Hana menatap rumah mewah di hadapannya dengan ragu. Gerimis yang jatuh sama sekali tak dihiraukan. Ada kebimbangan menyeruak, membuatnya enggan meneruskan langkah.
"Ayolah, hujan semakin deras," Sae meraih pundak Hana, mengajak perempuan itu gegas menapaki bebatuan menuju teras rumah.
Seorang perempuan, usia paruh baya muncul dari ruang dalam dengan wajah tanpa senyum.
"Mama, ini Hana," Sae berkata riang. Perempuan itu tidak menyahut. Ia berbalik kembali masuk ke dalam rumah.
"Tidak apa-apa. Mama belum mengenalmu," bisik Sae berusaha menenangkan hati Hana. Ia tahu mata Hana meredup menahan perasaan takut. Sae membimbing Hana, mengajaknya duduk di ruang tamu.
"Duduklah dengan tenang di sini. Aku akan bicara dulu dengan Mamaku," Sae menyentuh pundak Hana lembut. Hana mengangguk.Â
Di ruang tengah, Sae disambut teguran tegas sang Ibunda. "Berapa kali Mama bilang padamu? Jangan berhubungan dengan perempuan itu." Â
"Tapi, Ma, aku sangat mencintai Hana," Sae berusaha bicara sepelan mungkin. Khawatir Hana yang duduk di ruang tamu mendengar percakapan mereka.
"Terserah kamu, Sae, mau pilih siapa. Mama---atau perempuan itu."
"Jangan memberiku pilihan sulit begitu, Ma. Jelas aku tidak bisa memilih salah satu di antara kalian. Aku menyayangi kalian berdua," suara Sae tercekat. Ada nada bingung dan putus asa di dalamnya.
"Tidak! Kamu harus bisa menentukan pilihan. Jika kamu bersikukuh melanjutkan hubungan dengan perempuan itu, maka silakan pergi dari rumah ini. Sekarang juga!"