Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tata Krama Berpamitan

31 Oktober 2013   16:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:46 30895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah seharusnya berpamitan saat hendak pergi dari suatu tempat di mana kita masih meninggalkan orang lain di sana. Entah itu keluarga di rumah, atasan/rekan di kantor, bahkan teman-teman di tempat nongkrong. Berpamitan menjadi sangat penting saat kita bertamu. Konon, hanya maling yang tidak pernah berpamitan. Datang pun mereka tidak permisi. Hehehe... .

Berpamitan menjadi tata krama yang sangat dijunjung tinggi dalam berbagai adat/kelompok masyarakat timur. Orang yang tidak berpamitan saat meninggalkan suatu tempat, bisa-bisa dibilang “tak punya sopan”. Dalam keluarga muslim, jamak disampaikan ucapan assalamualaikum sebelum pergi atau saat datang/bertamu ke suatu rumah. Nah, berikut adalah sepotong cerita terkait tata karma berpamitan.

Saat masih duduk di Sekolah Dasar, saya sering kali berpamitan sesuka hati. Misalnya, meneriakkan salam pamit sambil berlari keluar rumah. Alhasil, almarhum ibu saya akan menyuruh saya kembali untuk memperbaiki cara berpamitan. Dengan cemberut atau berkeluh kesah, biasanya saya akan kembali, menghampiri ibu/ayah lalu mencium punggung tangan mereka sambil bergumam kesal “Bu/Yah, saya berangkat sekolah.

Konon katanya, kalau disuguh makan besar saat bertamu, tidak sopan jika kita langsung berpamitan segera sesudah menghabiskan makan. Entah hanya Ibu saya yang memiliki prinsip itu dan mengajarkan pada anak-anaknya atau memang demikian tuntutan tradisi. Namun, seiring bertambahnya usia, saya pun turut mengamini prinsip tersebut. Bukan hanya terkait sopan santun tetapi ternyata juga menyangkut kesehatan. Secara biologis, berpamitan sesudah selesai menyantap makan besar memang tidak tepat karena proses pencernaan belum lagi sempurna. Mungkin perlu waktu 10-15 menit untuk membuat makanan benar-benar "turun". Kalau beruntung, mungkin masih ada tawaran semangkuk es krim sebagai makanan penutup. Hehe... .

Suatu kali pernah saya main ke rumah teman dan disuguh makan siang. Sesudah menghabiskan makan siang saya buru-buru berpamitan. “Wah, SMP yaa?” Begitu seloroh ayah teman saya. Saya hanya tersenyum tak mengerti. Ah mungkin saja beliau menyangka aku masih anak SMP! Bisa jadi ayah temanku memang tidak tahu kalau saya adalah teman sekolah anaknya di SMA. Maklum saya datang tidak berseragam sekolah. Namun, beberapa tahun kemudian seloroh yang sama saya dengar dari kakak sepupu saya. Waktu itu karena takut kemalaman pulang dari rumahnya, sesudah makan malam saya langsung pamit. “Kok SMP, gak elok! Ngobrol dulu sebentar!” (gak elok = tidak pantas, bhs. Jawa) Demikian kata kakak saya. Selidik punya selidik, ternyata akronim SMP seperti seloroh ayah teman SMA saya dulu adalah kependekan dari Sesudah Makan Pulang. Oh my God! Jika teringat, saya jadi malu. 

Ada satu hal tentang tata krama berpamitan yang selalu membuat saya tersenyum. Tamu di rumah orang tua saya selalu berpamitan lebih dari satu kali. Semakin akrab hubungan sang tamu dengan keluarga kami, semakin banyaklah salam pamit yang akan disampaikan.

Tamu kelompok pertama adalah teman biasa. Beranjak dari kursi tamu sang teman biasa ini akan mengucapkan salam pamit dan bersalaman. Ayah Ibu saya biasanya akan mengantar mereka sampai ambang pintu. Di pintu sekali lagi mereka berpamitan, dan lalu menghilanglah sang tamu di kelokan teras. Mengucapkan kata pamit dan bersalaman dalam dua waktu berbeda, bisa saya hitung sebagai 2x berpamitan!

Tamu kelompok kedua adalah teman dekat. Biasanya, teman dekat keluarga ini sambil akan melontarkan kalimat pamit sembari menyeruput minuman dari cangkir untuk terakhir kali. Biasanya sambil meletakkan cangkirnya mereka berujar, “Sampun cekap, nyuwun pamit” (Sudah cukup, mohon pamit, bahasa Jawa) Beranjak dari kursi mereka akan bersalaman dengan Ayah/Ibu dan kembali mengucapkan salam pamit lengkap dengan ucapan terima kasih untuk suguhannya. Tapi jangan salah, obrolan masih akan berlanjut karena Ayah/Ibu akan mengantar sang tamu hingga ke depan rumah bahkan sampai mereka menaiki kendaraannya dan lenyap di ujung gang. Maklum teman dekat! Di teras rumah, biasanya sang tamu masih akan berpamitan lagi. Lalu di atas kendaraan atau di dalam mobil mereka kembali berpamitan. Jika dihitung jumlahnya 4x.

Tamu kelompok ketiga adalah keluarga dekat. Tamu golongan ini tentu akan menembus batas-batas area publik. Saat pertama datang bisa saja langsung ngobrol di dapur bersama Ibu, pindah ke ruang keluarga, lalu ruang tamu, ke teras, kembali lagi ke ruang makan, dst. Saat mereka sudah berpamitan pulang, mungkin saja Ibu baru selesai memasak lalu menawarkan untuk ikut menikmati. Selesai ngobrol di ruang makan pamitan kembali diulang, sambil berjalan ke ruang tamu. Bukan langsung keluar mereka masih duduk lagi di ruang tamu dan ngobrol lagi. Kemudian sambil menandaskan suguhan kopi enak bikinan Ibu, sang tamu akan berpamitan lagi. Lalu di pintu, di teras rumah, juga di mobil. Jumlahnya bisa mencapai 6x! ­­

Tamu kelompok keempat adalah seorang pelupa. Bagaimana jika tamunya seorang pelupa? Berurusan dengan tamu pelupa, sudah pasti lebih banyak lagi salam pamit yang akan kami terima. Terlebih lagi jika tamu pelupa tersebut  adalah keluarga dekat. Wah, bisa lebih dari sepuluh kali salam pamit terucap. Bagaimana tidak? Sejak beranjak pertama kali hingga berada di atas kendaraan saja sudah 6x pamit. Eh, sudah tinggal tancap gas, barulah teringat ada sesuatu bawaannya yang tertinggal. Bayangkan, jika tamu itu kembali masuk ke rumah untuk mengambil barang yang tertinggal. Tebaklah, mereka tentu akan berpamitan lagi, lagi, lagi, lagi. dan lagi.

Ternyata bukan hanya tamu di rumah orang tua saya yang pamit berkali-kali. Beberapa teman saya mengaku selalu berpamitan lebih dari dua kali. Bahkan, ada seorang teman yang punya kenangan lucu tentang berpamitan. Konon setelah berkali-kali berpamitan, akhirnya justru dia pergi bersama seluruh penghuni rumah (yang telah diberi salam pamit).

Begini kisahnya! Pada waktu itu teman saya berada di rumah tunangannya. Setelah sejenak mengobrol dengan keluarga sang tunangan, dia dan tunangannya lalu berencana pergi ke gereja. Sebelum beranjak pergi, teman saya pamit pada calon mertua dan seisi rumah. Eh, baru sampai di teras rumah, hujan turun dengan lebat.

“Nanti kita tunggu hujan reda,” kata tunangannya. Mereka pun duduk dan ngobrol di teras.

Setelah hujan reda, teman saya kembali berpamitan pada kedua calon mertua. Beberapa kali motor dihidupkan selalu gagal. Olala... ternyata busi motor harus dibersihkan. Terpaksa teman saya duduk menunggu di teras, sementara tunangannya membereskan motor. Setelah motor selesai diperbaiki, sekali lagi mereka berpamitan... untuk ketiga kalinya. Bremmm... kali ini benar-benar berangkat! Tapi, kendaraan baru menyentuh gerbang, sebuah mobil membunyikan klakson hendak masuk ke halaman. Pengendaranya adalah tante sang tunangan.

“Ngobrol dululah. Tante kan belum kenal...,” kata sang Tante dari dalam mobil.

“Kita ke gereja yang ke-2 saja,” bisik tunangannya.

Motor dimatikan dan mereka kembali masuk ke rumah. Bersama tunangan dan kedua calon mertuanya, temanku menemani sang tante ngobrol. Setelah ngobrol cukup lama, calon mertua memutuskan untuk ke gereja bersama-sama sang tante. Teman saya dan tunangannya pun diajak semobil. Akhirnya, teman saya, tunangannya, dan seluruh keluarga bermobil bersama sang Tante untuk pergi ke gereja. Jadi untuk apa dari tadi pamit berkali-kali, begitu cerita teman saya sedikit kesal.

Pernah terlintas di benak saya bahwa berpamitan berulang kali adalah sebuah basa-basi yang sangat basi. Dan, saya berniat menghilangkannya! Saya hanya akan berpamitan satu kali jika bertamu, begitu janji dalam hati! Tapi janji itu ternyata susah diterapkan! Setelah diantar tuan rumah hingga pintu gerbang/halaman dan tidak berpamitan sekali lagi, saya merasa ada yang kurang. Terlebih jika tuan rumah mengantar hingga pintu gerbang, rasanya kurang sopan jika pergi begitu saja. Ah peduli amat, sekalipun basa-basi ini memang basi! Mungkin basa-basi adalah salah satu keindahan hidup di negara timur, tinggal di Indonesia.  (@dwiklarasari)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun