangati.
"Aku belum mapan, Dul. Belum memiliki pekerjaan. Apa kuliahku harus mandeg di tengah jalan?" aku mendesah panjang.
"Tidak harus seperti itu, Bro. Ente masih bisa lanjutin kuliah sambil mencari kerja. Kalau Ane kan memang kudu berhenti kuliah. Ane tidak bisa membagi waktu. Itulah kelemahan Ane," Abdul mengerjapkan kedua matanya.
"Sepertinya aku memilih mundur saja Dul," aku menarik napas panjang, membuang pandangan ke arah taman. Berusaha menyembunyikan rasa bimbang yang menyelimuti hatiku.
"Ya, kenapa Ente menyerah bergitu saja, Dot? Rezeki itu datangnya dari Allah. Selama ada niat menyegerakan kebaikan, maka semua urusan akan dilancarkan. Selain itu cinta harus diperjuangkan, Bro! Jangan cuma diangan-angankan. Jangan sampai Ente menyesal kalau Arumi keburu disambit orang," Abdul memanas-manasi. Membuatku merenung beberapa jenak.
Benar juga kata Abdul. Soal rezeki kita tidak boleh menyangsikan kemurahan hati Allah. Di mana ada kemauan pasti akan diberiNya jalan.
"Okelah, pren! Aku akan berjuang sekuat tenagaku. Sampai titik darah penghabisan untuk bisa mendapatkan Arumi," aku menegakkan kepala, mengepallkan tinju berlagak seperti seorang patriot sejati
Dari jauh, di ujung taman kulihat Arumi yang berdiri di samping Ainun sesekali mencuri pandang ke arahku.
***