Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memahami Bahasa Tubuh Pembohong

5 Mei 2011   12:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:03 933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah Anda tahu seseorang sedang berbohong hanya dengan melihat gerakan tubuhnya? Karena belakangan ini saya agak sering dibohongi, saya mencari-cari sumber ilmiah untuk mencoba memahami bahasa tubuh orang yang sedang berbohong. Saya kemudian berbagi dengan Anda di sini. Percayalah, ini bukan bohong :

[caption id="attachment_106322" align="aligncenter" width="396" caption="Ilustrasi gambar pembohong (foto : uncommonhelp.me.com)"][/caption] - Pembohong cenderung menggerakkan kaki dan tangan secara canggung dan berlebihan; ini karena secara tidak sadar ia berusaha menyamarkan kata-katanya dan mengalihkan perhatian pendengarnya dengan gerakan-gerakan itu. Gerakan ini bisa terbaca, misalnya, dari tangan yang menyentuh arloji, gelang atau pergelangan tangan tanpa tujuan yang jelas

- Orang yang sedang berbohong tak akan mampu menatap mata lawan bicaranya dengan durasi normal. Ia cuma bisa menatap sekilas atau menatap lawan bicara lebih lama dari normalnya, kalau ia kebetulan tahu bahwa pembohong tak bisa menatap lawan bicara dengan tatapan normal. Pembohong juga berkedip lebih banyak daripada mereka yang tidak sedang berbohong. Mata pembohong juga tidak bisa fokus; mata itu bergerak ke sana kemari karena menghindar dipandang balik oleh lawan bicaranya.

- Pembohong banyak menyentuh wajah , mulut dan hidung. Ini yang sulit dikendalikan oleh pembohong bahkan ketika mereka sadar mereka sedang berbohong. Ini merupakan respons refleks psikologis atas ketidakjujuran mereka, yang merupakan cara simbolis untuk mencegahnya berbohong. Perilaku ini lebih sering terlihat pada mereka yang merasa tak nyaman kalau harus berbohong.

- Pembohong melihat ke arah bawah sewaktu berbohong, seolah mereka sedang berpikir apa yang harus diucapkan berikutnya; bedakan dengan orang yang bisa memandang tegak karena mereka tidak perlu mengarang-ngarang cerita. Pembohong melihat ke bawah karena di situ ada ’kanvas kosong’ untuk menjalin cerita yang bisa meyakinkan pendengarnya. Gerakan tangan orang sedang berbohong (Foto : entertainment.msn.com) -Pembohong sebenarnya sulit menjaga konsistensi detail cerita atau kata-katanya. Orang yang sengaja berbohong harus bekerja keras mengingat semua cerita jaga-jaga kalau diperlukan di lain waktu. Non-pembohong tidak sulit mengulang cerita dengan detail yang konsisten; non pembohong memiliki gambaran mental untuk disampaikan kembali, sedangkan pembohong tidak terbekali dengan gambaran mental ini dan ia bakal kedodoran dengan detail-detal yang diingat pendengarnya, sementara ia sendiri tidak akan ingat. -Orang yang berbohong cenderung defensif atau menggerakkan tubuh secara defensif ketika dicecar soal bohongnya, bahkan ketika mereka tidak sedang dituduh berbohong. Ketika pendengar bertanya lagi tentang detail cerita, pembohong bisa langsung membela diri, marah dan sewot, dan balik bertanya, “Kamu ini ngomong apaan, sih?”. Ini bentuk mekanisme bertahan mereka. -Pembohong sering menyentuh kerah baju mereka. Ini karena ketika orang berbohong, ada sensasi menggelitik di jaringan wajah dan leher yang menimbulkan perasaan tak nyaman di sekitar wajah dan leher. -Pembohong menyelingi kata-katanya dengan batuk buatan, untuk mengalihkan perhatian pendengarnya. (foto : liemlieli.tumblr.com)

Siapa saja yang perlu memahami bahasa tubuh pembohong ini? Para profesional : polisi yang sedang menginterogasi, petugas audit, penagih hutang, investigator pajak, bos yang memeriksa keberesan kerja anak buah, para pendidik dan segala macam profesi lain.

Perlukah pengetahuan ini dalam kehidupan sosial lain? Untuk para suami, para istri, pacar, anak, teman? Silakan nilai sendiri potensi manfaatnya.

Sumber :

http://teenadvice.about.com/od/peerpressure/a/blliarliar2.htm

dan sumber-sumber lain.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun