Birokrasi, kata peminta legalitas, adalah momok segala urusan. Kadang-kadang di sana ada permainan. Di sana pula kita mengenal namanya korupsi.
Tulisan ini tidak membahas terlalu jauh tentang perkara korupsi. Tapi setidaknya kita sudah merasakan gejala-gejala tersebut.
Pada mulanya, birokrasi ini baik-baik saja. Birokrasi, yang asal katanya 'bureau' berarti kantor, yang mengorganisir, bertujuan agar segalanya tersusun rapi. Kita tidak mungkin menghindar dari prosedur tertib administrasi, apalagi menyangkut perkara besar. Sebesar apa? Silakan timbang sendiri.
Sama halnya, misalnya, perayaan tujuh belasan di kampung. Tentu partisipasi warga sangat dibutuhkan untuk memeriahkannya. Setidaknya kehadirannya sebagai penonton sudah memberi kesan tersendiri. Maka, dibuatlah undangan, yang mana di dalamnya telah bertanda tangan para birokrat semacam Ketua RT/RW atau Kepala Desa. Bayangkan jika undangan tersebut tidak mencantum nama keduanya. Sangat diragukan keabsahan dan kesahannya.
Birokrasi dapat juga muncul dari budaya masing-masing kelompok mayarakat. Hal ini diselaraskan pada simbol kepercayaan yang dianut. Jika Ketua Adat adalah simbol dari suku A, maka segala hal yang menyangkut suku A harus menyertakan Ketua Adatnya. Apa gerang yang membuktikannya? Tanda-tangan! Pada contoh lain, seperti kementerian A, sertakan tanda-tangan yang berwenang atasnya. Demikian seterusnya dan seterusnya untuk dihubungkan pada kerja lainnya.
Sampai di sini segalanya baik. Namun, seiring waktu berjalan, kita pun menyaksikan pergeseran maknanya. Seperti pengantar di atas, birokrasi itu adalah momok. Atas ke bawah, kiri ke samping. Pengalaman birokrasi akan selalu mengiangkan kemarahan: waktu yang terbuang banyak hanya untuk perkara kecil.
Sebenarnya, alasan yang menjadikan birokrasi begitu memuakkan adalah ketidaksepahaman. Ini konsekuensi logis mengingat birokrasi menghadapkan dua pihak: peminta dan yang diminta. Masing-masing mempunyai tujuan dan langgamnya sendiri-sendiri. Namun, si peminta harus mengalah. Siapa rindu, siapa datang; siapa butuh, siapa mengalah. Logisnya, jika satu bagian tidak selesai, maka menghambat pada urusan lain.
Dan kejadian ini bukanlah lagu sekali putar. Ia ada terus dan berulang-ulang di negeri ini. macam-macam pula yang terjadi. Ya itu tadi, sangking menikmati permainan, ada yang terciduk perkara korupsi dan nepotisme. Ia mendahulukan dan mementingkan satu pihak. Â
Bagaimana jika kita bekerja tanpa melulu melalui birokrasi? Tidak mungkin. Mental-mental birokrasi itu tumbuh juga dalam keseharian. Kita nyatanya sering bermain ala birokrasi. Misalnya dalam hal bercinta. Sebagai catatan: tidak semua orang, tergantung pemahaman pribadi demi pribadi.
Gejala ini digambarkan seperti ini: seorang lelaki ingin berkenalan dengan seorang gadis. Merasa minder dan malu, mungkin, akhirnya ia meminta temannya agar mencari tahu seluk beluk, segala hal tentang si gadis itu. Di titik ini lahirlah alur macam birokrasi. Dan memang lelaki itu yang secara tidak langsung memberi wewenang kepada temannya untuk mengatur segala urusan. Asal tujuannya tercapai.
Ada dua kemungkinan dalam kasus mak comblang ini: berhasil atau gagal. Lelaki tadi berhasil berkenalan atau si gadis malah tidak tertarik. Namun, dalam penolakan, perjuangan semakin membara. Ada saja yang disalahkan oleh si lelaki sial ini. Si mak comblang kena getah. Namun, andai kata urusan berhasil, cintanya berbalas, berterimakasihlah kepada si birokrat cinta mak comblang. Cinta yang membahagiakan setiap orang.