Itu dia priaku. Gagah sekali kamu sayang, tubuh tegap dan tinggimu kini terbalut rapi dalam tuxedo hitam. Dulu, dengan manjamu yang tak kunjung habis, kamu memintaku untuk memilih warna terbaik yang menurutku tepat untukmu. Saat itu, aku pilih hitam. Tuxedo hitam dengan kemeja putih dilengkapi dengan dasi kupu-kupu berwarna hitam yang kini kau kenakan. Kamu tak pernah gagal membuatku terpukau sejak kita pertama bertemu.
Aku masih terus memandangimu. Merasa takjub atas kesempatan yang Tuhan berikan untuk bisa bertemu denganmu dan menghabiskan banyak sekali waktu berdua hingga detik ini.
Aku masih ingat dengan begitu jelas saat kamu bertanya "mengapa harus aku diantara banyak sekali lelaki yang ingin mendekatimu?" Aku hanya menggeleng perlahan. Sayang, cinta tidak memerlukan sebuah penjelasan untuk menetap di hati. Jawabku kala itu. Dan kau hanya tersenyum mengacak lembut rambutku.
Aku tidak memiliki kata yang bisa kurangkai sebagai jawab dari pertanyaanmu. Kamu tahu, aku dapat merasakan getaran yang kuat bahkan ketika aku mulai menyebut kecil namamu. Getaran yang tak bisa kujelaskan. Seperti darahku berdesir menjalar ke seluruh tubuh dengan sebuah rasa yang mendamaikan.
Bagaimana aku menjelaskannya? Aku bahagia. Aku tenang. Aku merasa sedang dalam rangkulan kehangatan dimana aku dibesarkan dulu, rumah. Ya, itulah yang kurasa setiap kali ingatanku melayang kepadamu.
Kamu ingat? Katamu dulu, kamu ingin kita bernyanyi berdua di hari pernikahan kita. Sebuah lagu yang menjadi perwakilan rasa yang selama ini kita perjuangkan untuk tiba di pelaminan setelah 5 tahun berlalu. Dulu, membayangkannya saja, aku sudah sangat bahagia.
Kini, hari itu tiba, Sayang. Hari yang telah lama kunanti-nantikan di hidupku. Hatiku tidak karuan, deg-degan luar biasa. Untuk pertama kalinya aku merasakan hal ini dalam hidupku. Aku menatapmu yang terbalut tuxedo hitam yang dulu kupilih atas permintaanmu. Dan aku tidak mampu membendung tangis.
***
Sebuah kado terselip di tanganmu, kado yang sangat special. Aku tahu kau sangat menginginkan benda itu dari dulu, tapi kau begitu lihai bertingkah seolah tidak mengingingkannya dan selalu mengutamakan apapun yang kubutuhkan.
"Itu dulu aja, kan kamu lagi mau." Begitu ujarmu saat aku berdiri lama menghadap sepasang giwang berbentuk mawar yang sangat kecil lalu meninggalkan benda yang telah begitu lama kau pandangi. Aku melihatmu memandangnya. Aku melihatmu terpesona pada benda itu. Jangan pikir aku tidak memperhatikanmu, Sayang.
"Engga, kok. Cuma lucu aja ngeliatnya" Kujawab, lalu berlalu menjauh. Merangkul tanganmu untuk melangkah ke tempat lain yang memamerkan banyak benda yang bahkan belum pernah kulihat sebelumnya.