Mohon tunggu...
Edi Boni
Edi Boni Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gratifikasi Seksual antara Ada dan Tiada (Sebuah Refleksi Hukum)

12 Agustus 2017   00:20 Diperbarui: 12 Agustus 2017   03:01 3109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

                                Oleh

                     Edi Boni Mantolas

"Perilaku korupsi itu membungkam hati nurani sehingga si pelaku tidak hanya kehilangan rasa bersalah, tetapi juga rasa malu" J. E Sahetapy.

Korupsi, korupsi, korupsi dan korupsi, itulah Indonesia. Penulis teringat akan apa yang dikatakan oleh sang proklamator Mohamad Hatta "Korupsi Sudah Membudaya". Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) kini hemat saya telah menjadi jati diri bangsa. Praktik KKN berkembang begitu pesat tak mau kalah dengan perkembangan smartphone OPPO. Para pegawai negeri atau penyelenggara negara/pejabat pemerintahan tahu betul dan berusaha memanfaatkan celah atau kelemahan peraturan perundang-undangan yang ada khususnya Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) guna kepentingan pribadinya masing-masing.

Selintas timbul pertanyaan dalam benak pikiran penulis, apakah karena "asas kekeluargaan" yang dianut bangsa Indonesia sehingga mengakibatkan KKN merajalela ataukah moral bangsa yang sudah rusak? Ataukah KKN adalah bagian dari politik yang disusun secara sistematis oleh kaum elit?

Mari kita merenung sejenak tentang korupsi yang terjadi di Indonesia, dari hari ke hari sungguh sangat kreatif. Berbagai celah hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan Indonesia khususnya UU Tipikor digunakan oleh para koruptor untuk melancarkan aksinya. Salah satu kelemahan yang ada ialah terdapat pada Pasal 12 B UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi yang mengatur tentang Gratifikasi.

Gratifikasi sendiri merupakan pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik (penjelasan Pasal 12 B ayat 1)

Muncul pertanyaan apakah seorang pegawai negeri, penyelenggaran negara atau pejabat tidak diperbolehkan untuk menerima hadiah? Hemat penulis, pemberian hadiah sebagai suatu tindakan seseorang dengan memberikan sesuatu (uang/barang) kepada seseorang diperbolehkan. Namun agar menjadi tindak pidana, maka penerima gratifikasi itu harus pegawai negeri atau penyelenggara negara, dan pemberian gratifikasi itu berhubungan dengan jabatan atau pekerjaan pihak yang menerima.

Berbicara gratifikasi tentu bentuk-bentuknya terbatas sebagaimana termakhtub dalam penjelasan Pasal 12 B UU Tipikor, penulis berasumsi para koruptor menjadikannya sebagai celah untuk korupsi. Mungkin ketika mereka diberikan hadiah dalam bentuk uang/barang mereka akan menolak karena takut sebagai gratifikasi. Akan tetapi belum tentu untuk layanan seksual (sex service). Mengapa demikian? Secara eksplisit UU Tipikor tidak mencantumkan layanan seksual (sex service) sebagai salah satu bentuk gratifikasi, yang ada hanyalah frasa "fasilitas lainnya" dan frasa ini-pun tidak dijelaskan lebih lanjut oleh UU Tipikor ataupun Peraturan Menteri Keuangan No. 83/PMK.01/2015 Tahun 2015 tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Keuangan. Sehingga berdasarkan asas legalitas pelaku gratifikasi seksual tidak dapat dipidana.

Salah satu contoh pada tanggal 22 Maret 2013, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap hakim Setyabudi di ruang kerjanya karena menerima uang suap sebesar Rp 150 juta dari Asep Triana. Hakim Setyabudi Tejocahyono juga diduga menerima gratifikasi seks terungkap dari pemeriksaan terhadap pengusaha Toto Hutagalung (pelaku pemberi gratifikasi). Hakim Setyabudi selalu meminta disediakan layanan seksual setiap Jumat. Istilah hakim setyabudi "sunah rasul" (dilansir dari m.detik.com).

Kasus ini telah diputus tanggal 17 Desember 2013 lalu oleh hakim Pengadilan Tipikor Bandung dengan putusan 12 tahun pidana penjara dan denda 200 juta rupiah subsider 3 bulan penjara. Sedikit menggelitik, dalam kasus ini ketika Jaksa Penuntut Umum mendakwa terdakwa hakim setyabudi dengan Pasal suap dan Pasal gratifikasi. Anehnya Jaksa Penuntut Umum tidak memasukan layanan seksual yang diberikan kepada hakim setyabudi setiap malam jumat sebagai salah satu bentuk gratifikasi yang diterima. Padahal pelaku penyuap (Toto Hutagalung) mengaku memberikannya. Penulis berkesimpulan bahwa Jaksa Penuntut umum masih belum berani untuk melakukan gebrakan hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun