Kaum hawa tergolong paling takut dengan mahluk yang namanya tikus. Tapi itu tentu tidak semua perempuan takut, loh? Coba perhatikan, kaum ibu yang sehari-hari bekerja di sawah, ketika melihat tikus tidak lantas berteriak-teriak dan minta tolong.
Petani yang bekerja di sawah pun jauh lebih tenang ketika menghadapi tikus yang kadang datang "bejibun" menyerang sawah tengah menguning. Petani juga tidak panik ketika menghadapi ular besar di pematang sawah, karena kehadirannya dianggap berkah. Ular dianggap dapat membantu petani lantaran dapat menyantap ratusan ekor tikus rakus di sawah.
Tikus dan ular di sawah memang sudah ditakdirkan bermusuhan. Kedua mahluk ini bersaing ketat memperebutkan rejeki yang ditebar para petani di kawasan petakan sawah.
Di lingkungan petani dan pedesaan, tikus sekalipun menjadi ancaman karena merusak pohon padi tetapi masih bisa memberi berkah. Karenanya, tikus tidak perlu ditakuti.
Berbeda di kota-kota besar, entah mengapa, orang makin merasa jijik dengan tikus. Coba saksikan, ketika anda melintas di gang atau jalan raya dan menyaksikan binatang itu mati tergeletak, kebanyakan orang menyingkir sambil menutup hidung berjalan melinas.
Tidak hanya perempuan, lelaki hingga anak sekolah takut dengan bangkai tikus yang mengeluarkan aroma tak sedap. Petugas kebersihan pun, dengan berat hati dan keterpaksaan menyingkirkan lalu membuang bangkai mahluk itu jauh-jauh.
Tikus, diam-diam, baik dalam keadaan mati mapun hidup tetap mendapat perlakuan khusus. Diperlakukan demikian karena dapat diposisikan sebagai musuh, karena dapat mengurangi rejeki petani di desa. Namun ia pun memberi berkah bagi ular sawah, sebagai santapan untuk menggemukan tubuhnya.
Di kota, hampir semua warga, membencinya. Baik dalam keadaan hidup maupun bangkainya.
Belakangan ini popularitas tikus tengah naik daun. Ia pupuler bukan dikarenakan dijadikan salah satu shio dalam hitungan tahun atau kalender bagi etnis Tionghoa dengan segala karakternya.