Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Catatan Sang Pengkhayal (4)

22 September 2017   13:53 Diperbarui: 22 September 2017   14:28 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Catatan Sang Pengkhayal ( dokumen pribadi )

2025

Transportasi publik di Jakarta telah meraja. Rupanya pemerintah   belum tegas membatas kendaraan pribadi bergerak di jalan protokol. Aku melihat Thamrin Sudirman mulai lagi dibangun jalan layang.  MRT tak  bisa menampung pekerja yang hendak mengais rejeki di pusat kota.     Perputaran kendaraan yang melintas jejalanan telah membuat orang-orang Jakarta semakin pusing, sementara sengatan matahari telah membuat kulit para pejalan kaki semakin meradang. Dunia telah semakin mendekati kiamat. Kesiur angin yang mendesah tetap saja gelisah, sebab daripadanya terbawa semburan hawa panas yang membuat manusia terus berusaha menghilangkan dahaga. Air terteguk berliter-liter tetap saja tidak bisa menghilangkan  udara lembab panas. Aku selalu saja terjebak dalam halusinasi, antara kekuatan tubuh yang bergerak dengan khayalan-khayalan yang melambung     menghindar dari sergapan Dewa Surya. Di antara tiang- tiang LRT berjalan menyusur lorong-lorong MRT aku gelisah karena wajah-wajah kusam orang-orang.

"Kenapa kalian, sepertinya tidak bahagia."

Mereka tidak menjawab, hanya dengusan yang terdengar, sepertinya menyimpan keluhan dan kemarahan atas alam yang semakin ganas mengganggu kenikmatan mereka. Sambil membawa gadget canggih, mengelus-elus layar kacanya, mereka berbicara tanpa sekalipun melirik sekelilingnya.

Mata dunia  fokus pada benda- benda tipis yang telah menghipnotis hidup mereka. Mereka bisa tersenyum, tertawa tanpa perlu teman di sampingnya. Cukup dengan benda tipis ramping dengan kemampuan ekstra yang bisa menjawab semua kebutuhan. Tidak perlu ke bank, tidak perlu ke mal, tidak perlu berdesak-desakan natri untuk mendapatkan barang, cukup jentik benda itu maka semuanya akan datang.

"Aku rasanya semakin terasing pada dunia mereka. Mereka tidak perlu teman untuk ngobrol, kontak mata dengan mata. Mereka cukup pasang telinga, dengan headset di kuping, senyum, tawa, ekspresi wajah tertangkap. Mereka seperti sekumpulan orang-orang gila yang terjebak oleh dunia yang tidak terlihat namun ada, sebuah dunia yang bisa menghubungkan ribuan mil hanya dalam satu genggaman. Bisa mengobrol dengan teman yang jaraknya tidak terjangkau oleh tubuh, tapi bisa terselami oleh pikiran. Mal-mal telah sepi toko, gedung-gedung pusat perbelanjaan hampir tidak ada penjaga tokonya. Hanya satu dua kemudian mereka telah memegang smartphone, seperangkat laptop canggih dan hanya sejumlah karyawan yang siap mengantarkan barang ke alamat yang dituju.

" Kirimkan ke selatan Jakarta ya...pastikan barang tidak rusak. Kita harus bergerak cepat, sebab semakin cepat layanan kita, langganan akan tetap percaya pada produk kita. Dari memo Ibu itu telah mentransfer sejumlah uang, lunas. Nanti foto barangnya setelah sampai tujuan."

Mal-mal di Jakarta seperti semakin sunyi, lalu lalangnya orang bukan untuk berbelanja, hanya menikmati restoran-restoran khusus yang tidak melayani barang antar. Mereka adalah sosialita yang masih mencintai kopi darat, meskipun segala kebutuhan rumah tangga sudah bisa dipenuhi hanya dengan menjentikkan jari. Mereka masih perlu duduk, di sudut kafe, mencari hiburan di tengah individualisme masyarakat yang semakin menggila.

Sambil menyeruput kopi Arabica dengan roaster khusus dan biji-biji kopi yang dihasilkan dari kebun kopi di lembah Pegunungan Ciremai Jawa Barat mereka menikmati aromanya, mencicipi rasa dari ujung lidah sampai pangkalnya. Dalam kepahitannya muncul rasa manis asam yang timbul dari faktor tanah di pegunungan itu yang mengandung rasa manis hasil dari  akar umbi-umbian. Para barista yang sigap, memblender kopi dengan alat khusus yang bisa mempengaruhi rasa dari tiap --tiap tetes yang dihasilkan dari sentuhan ketrampilan mereka. Tidak perlu diragukan mereka sudah ahli. Sebeb bertahun-tahun melayani dan mengenal bau-bau kopi tentu semakin mudah mereka membuat campuran kopi berkualitas tinggi. Hanya  sayangnya semakin tahun kebun-kebun kopi semakin langka karena manusia semakin berekspansi menjelajah tanah untuk dijadikan kompleks perumahan.

Sudut resto yang dominan warna hitam dengan mural bergenre vintage satu dua orang duduk, menikmati kesunyian. Aroma kopi wangi dan hembusan rokok mild mengangkasa. Sudut dan bibir seksi merekah kemerahan. Kopi Arabika dengan sedikit campuran susu murni menguap. Wangi bercampur dengan parfum wanita yang harum(cari bahan tentang merk parfum terkenal).

Aku kembali menghidupkan khayalanku dan berharap bisa berdialog dengan wanita dengan wajah unik mirip Dian Sastro dengan hidung mancung mirip Raisa.Aku menangkap sinyal wanita itu butuh teman ngobrol.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun