Mohon tunggu...
DwiP Indriyani
DwiP Indriyani Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Primordialisme dan Etnosentrisme dalam Masyarakat Madura

2 Juni 2017   13:19 Diperbarui: 2 Juni 2017   13:36 9583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keunikan watak dan karakter yang dimiliki oleh masyarakat Madura sudah tidak diragukan lagi oleh bangsa Indonesia. Masyarakat Madura dikenal sebagai masyarakat yang memegang teguh rasa kekeluargaan dan budaya antar masyarakat Madura sendiri. Karakter yang menonjol pada masyarakat Madura yakni kerja keras dan keras kepala. Hal tersebut, membuat orang Madura mudah sekali terselut emosi apabila mereka merasa terancam. Sehingga, masyarakat Madura tidak segan menghalalkan segala cara untuk memperthankan dirinya atau keluarganya dari ancaman tersebut.

Etnosentrisme dalam Budaya Carok

Carok merupakan sebuah pembelaan harga diri orang Madura ketika martabatnya diinjal-injak oleh orang lain yang berhubungan dengan, harta, tahta dan wanita. Pembelaan yang dilakukan oleh orang Madura ini dengan menggunakan sebilah clurit dan mengajak berduel sang lawan sampai titik darah penghabisan. 

Sehingga, tidak jarang budaya tersebut sering sekali menimblkan korban jiwa karena carok yang bringas tersebut. Tak jarang carok disebut-sebut menjadi arena kekerasan. Anehnya, korban carok tidak dikubur di pemakaman umum, namu dikubur di halaman rumah. Pakaian yang berlumuran darah setelah dikenanan oleh sang korban disimpan di almari khusus supaya pengalaman traumatic terus berkobar untuk mewariskan balas dendam ke anak cucunya. Menurut budayawan Sumeneep Ibnu Hajar, sesungguhnya budaya carok adalah ikon atau ciri khas orang Madura, yang dampai pada saat ini belum jelas asal-usul budaya carok tersebut.

Oleh sebab itu, banyak sekali kasus carok tersebut yang di muat di surat kabar dan berita online. Sebagai contoh berita yang dimuat di MataMadura.com pada tanggal 9 April 2017. Dalam berita tersebut memuat dua kasus pencarokan sekaligus. Yang pertama, kejadian tersebut  berawal dari kematian Saraton ( 55 ). Banyak desas-desus bahwa meninggalnya Saraton ini akibat disantet oleh tetangganya, Mustofa (55). Kedua putra almarhum, Saliman (40) dan Habibi (30) mendatangi rumah Mustofa. 

Secara kebetulan, dirumah Mustafa terdapat sanak keluarganya, Abdur (37) dan Sitina (49). Berlangsungnya pertikaian dimulai dari kedua putra almarhum langsung menghujamkan clurit ke arah Sitina dan Mustofa. Sehingga perkelahian berdarah massal pun tak dapat dihindari. Masyarakat sekitar tidak dapat memberhentikan petikaian tersebut karena meraka takut dinilai ikut campur. Petikaian teresebut terhenti ketika Mustofa, Saliman, dan Sitina jatuh tersungkur dan meninggal dunia di TKP dengan kondisi tangan putus dan beberpa luka sayatan yang dalam di beberapa bagian tubuh korban.

Yang kedua, carok terjadi karena hal sepele dan salah paham. Sang korban Dassir (30) ditemukan tewas bersimbah darah oleh warga di daerah Sampang. Dassir mengalami luka robek pada kepala bagian kiri, serta punggung bagian kanan. Menurut informasi warga, dassir tewas akibat dicarok senjata tajam oleh Sfd (35). Korban melintas dengan suara motor yang mengganggu dan Sfd memberitahu korban akan tetapi korban melunjak. Akibatnya, pelaku geram dan emosi sehingga langsung menebas senjata tajam yang dibawanya ke tubuh korba hingga tewas bersimbah darah.

Dengan hal ini, Etnosentrisme pada budaya carok yang dilakukan oleh masyarakat Madura sangatlah kurang diterima oleh masyarakat umum karena telah keluar dari nilai historis dari carok itu sendiri. Bahwasannya, carok diciptakan untuk melawan penindasan dan ketidaadilan yang dilakukan oleh Belanda. 

Namun, yang dapat dirasakan kita sekarang pada kenyatannya carok melambangkan tindakan kekerasan dan kriminalitas. Bahkan, clurit yang digunakan untuk melakukan carok saat ini diindentikan dengan tindakan egois, anarkis, dan brutal. Hal tersebut, dapat dibuktikan dengan praktek carok dianggap sebagai pelestarian budaya oleh masyarakat Madura. Tidak hanya itu, budaya carok tersebut tidak akan menyelesaikan masalah, malah justru memperumit masalah atau bahkan memperpanjang masalah karena ada perasaan unsur balas dendam.

Budaya carok juga dapat mengubah pemikiran masyarakat Madura yang dianggap salah, yakni jika menyelesaikan suatu masalah yang pelik atau harga dirinya diinjak-injak seolah-olah jalan terakhir dan cara paling baik harus diselesaikan dengan carok menggunakan clurit. Tidak hanya itu, dogma mengenai carok di masyarakat Madura dikenal dengan istilah “Mon lo’bangal acarok ja’ngako oreng Madura”,artinya jika tidak berani melakukan carok jangan mengaku orang Madura. “Lokana daging bias ejai, lokana atr tada’tambahana kajabana ngero’dara”,Artinya jika daging yang terluka masih ada obatnya, tetapi jika hati yang terluka tidak ada obatnya selain minum darah”. Ungkapan-ungkapan ini yang kemudian mendukung eksistensi carok. Secara sepintas, perilaku carok dinilai cara penyelesaian masalah yang tidak masuk akal dan tidak manusiawi.

Maraknya budaya carok di Pulau Madura menyebabkan sangat lumrah dijumpai khususnya bagi kaum laki-laki. Dimana, mereka jika bepergian selalu membawa senjata. Apalagi mereka yang dianggap sebagai jagoan di desanya. Menurut mereka,  bila berpergian tanpa senjata tajam seakan – akan ada sesuatu yang kurang dalam tubuhnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun