Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rindu Mudik, Rindu Kampung Halaman

23 Juni 2017   22:19 Diperbarui: 24 Juni 2017   06:03 925
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
menuju kampung halaman, rindu mudik, rindu kampung halaman (Dokumentasi Pribadi)

Sudah  Sekitar 8 tahun melewatkan mudik lebaran. Suka cita mudik hari lebaran jarang saya rasakan. Entah  sebagai orang yang dilahirkan di Kampung saya amat rindu merasakan silaturahmi dengan saudara-saudara, bertemu teman, sanak saudara dan handaitaulan. Kebersamaan dalam perbedaan itulah yang saya rindukan. Menahan diri untuk tidak mudik sungguh sebuah sebuah beban berat bathin. Hati memanggil-manggil namun apa daya sebagai keluarga yang baru dengan  3 anak dan kebetulan keluarga istri tinggal di Jakarta, menahan diri adalah sebuah hal wajib. Lagipula biaya mudik yang besar  dan pendapatan yang habis untuk kebutuhan dasar dan mesti menabung lama untuk bisa sedikit lega jika mudik dengan uang mencukupi itu sebuah kemewahan. Tahun tahun belakangan ini saya mesti bisa membagi uang untuk mencicil rumah, membiayai semua kebutuhan keluarga hanya dengan gaji saya. Betapa susahnya mengelola gaji yang hanya  sekelebatan di tangan kemudian harus dibagi-bagi untuk bisa hidup di Jakarta dengan tuntutan amat besar.  Dengan 3 anak yang masih kecil-kecil, dengan biaya sekolah yang kian hari kian melambung, dengan semua kebutuhan-kebutuhan hiburan yang mesti ada, membuat kepala pusing tujuh keliling.

Setiap keluarga mempunyai penderitaan untuk dipanggul, setiap orang mempunyai kebahagiaan sendiri untuk selalu disyukuri. Tapi banyak orang akan melupakan penderitaan sejenak untuk kembali ke titik awal dengan mudik, meskipun setelah pulang dari mudik harus bekerja keras lagi menutup semua hutang yang ada, melunasinya dan menabung untuk kembali mudik lagi tahun depan.

Tradisi mudik  menjadi sebuah momen keagamaan berbalut silaturahmi(terutama di Jawa). Berkunjung ke sesepuh desa, bersujud dan melafalkan doa, dan pulang dengan hati lega. Meskipun saya bukan muslim tapi, magis  lebaran tetap terasa sebagai sebuah tradisi yang mengikat tali persaudaraan. Akhir-akhir ini perayaan keagamaan seperti sebuah cerita kelam dari sikap intoleransi. Media sosial terasa membara oleh pembedaan-pembedaan keimanan dari umat beragama. Perang kata-kata, perang kesombongan, perang kebencian menyeruak seperti tidak terbendung. Banyak ulama dadakan yang terkatrol karena seringnya muncul di televisi tidak  memberi contoh baik bagaimana bertutur dan menghargai perbedaan. Banyak tokoh agama saling mengumbar janji dan melakukan aksi dukung mendukung partai politik tertentu, tidak menempatkan diri sebagai seorang agamawan yang netral yang berdiri  pada semua golongan.

Mudik Sebagai Tradisi

Setiap tahun mobilisasi orang orang untuk kembali ke tempat kelahirannya dan kemudian berkumpul dan bersilaturahmi telah membuat sibuk pemerintah. Sarana transportasi terus dibenahi, infrastruktur mudik terus diperpatut, sehingga insiden kecelakaan bisa dikurangi. Resiko perjalanan, kecelakaan, kemacetan, pelayanan yang belum maksimal dan banyak jalan rusak masih terus hadir. Jutaan mobil, manusia menyemut, bergerak dari pusat kepadatan di kota menuju desa -- desa. Pamer kesuksesan, pamer mobil serta hasil kerja keras  memajang wajah sumringah, pipi gembul, perut buncit, wajah kinclong, serta baju berkemerlapan dan selalu baru setiap tahun. Di desa dengan bangganya mereka membawa keluarga, berkunjung pada kerabat, teman serta tetangganya ini lho say yang lama mengembara dan kembali dengan membawa sebongkah kebanggaan, hasil dari kerja keras mengubah nasib dari  orang yang hidup dalam pucuk-pucuk penderitaan, dengan tangisan menyayat dati hati seorang simbok dan bapak yang berusaha keras agar anaknya bisa sekolah dan akhirnya pulang  dari kota membawa kabar suka cita.

Untuk saya mudik itu sebuah kemewahan dan saya selalu berjumpalitan mencari  nafkah untuk mendapatkan kemewahan mudik, tapi sekali lagi sebagai guru swasta tetap saja susah menunjukkan dengan rasa jujur dan meyakinkan kepada orang tua, tetangga dan handai taulan bahwa saya telah cukup mampu menjamin hidup say sebagai orang sukses. Tetap saja di kota saya mesti bekerja pagi  sampai malam untuk mendapatkan kemewahan yang diidam-idamkan. Sepanjang bulan saya mesti pintar-pintar mengelola uang agar tidak tekor, dan sesempatnya menyisihkan uang untuk mengikuti irama teman-teman yang sukses menangguk dolar/ rupiah untuk sebuah kemwahan bernama mudik.

Saya tidak seberani teman-teman yang dengan entengnya menggadaikan barang, dengan sangat yakin bisa mengambil emas yang tergadai di pegadaian setelah pulang mudik. Saya amat rindu mudik, seperti rindu merajut cerita-cerita  masa kecil ketika keluar masuk kecil, ke semua saudara dekat, saudara jauh dengan jalan kaki, menyusuri jalan-jalan desa, menerabas pematang sawah, menyeberangi sungai untuk mengikat erat saudara-saudara se keturunan. Masih say ingat betapa perut membuncit karena banyak saudara terus saja menyuguhkan makanan enak hingga susah ditolak, tapi apa daya perut sudah tidak memungkinkan lagi menampung deretan makanan yang tersaji tersebut.

Lebaran hari pertama biasanya orang-orang desa  berkeliling satu kampung. Ketika umat muslim pagi-pagi balik dari soalat Ied, tiap-tiap rumah sudah menyiapkan sederetan makanan lebaran. Di toples sudah tersedia kue-kue legendaris waktu itu Wajik Bandung, Kue nastar, emping, enting-enting Jahe, kacang goreng, roti es (Berbentuk huruf S ), serta kue semprong. Tidak lupa minuman yang tersedia yaitu sirop atau teh hangat manis. Keramahan mereka belum terkontaminasi berbagai persoalan keagamaan yang sekarang menyeruak dan membuat sekat-sekat yang menjauhkan rasa persaudaraan beda agama. Semua bergembira, semua merayakan, semua bersuka cita sebagai saudara yang rindu ketemu keluarga lainnya. Itulah magis lebaran Bodo(dari kata bakdo atau berarti telah mengakhiri masa Ramadhan dan menyambut lebaran suci)

Sayapun   harus mengritik diri, kadang dengan sombong saya merasa tidak harus merayakan lebaran karena bukan muslim, dan kadang malu karena tidak ikut berpuasa tapi ikut merayakan lebaran, sehingga setiap kali pulang tidak perlu mengikuti tradisi keliling tetangga minta maaf. Itu bukan sebuah tindakan baik, ini adalah sikap intoleransi dan itulah kesombongan saya sebagai umat non muslim. Dan mungkin itulah yang membuat saudara muslim merasa bahwa mereka harus keras terhadap kaum non muslim dan mengritik cara-cara liberal umat non muslim.

Di hari yang fitri perkenankan saya minta maaf kepada saudara sekalian karena tahun ini tidak bisa mudik, saya amat rindu mudik dan merindukan suasananya tapi, saya harus realistis, masih banyak kebutuhan yang mesti saya perjuangkan. Semoga Tuhan memberi rejeki tahun depan sehingga bisa bersilaturahmi, membangun persaudaraan dan ikatan perdamaian sebagai manusia yang mengghargai tradisi sebagai sebuah nilai positif yang tetap lestari. Itulah pemahaman saya tentang tradisi mudik, ada kurangnya tulisan saya, kritik dari para penulis dengan hati lapang saya terima. Selamat berlebaran. Minal Aidin Wal Faizin. Mohon Maaf lahir bathin. Kemenangan yang besar jika bisa mengalahkan diri sendiri. Dengan lunas berpuasa anda menang melawan keinginan memuaskan diri sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun