Mohon tunggu...
Mudzakir Ruslan
Mudzakir Ruslan Mohon Tunggu... Mahasiswa di Semarak.news -

ikut arus...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cerita Perbatasan: Dari Suanggi Hingga Teripang Kering sebagai Pelicin Masuknya Ganja

18 Oktober 2016   13:59 Diperbarui: 18 Oktober 2016   14:19 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Suatu ketika saya mendapat kesempatan untuk mewawancarai muda-mudi Papua yang ada di Bogor. Sebut saja Sampoerna Academy Boarding School (SABS) yang menjadi singgahan. Setelah mengurus perizinan dari kepala sekolah dan orang tua asrama, saya diperbolehkan untuk wawancara. Ruangan yang disediakan pun bagus, sebuah meeting room yang penuh dengan piala-piala dan medali penghargaan.

Selama perbincangan terdapat banyak celoteh kebahagiaan dan kesedihan. Melky salah satu anak suku Timurtepan dan berdomisili di Merauke menuturkan duka.

“Kakak, adik saya meninggal karena suanggi,” suanggi adalah orang yang mempelajari ilmu hitam dan ahli sihir. Ilmu ini pun bisa diwariskan secara turun-temurun. Kemudian ia meneruskan bahwa meninggalnya adiknya dikarenakan ada dendam antara neneknya dengan putra ahli suanggi.

“Anak orang itu kurang suka dengan nenek saya dan mengadu ke bapaknya.” Sampai suatu ketika bapak dari anak tersebut berkunjung ke rumah keluarga Melky dan diberi suguhan teh manis hangat. Keesokan harinya, adik dari Melky lah yang mencuci gelas tersebut, tetapi semenjak itu adiknya mulai sakit dengan kondisi yang tidak wajar.

“Iya Kakak, adik saya bilang ‘nenek kaki saya sakit’. Terus besoknya sakitnya pindah ke punggung, ke perut.” Layaknya seperti gejala santet, suanggi bisa dengan langsung membunuh orang secara langsung tanpa perantara media atau secara perlahan dengan menempelkan sihir di benda-benda yang sering digunakan oleh orang yang tidak disukai.

Sampai beberapa hari, nenek Melky yang beragama Katolik memanggil seorang Pastur untuk mengobati adiknya. Hal yang dilakukan pastur itu adalah menerawang dengan memegang dada si adik dan melihat tubuhnya lewat air yang ada di gelas. “Pastur itu bilang, jantung adik saya sudah ditukar dengan kelapa kecil yang sudah hitam.” Bahkan selama beberapa hari ia tidak mau makan dan minum, tetapi selalu kenyang.

Setiap malam, Melky dan keluarganya bergantian untuk menjaga adiknya. “Pas adik saya tidak ada, dia biara kalau seperti ada orang yang keluar dari tubuhnya.”

Kemudian Ciremai, gadis dari Teluk Bintuni menimpali, “suanggi itu matanya merah Kakak.” Kasus sihir suanggi tidak hanya berlaku untuk warga Papua, termasuk para pendatang baru.

“Kalau Kakak ke Papua, terus ditepuk orang, langsung balas tepuk lagi.” Ini adalah perkataan dari Gabriel, Serui yang salah satu orang tuanya berasal dari Ternate. Banyak kasus orang-orang yang baru singgah di Papua sakit karena hal ini. Modus mereka adalah ”Kau anak baru di sini” dan menepuk pundak mungkin karena tidak suka.

Menurut saya, mereka semenjak kecil sudah hidup di Papua dan memberikan saran baik untuk para pendatang. Pastinya tetap harus meminta kepada pemilik hidup untuk keselamatan.

Ada cerita lain yang informatif mengenai tapal batas Indonesia-Papua Nugini. Mereka bercerita kepada saya bahwa banyak pos-pos yang harus dilewati untuk masuk ke perbatasan. Banyak pos-pos monyet (istilah pos berbatasan) yang mengecek identitas dan barang bawaan pelintas batas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun