Mohon tunggu...
Elang Maulana
Elang Maulana Mohon Tunggu... Petani - Petani
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hanya manusia biasa yang mencoba untuk bermanfaat, bagi diri dan orang lain..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Puisi Terakhir

25 Agustus 2019   08:50 Diperbarui: 25 Agustus 2019   23:35 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Tribunnews.com

CAKRAWALA membentang pongah. Terang tak dimusuhi awan. Mengawasi setiap desah nafas penghuni bumi yang sedang dikuasai ego. Menjelang sore, cakrawala beringsut menuju haribaan. Karena senja segera tiba, diiringi pelanginya yang indah. Namun sejenak tertahan. Satu desah nafas berat terdengar jelas. Rupanya dari seorang pria dewasa yang duduk menyendiri, memandangi hamparan rumput luas. Ia tampak sedang merutuki nasib diri. Lalu, berteriak kencang menantang alam.

"Hamba seorang pengembala kata, mengabdi pada setiap aksara. Hamba seorang pengembala kata, tunduk pada titah kosa kata. Hamba seorang pengembala kata, takluk pada seluruh tanda baca. Hamba seorang pengembala kata, patuh pada setiap naskah romansa. Tapi kenapa?....si pencinta tak kunjung tiba" Untai kata yang terlontar dari si pria ini menggema ke seantero alam hingga pantulannya mengusik cakrawala.

Bramanto atau biasa dipangil Bram, itu namanya. Bagi dia, segala keindahan alam adalah inspirasi mengolah kata jadi indah. Maklum, profesinya adalah pujangga dan penulis puisi cinta. 

Hamparan rumput luas adalah inspirasi cinta, lautan biru yang bercengkrama dengan ombak adalah kata dibalik gelora asmara, pepohonan hijau nan sejuk di pegunungan adalah makna dari hikayat cinta dan sungai dengan aliran air jernihnya adalah penangkal dari segala pelik asmara. Pujangga romantis, begitu para penikmat puisi menjulukinya. 

Sayang, hikayat cinta Bram tak seromantis karyanya. Di usia menyentuh angka 37, tak sekalipun pujangga ini merasakan indahnya cinta. Bram, pujangga romantis yang tak laku.  Itu semua tak lepas karena kondisi fisiknya kurang sempurna. Lengan kirinya buntung sebatas sikut, bekas di amputasi karena kecelakaan lalu lintas, waktu umurnya masih belia.

Hari telah petang, cakrawala perlahan menutup jendelanya. Bumi beringsut menuju pekat. Bram pun gontai meninggalkan tempat itu. Belum sepuluh langkah, gawai di sakunya berdering. Satu pesan masuk memintanya untuk melantunkan bait-bait puisi romantis dalam acara pertunangan saudara sahabatnya.

"Send" kalimat terkirim itu muncul setelah Bram membalas pesan masuk. Ia menyanggupi undangan tersebut.

***
Bram yang sudah hadir di undangan acara tunangan saudara sahabatnya tampak berseri-seri. Pikirnya, Karya puisi yang telah ia siapkan sejak awal, bakal dinikmati penggemar dan membirukan suasana hati seluruh yang hadir di acara itu. 

Pujangga lapuk ini berbaur dengan para tamu undangan di sebuah pekarangan rumah mewah milik si empunya hajat. Tiba-tiba seorang pria sebaya dengan seorang perempuan muda menghampirinya.

"Akhirnya kamu datang juga kawan...!" Sapa Prapto sahabat Bram.

"Masa ga datang. Aku kan pengisi acaranya"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun