Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kesusahan Hati Ketika Idul Fitri

25 Juni 2017   05:00 Diperbarui: 25 Juni 2017   10:00 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pesan singkat muncul dari seorang teman dengan menyemat ucapan selamat Idul Fitri. Terucapnya salam boleh tersampaikan melalui perangkat selular yang seiring waktu kian mempermudah silaturahmi. Di dunia virtual kita berbuat percakapan satu dengan yang lain.

Saya langsung mengingat sanak saudara dan sahabat di kampung, sekaligus sajian-sajian hangat yang boleh mereka tawarkan. Seketika angin berhembus melenyapkan segala khayalan itu. Apa boleh buat, memang sesal tiada dapat berjumpa mereka, namun jangan membuat perasaan kian semakin jauh.

Kadang kala rindu yang teramat sangat meminta perjumpaan dan percakapan yang autentik. Di sana, hati telah menambatkan satu nama yang sungguh dinanti-nanti kedatangannya. Seseorang ingin mendengar tutur halus suaramu, ingin melihat kerut wajahmu yang kian bertambah penat.

Idul Fitri juga telah bermakna banyak untuk dialami oleh semua orang, tanpa memandang agama apa yang dipegangnya dan suku apa yang dilekatkan padanya. Di kala Idul Fitri datang, banyak yang berhasil menuntaskan rindu-rindu tadi. Mereka telah berada di tempat yang memutus segala tanya yang tiada terjawab: sahabat lama, sanak saudara, dan tentu orang tua. Setiap orang diingatkan untuk mengenal asal yang menghantarkannya sampai pada waktu sekarang dimana ia beroleh eksistensi dirinya. Kebahagiaan yang tiada tara apabila dibandingkan dengan pergulatan hidup yang terbilang absurd.

Namun, Hari Raya Idul Fitri di sisi lain menampakkan cara-cara berbeda seperti yang lazim dilakukan oleh orang-orang. Semisalnya adalah pulang kampung yang telah berakar umbi ratusan tahun lamanya. Namun, di satu sisi yang lain, perbedaan itu menimbulkan perasaan haru dan malu. Siapa orang yang dapat menahan air mata apabila ia tiada dapat menebus perasaan rindunya?

Kini, saya bergulat dengan untaian rindu yang agak terulur panjang. Idul Fitri masih dalam kesepian oleh karena banyak alasan yang benar-benar tiada tertawar. Untunglah sepi senyap ini sedikit terobati ketika hening malam direcoki oleh sulut mercun. Gaduh yang dimainkan oleh anak-anak. Namun, seketika muncul juga suara telepon yang menyalakan hati. Perasaan rindu yang tertanam di antara kami berdua seperti menuntut pertemuan yang nyata. Kadang kala menit-menit semakin runyam apabila salah satu meminta suatu hal dalam gengsi.

Di sana rindu telah berujung di puncak kepala. Sebelum perbincangan segera berakhir, ingatlah bahwa kesia-siaan untuk memutus hasrat rindu cukuplah sementara waktu. Suatu ketika nanti, kerinduan yang sungguh terutang memang harus ditebus segera. Siapa rindu siapa datang. Insan manusia tiada boleh mementingkan ego masing-masing, ia wajib mendahulukan hati nurani.

Maka, apabila waktu telah memperbolehkan, barang satu dua hari berikanlah kesempatan untuk bertemu mereka yang telah tertambat namanya di dalam hati. Mungkin bukan di Hari Idul Fitri, tetapi segeralah tetapkan dalam hari ke depan agar hidup dan air matamu tiada sia-sia lagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun