Mohon tunggu...
edo murtadha
edo murtadha Mohon Tunggu... Foto/Videografer - I love traveling, making video

The best idea is the one that you're doing!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Teori Sebatang Rokok

6 Januari 2016   08:25 Diperbarui: 6 Januari 2016   08:28 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengkorelasikan dengan tulisan perdana saya sebelumnya, Kenapa Bosan?! ada hal yang menarik saat saya bertemu teman lama. Entah dapat darimana, saat ia meminjam korek saya untuk membakar rokoknya, "Do, tau teori sebatang rokok? Dimana saat korek dan sebatang rokok membantu kita untuk melihat dunia?" katanya sambil menghisap rokoknya.
Ia menjelaskan dari meminjam korek para perokok akan mulai terlibat percakapa ringan dengan empunya korek. Yang bisa saja berakbir dengan habisnya sebatang rokok tanpa satu katapun, atau malah berakhir dengan tukeran nonor telepon yang berujung menjadi rekan bisnis. Atau hanya sekedar teman baru for grab some coffee at coffee shop nearby.
Dengan membuka percakapan dengan orang baru, akan banyak hal yang kita bisa ambil dari percakapan kecil itu.
Opini lawan bicara soal hidup, politik, hobinya, keluarga nya, acara TV terkini. Bisa jadi ia mempunyai opini yang sama atau malah sebaliknya.

 

Bukan hanya perokok saja, siapapun bisa. Mengantri di kasir, mengantri kereta api, naik bus, dan lainnya. Untuk apa malu? Takut tidak ada topik? Makanya banyak baca kompasiana, hehehehehe. Maklum saya adalah penulis pemula di sini, makanya sebisa mungkin mengangkat nama kompasiana di rumahnya sendiri.
Beberapa minggu lalu saat mengantar motor untuk dicuci di pencucian motor dekat kosan, saya tidak sengaja ngobrol dengan seorang bapak dan anaknya. Hanya karena komentar soal kotak rokoknya yang unik, saya berakhir dengan percakapan cukup panjang soal kehidupan merantau di Jakarta.
Si bapak mulai menginjakkan kakinya di Jakarta 3 tahun setelah ia lulus dari universitas, seingat saya tahun 1997. Setahun sebelum krisis moneter melanda negara Bhineka Tunggal Ika ini.
Dari percakapan, saya dapat pesan moral yang menurut saya cukup bagus.
Menurutnya jika kita lihat orang kaya di Jakarta, sukses secara finansial rata-rata kebanyakan adalah perantau. Mulai dari anak singkong, Chairul Tanjung, Presiden kita Jokowi, bahkan si Gubernur pencipta sensasi. Semuanya bukanlah orang Jakarta asli.
Menurutnya juga, apapun yang kita inginkan dimanapun kita berada semuanya adalah mungkin terjadi.
Stop di situ, saya agak malas mendengarkannya, saya perpikir it's another advice from older people.
Tapi kalimat yang keluar berikutnya berbarengan dengan asap rokok dari mulutnya membuat saya kembali mendengarkan.
"Banyak orang sukses di dunia ini yang hanya modal otak dan dengkul", basi. Sabar, belum selesai.
"Cuma, siapapun kamu, tidak selamanya bermodal dengkul itu cocok untukmu, kerja keras saja tidak cukup. Pada intinya hanya ada dua hal. MENJADI PRIBADI YANG DISUKAI BANYAK ORANG DAN BISA DIANDALKAN. Itu saja".
Kalimat itu bukanlah wejangan ala kakek dan nenek kita. Kita tidak bisa mnyenangkan semua orang, bahkan terkadang kita berusaha menyenangkan semua orang sampai akhirnya mengorbankan diri sendiri. Tidak perlu semua, tapi usahakan banyak yang menyenangi dan mengingat kita.
Tapi itu saja tidak cukup, sampai ada kalimat: sudah, tenang saja saya yakin dia bisa, atau: kasih ke dia aja, dia bisa kok ngerjain hal itu.
Kepercayaan. Itu intinya.
Setelah memiliki pribadi yang menyenangkan ditambah dapat diandalkan, itu sudah cukup mengantarkan kita sedikit lebih dekat dengan apa yang kita sebut sebagai mimpi dan cita-cita.
Saya mau tantang semua kompasianer yang membaca untuk bertemu orang asing, siapapun dimanapun. Dan buka obrolam dengan mereka, kemudian cari dan tulis apa yang kalian dapatkan.

Hehehehehe.

Cheers!! Rabu 06 Januari 2016 08.20

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun