Mohon tunggu...
Eddy Mesakh
Eddy Mesakh Mohon Tunggu... Wiraswasta - WNI cinta damai

Eddy Mesakh. Warga negara Republik Indonesia. Itu sa! Dapat ditemui di http://www.eddymesakh.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tolikara dan Toleransi Semu

18 Juli 2015   04:57 Diperbarui: 18 Juli 2015   08:12 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi toleransi antar-umat beragama di Indonesia (sumber:http://www.konfrontasi.com)"][/caption]

PERSIS di hari Idul Fitri, hari kemenangan umat Islam, manakala kaum muslimin di seluruh Dunia, tak terkecuali di Kabupaten Tolikara, Papua, mensyukurinya dengan Salat Id, tiba-tiba sekelompok massa melakukan serangan brutal. Umat yang sedang salat mau tak mau harus bubar menyelamatkan diri. Massa anarkistis membakar mushala, kios, dan rumah warga.

Kabar tersiar bahwa para penyerang adalah umat Kristen yang tergabung dalam organisasi bernama Gereja Injili di Indonesia (GIDI), yang berpusat di Papua. Dahi berkerut membaca surat edaran berisi sejumlah poin larangan beribadah bagi umat Islam di hari Idul Fitri maupun melarang penganut Kristen dari denominasi lain mendirikan gereja di daerah itu. Ini benar-benar keterlaluan!

Penulis sama sekali tak paham akar permasalahan sebagai pemicu aksi brutal itu. Tetapi sebagaimana sering terjadi, aksi-aksi bernuansa kebencian terhadap sesama penganut agama, hampir selalu ada penggagasnya alias sosok ber-otak pintar (tapi sesungguhnya bodoh) sebagai penghasut, menyuruh, bahkan memanas-manasi. Pemerintah harus bertindak tegas terhadap aktor intelektual tersebut.

Sebagai orang berdosa, saya tak berhak mengutuk perilaku brutal para perusuh itu. Biarkan Tuhan yang mengutuk mereka. Tetapi saya sama sekali tak memahami, sesungguhnya apa yang mengisi batok kepala mereka sehingga bertindak tanpa rasa kemanusiaan seperti itu? Seandainya mereka punya sedikit rasa empati, mampu menempatkan diri pada posisi saudara-saudaranya yang sedang beribadah di hari besar keagamaannya, tentu tak mau melakukan tindakan yang sangat menyakitkan hati seperti itu. Bagaimana jika mereka yang diperlakukan seperti itu?

Tak usahlah bicara toleransi antar-umat beragama. Berhentilah bicara toleransi jika itu hanya omong kosong. Berhenti bicara, apalagi menuntut orang lain untuk saling menghormati kalau Anda sendiri sebenarnya juga menyimpan kebencian terhadap sesama saudara, sesama manusia, hanya gara-gara berbeda keyakinan. Jika Anda punya Tuhan, apakah Dia membolehkan Anda menyerang manusia lain secara brutal? Apa yang Anda pahami mengenai “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” kalau faktanya Anda justru menyerang manusia lain? Apa yang Anda pahami tentang “kasihilah musuhmu” kalau yang bukan musuh saja Anda tega melakukan kekerasan? Anda sama sekali tak pantas menuntut orang lain menghargai perbedaan, kalau Anda sendiri justru membenci mereka yang sekadar berbeda keyakinan dalam hal agama dan kepercayaan.

Toleransi masih ‘barang’ mahal di Indonesia. Terbukti dia jauh lebih mahal dari harga diri, bahkan nyawa manusia sekalipun.Ada sebuah pelajaran dari masyarakat asal Nusa Tenggara Timur (NTT) di Pulau Batam, Kepulauan Riau. Mudah-mudahan pelajaran di bawah ini bermanfaat bagi kita.

Bulan Maret 2014 silam, saya mengikuti sebuah acara keagamaan di Batam, acara pelepasan sepasang pendeta karena masa tugasnya berakhir. Acara itu dihadiri oleh ratusan warga asal NTT, baik Kristen maupun Islam. Ketika berbicara di depan hadirin, seorang tokoh masyarakat muslim asal Alor, Nusa Tenggara Timur, Sokan Fukalang, berujar; “Jangan bersandiwara dengan toleransi semu. Harus betul-betul dari dalam hati.” Sokan adalah sosok yang dituakan dan dihormati oleh komunitas warga asal Alor di Batam.

Pada kesempatan yang sama, Benjamin Naralulu selaku Sekretaris Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), menyatakan kekagumannya pada kuatnya jalinan persaudaraan masyarakat asal NTT di Batam dan berbicara tentang praktik toleransi antar-umat beragama di Indonesia. “Saya menemukan toleransi yang murni di sini. Negara ini menghabiskan biaya bermilyar-milyar untuk mengampanyekan toleransi antar-umat beragama, tapi lihat hasilnya, intoleransi terjadi di mana-mana. Justru tanpa mengeluarkan satu sen pun, warga dan jemaat asal NTT di Sagulung berhasil mempraktikkan toleransi tanpa syarat. Ini sebuah cerita yang indah bagi seluruh warga GMIT.”

Menurut dia, kendati berbeda iman, warga NTT di Batam berhasil mempertahankan persaudaraan dan kebersamaan. “Lebih baik tidur berbeda tapi punya mimpi yang sama, daripada tidur bersama tapi punya mimpi berbeda,” ujar Naralulu kala itu.

Sebagai warga Negara Republik Indonesia, Penulis memohon kepada para pemimpin dan tokoh-tokoh masyarakat agar menyelesaikan persoalan di Tolikara sampai tuntas. Jangan ada yang ditutup-tutupi. Lakukan rekonsiliasi. Tonjolkan persamaan, bukan mengais perbedaan-perbedaan kecil dari sudut-sudut terpencil. Jangan tinggalkan satu butirpun bibit kebencian di sana agar bibit buruk intoleransi itu tak kembali berkecambah, bertumbuh, dan berkembang biak di negeri ini. Berhentilah dengan basa-basi toleransi semu! (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun